Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 17 Juli 2024

Bicara Tentang Duka

Dalam hidup, saya punya dua duka mendalam. Semuanya adalah soal kepergian. Pada duka pertama, saya ingat diberi ruang yang cukup untuk mengekspresikan kehilangan. Saya diizinkan menangis, saya diperbolehkan merenung, saya dipersilakan melampiaskan kehampaan dengan bicara, bercerita, mengenang. Hingga akhirnya hari-hari berjalan lagi, hidup terus berlanjut, dan saya tidak meninggalkan penyesalan apapun. Saya tak lagi nyeri saat menoleh ke belakang. Saya bisa menarasikan apa yang saya rasakan dan apa yang bercokol kuat dalam benak. Tidak ada yang menghakimi, tidak ada yang menyuruh saya berhenti.

Pada duka kedua, cukup berbeda dan rumit. Kepergian, kehilangan, rasa bersalah, penyesalan, angkara, semua bergumul, sibuk mondar-mandir mengacaukan isi kepala. Sayangnya, saluran pembuangan yang seharusnya tersedia justru disumbat paksa. Saya ingat tak diberi kesempatan, sama sekali tak merdeka dalam menampilkan duka. Semua serba terbatas. Air mata dianggap omong kosong, curahan hati dianggap berlebihan, mengingat dianggap terlalu berlarut-larut, menyebut nama disangka meratap. Selama bertahun-tahun, ada yang mampet dalam diri. Ada yang tak tersampaikan dengan benar. Saking lamanya justru berubah jadi karang besar yang menutupi segala hal baik.

I remember one day in 2017, I was ironing with all my sorrow and loss. There were no tears, but my lips hummed a sad song. Then, someone snapped, told me to stop singing, trivializing my messy feelings. I remember after that, I felt confused and broken. At that time, there was no room to express sorrow. The most painful wound was never again openly discussed. Everyone suddenly shut down. I saw them turn around. And reluctantly, slowly, I did the same. Everyone went back to living their lives. Good and bad news comes one after another. However, without realizing it, time actually stopped one day in 2017. Grief, loss, guilt, and feelings of hatred, accusation, and suspicion.


Karena duka ini pun, berbulan-bulan saya merasakan sesak dan kesulitan mengendalikan gerak tubuh saat melihat air. Sungai, pantai, lautan, apapun yang memiliki kedalaman, saya menjaga jarak darinya. Suatu waktu di atas motor saat tengah menyeberangi jembatan, saya mengungkapkannya pada seorang teman.

"Aduh, aku takut sekali melihat ke bawah."

Teman yang membonceng berdecak sinis, lalu menyahut, "Halah, lebay banget!"

Saya terkejut luar biasa. Namun, tak lagi mengeluarkan satu katapun hingga sampai di tempat tujuan. Pada sisa hari itu, saya banyak berpikir dan memutuskan takkan lagi mengungkapkan ketakutan dan rasa tak nyaman. Barangkali memang saya bersikap berlebihan dan mengganggu. Barangkali memang saya hanya membual.


Tragedy. Tragic. But I just want to hum and reminisce, sweep away memories in the best way, frame a past that might not last long if left to dry out. Understanding and concern should limit judgment and feelings of irritation.


There should always be room for sadness. There should always be a place to remember. There must always be a good presumption before stigma. Expressing grief, loss, confusion and love is not an excessive act. holding back all feelings just to please other people is inhumane.


Saya harap, mereka yang mengerdilkan emosi-emosi tersebut mengalami gelombang kesadaran dahsyat agar tersadar. Agar jangan sampai mereka sebagai orangtua melakukan hal yang sama pada anak-anaknya. Jangan sampai mereka menyepelekan apapun yang anak-anaknya rasakan. Barangkali saya memang tak begitu penting bagi mereka. Itulah mengapa mereka tak menganggap perasaan Saya berarti. Mungkin pula mereka memang begitu cepat lupa, begitu cepat pulih, begitu cepat menganggap semuanya tak lain kehendak Tuhan, garis takdir, atau apalah yang tak dapat didebat.


Duka yang dibuat oleh kesalahan, kelalaian, dan ketidakmampuan manusia dalam memikul tanggung jawab, tidak boleh seenaknya menyeret Tuhan sebagai tersangka. Butuh bertahun-tahun yang tak mudah, perjalanan yang berat, namun perasaan dan keinginan berandai-andai tetap ada.


In another universe, perhaps the sorrow of 2017 would never existed. No one has to feel a deep loss, no one has to feel the trauma of screaming, crying, crowds that make us tired, confused and nightmares. But time machines obviously don't exist. Only prayer can cross, connecting the world with the afterlife, hoping that there will be no resentment left. And apologize a million times, forgiveness, sincerity. I appreciate everything to the bones.



Yours truly,

Siti Sonia Aseka

Refleksi Peringatan International Women's Day 2025

"We realize the importance of our voices only when we are silenced."– Malala Yousafzai, I Am Malala Pada tahun 2021, saya pernah d...