Dalam beberapa keadaan, aku jelas tidak pernah ingin pasrah mengakui kekalahan. Tidak akan sudi kehilangan kesempatan untuk membuktikan bahwa aku tak tertandingi dalam hal melupakan. Tapi, hari ini entah bagaimana, kemampuan bersilat lidah dan bakat terlihat baik-baik saja itu menguar tanpa sisa.
Kepedulian, kepercayaan, kesabaran, tampaknya telah tumbuh subur namun berbuah nelangsa. Durinya lebih tajam dari mawar, bahkan getahnya lebih berbahaya ketimbang bisa ular. Barangkali aku salah memilih pupuk, mungkin pula aku keliru dalam menentukan petak lahan.
Tanaman yang kuanggap akan memberi kesejukan dan berguna, malah dengan keji menimbulkan luka berdarah-darah.
"Kau bilang bahwa aku harus berhenti menjadi bodoh dengan terus menerus memberi pemakluman, 'kan? See, aku melakukannya. Aku bahkan tidak tahu lagi cara memberi senyum serta berbagi sapa atau sekedar menatap mata. Muak. Barangkali itu titik tertinggi kebencian yang kau maksud. Aku sudah berhenti untuk percaya, apalagi peduli. Kesabaranku habis. Aku harus menyelamatkan diri bila tidak ingin ditelan bulat-bulat oleh kekecewaan lagi."
Kau tersenyum miring, membuat seolah aku ini terdakwa kasus kriminal kelas berat, lantas tanpa pikir dua kali mengudarakan kalimat klise yang sayangnya harus kujawab.
"Sudah berapa kali kau mengabaikan rasa sakit hanya demi dianggap pemaaf dan mendahulukan kepentingan orang lain? Kau tahu, monster dalam dirimu barangkali sudah berekor sembilan dengan kekuatan mampu menghancurkan seluruh Desa di Negeri Naruto saking marahnya."
Aku terbahak.
Benar juga.
Belakangan ini, bahkan kesalahan sepele saja mampu membuatku bagai kebakaran jenggot. Siap meledak.
"Berapa kali? Aku sungguh tak sanggup menghitung lagi."
"Sekarang kau paham bagaimana manusia, 'kan? Mereka melakukan segalanya demi diakui, berbuat sesukanya agar mendapat atensi, menjatuhkan dan melenyapkan apa yang mereka anggap menghalangi jalan. Biarpun kerikil kecil, bila mereka pikir itu dapat membuat cacat keadaan, maka boom! Enyah. Serakah. Tidak tahu diri. Tidak punya malu. Manusia sulit menghargai namun selalu minta dianggap berharga paling mahal."
Kau lelah terhadap fakta menjijikkan itu, benar bukan?
Aku pun sama.
Itulah mengapa aku memutuskan untuk berhenti berada di lingkaran rusak. Aku berhenti mengalah terhadap hal-hal yang sebenarnya mampu kumenangkan.
Sebab bahkan sebanyak apapun aku memberikan bagian terbaik, yang kudapat hanya sekedar pedih atas darah yang tak henti mengalir. Aku dipaksa mendahulukan namun tak pernah diberi kesempatan untuk sekedar menentukan pilihan.
Menyedihkan.
"Aku tersesat, aku ingin pulang. Namun rumah yang kudamba telah berubah asing meski masih tampak familiar. Mereka yang kupikir keluarga juga tak lagi memberi kesan sebanyak yang kukira. Terjebak dalam situasi begini benar-benar menyebalkan, ya?"
"Idiot. Itulah akibat dari terlalu banyak dibodohi kisah fiksi. Otakmu jadi menganggap bahwa semua hal di dunia ini akan berakhir bahagia selamanya seperti dongeng Cinderella dan sepatu kaca. Payah. Berhenti membuat dirimu sendiri tampak tak berguna."
Aku mengedipkan mata.
Menatap pantulan cermin.
Tertawa kecil.
Iya, iya.
Benar.
Idiot, payah, tidak waras, tak berguna.
Padahal yang harusnya kujatuhi kepercayaan secara absolut hanya diriku sendiri. Karena bahkan di saat tergelap, hanya bayanganku yang tetap tinggal meski tak terlihat. Hanya bayanganku saja yang melekat erat.
Jadi, mengapa aku malah mati-matian memprioritaskan manusia?
Siti Sonia Aseka
Palembang, 15 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar