"When It Ends"
Imaginary Future
On Wednesday morning,
Palembang.
Ketika Kisah ini berakhir
Siti Sonia Aseka
Kelebat ingatan, bayang-bayang
Afeksi yang muncul bersama upaya
Saya ingat segalanya bermula dari satu kesadaran, tentang induk-induk manfaat, tentang wadah tempat segala curahan bermuara.
Air mata, debar dada, bertanya-tanya; mengapa saya?
Kesabaran adalah letupan ikhlas, keluasan syukur, serta kepercayaan bahwa tak pernah sekalipun, Allah meninggalkan hamba-Nya.
Menghadirkan hati bersama cinta.
Menumbuhkan proteksi kepemilikan.
Memupuk rindu untuk labuh dan rebah.
Asal tidak meyakini bahwa rumah itu adalah ruang kala memikirkan pulang.
Sebab, jalan menuju rumah, bukan jalan yang sama dengan simpangan menuju Sekretariat kecil di gedung kemahasiswaan kita.
Bukan.
Masih belum.
Nanti, akan tiba saatnya langkah kaki menyepi.
Teredam.
Tersimpan.
Tak lagi menuju tempat yang sama.
Tak lagi bertatap muka dalam sekali salam dan sapa.
Tak ada lagi urusan remeh temeh seperti barang tertinggal, piring yang belum dicuci, lantai yang kotor, serta pertukaran hal-hal kecil, berbagi; milikku-milikmu.
Hei, saya akan merindukan semuanya.
Tentu, tentu saja.
Mengejutkan, bukan?
Yang datang dan pergi, yang pernah dan masih, yang bertahan pun yang memutuskan untuk usai sebelum kapal berhenti pada destinasi terakhir.
Saya akan merindukan segalanya.
Bahkan rasa sakit, kekecewaan, luka dan amarah.
Inilah tempat saya menjejak lautan tanpa pernah takut tenggelam.
Tempat yang menjadi saksi bisu atas air mata dan sekian putus asa.
Tempat saya belajar bagaimana menjadi, sebelum mati-matian menuntut dan menghadirkan justifikasi sepihak.
Jelas ada yang hilang dan gantinya tentu hanyalah kerinduan.
Harap saya awalnya remeh luar biasa; mencintai dengan sederhana.
Namun, mengapa, dan lagi-lagi mengapa, segalanya selalu rumit untuk kita?
Inderalaya, 14 November 2019
Siti Sonia Aseka
Kamis, 14 November 2019
9 November
Barangkali bila kita mampu mendinginkan kepala sedikit saja, menurunkan tensi lebih banyak, meredam amarah yang menggelora dalam dada, mendera ego, menggulung jiwa dalam gelombang emosi, mungkin perdebatan bahkan pertikaian hari itu, tak perlu terjadi, dan kita, tak harus terluka sampai merasa terhina begini.
Barangkali, dengan kata-kata yang terlontar, kalimat-kalimat tajam, menyakiti setiap jengkal rasa dan raga, idealisme kita perlahan terkikis, lantas habis, menyisakan kegelapan dalam pikir, membuat kita perlahan memaksa takdir untuk selalu dimenangkan atas segala situasi.
Maka ketika kalah, kala dihadapkan pada kenyataan yang tidak berpihak meski sedikit, kita merasa sakit, dikhianati, terpapar kekecewaan luar biasa dalam, meski harusnya diri menyadari, bukan lagi idealisme mendekati sempurna itu yang sungguh kita berpihak padanya, namun ego pribadi yang terluka.
Aku ingin berdiri di tengah-tengah, antara kemarahan dan kesedihan, di antara kekecewaan dan kehampaan, di antara kalian yang bertikai sebab selalu merasa benar. Tapi, hei, barangkali suatu waktu aku pun akan terjebak pada situasi demikian, tak mampu mengendalikan diri, dibenturkan pada tuntutan dan harapan orang-orang, kehilangan suara untuk bicara sebab terlalu sering terkungkung bisikan. Sampai mungkin aku bingung, mana dan apa suaraku yang sesungguhnya?
Masihkah aku memiliki keinginan?
Palembang, 11 November 2019
Siti Sonia Aseka
Langganan:
Postingan (Atom)
Refleksi Peringatan International Women's Day 2025
"We realize the importance of our voices only when we are silenced."– Malala Yousafzai, I Am Malala Pada tahun 2021, saya pernah d...

-
Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada mas...
-
Jadi, karena beberapa waktu belakangan banyak sekali hal yang terjadi, dan kepala saya jujur saja tidak bisa menampung segalanya dengan baik...
-
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...