Sepekan lalu, MUI melalui akun Instagram resminya, merilis tanggapan mengenai kebijakan yang diberlakukan oleh Gubernur Jawa Barat, yaitu: masyarakat wajib melampirkan bukti telah melakukan vasektomi untuk bisa menerima bantuan sosial (bansos).
Rilis tersebut menekankan bahwa vasektomi HARAM dilakukan dan dianggap sebagai pemandulan bersifat PERMANEN yang DILARANG dalam Islam.
Sayangnya, postingan MUI yang dimaksud sama sekali tidak mendinginkan keadaan, dan malah memperparah kegaduhan di tengah masyarakat.
Pasalnya, MUI terkesan hanya mencantumkan sudut pandang laki-laki di dalam rilis. Mulai dari efek kesehatan, finansial, maupun keadilan dan kemanusiaan yang semuanya berfokus pada laki-laki. Tidak satu lembar slide pun menyebutkan pertimbangan dan perbandingan dengan kontrasepsi perempuan, yang mana lebih banyak dan lebih berat dampaknya bagi kesehatan.
Pada slide kedua, MUI menuliskan, "... (vasektomi) tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam." Kata 'manusiawi' di sini secara general justru menjadi kontradiksi terhadap perempuan sebagai istri dan anak-anak yang bapaknya menolak vasektomi, padahal keluarga tersebut memiliki masalah:
Jumlah anak terlalu banyak dengan jarak usia terlalu dekat
Anak-anak tidak sekolah
Anak-anak ikut/dipaksa/terpaksa mencari nafkah
Tidak memiliki tempat tinggal yang layak (termasuk juga berpindah-pindah tempat karena menunggak pembayaran, dan semacamnya)
Kesulitan memenuhi sandang dan pangan
Terdapat anak yang mengidap penyakit/gangguan kesehatan serius dan tidak mampu mendapatkan perawatan yang layak karena ketiadaan biaya
Istri mengalami gangguan kesehatan/komplikasi karena jarak kehamilan dan kelahiran yang berdekatan
Sejak awal, peraturan bagi calon penerima bantuan sosial ini menyasar masyarakat pra sejahtera dengan permasalahan kompleks dan harus segera diatasi. Membiarkan hal tersebut terjadi hanya akan melanggengkan rantai kemiskinan yang berimbas pada masalah-masalah sosial lain seperti meningkatnya angka kriminalitas.
Pada slide ke-4, MUI menyatakan "MENOLAK kampanye vasektomi secara terbuka dan massal," lalu secara terang-terangan mengklaim REVERSAL VASEKTOMI sebagai prosedur yang MAHAL serta TIDAK DAPAT DIAKSES OLEH SEMUA KALANGAN.
Kebijakan vasektomi ini dibuat oleh Gubernur Jawa Barat terharap keluarga dengan masalah ekonomi dan keluarga yang tidak melek program keluarga berencana (KB) SERTA OTOMATIS membutuhkan dan BERGANTUNG pada BANSOS. Jelas bukan menyasar masyarakat umum yang tidak membutuhkan sokongan berbentuk bantuan sosial.
Kemudian, di slide yang sama, MUI mengklaim prosedur vasektomi TIDAK SESUAI DENGAN PRINSIP KEADILAN. Yang mana kontradiktif sekali lagi terhadap aturan kontrasepsi yang dijalani perempuan.
Perempuan memiliki RISIKO TINGGI dari dampak penggunaan kontrasepsi seperti pembekuan darah, stroke, kanker, tumor otak, hipertensi, hingga serangan asma. Sementara risiko kontrasepsi bagi laki-laki ialah sakit kepala, gangguan suasana hati, dan nyeri otot. Lihat?
Perempuan TIDAK PERNAH BEBAS dari risiko kontrasepsi. Tidak pula berisiko LEBIH RENDAH daripada kontrasepsi bagi laki-laki.
Maka, yang dimaksud ADIL adalah adil untuk siapa sebenarnya?
Pada slide ke-5, MUI menyebutkan, Islam memperbolehkan penggunaan alat kontrasepsi yang bersifat SEMENTARA seperti PIL KB, KONDOM, dan IUD.
Sekali lagi statement ini rancu dan menginjak-injak sisi medis serta kemanusiaan.
Dalam ilmu medis sudah dikatakan bahwa REVERSAL VASEKTOMI sangat mungkin dilakukan dan yang bersangkutan MASIH DAPAT MEMILIKI KETURUNAN LAGI. Namun, MUI menolak dengan alasan MAHAL. Lho, intinya kan bisa? Kenapa pas sudah dinyatakan BISA malah cari-cari alasan lain? Pun untuk masyarakat pra sejahtera dengan jumlah anak yang tergolong banyak (sampai kesulitan dibiayai), reversal vasektomi tidak lagi jadi tujuan utama. Gubernur Jawa Barat melalui kebijakan vasektomi menginginkan peningkatan kualitas generasi muda melalui perbaikan ekonomi keluarga. Fokus ke anak yang sudah ada. Sekolahkan, kasih makan dan tempat tinggal yang layak. Kalau alasannya takut bila ternyata kelak akan bercerai dan tidak bisa punya anak lagi dengan pasangan selanjutnya, saya pikir terlalu dangkal. Kalau memang bercerai, yang putus dan selesai adalah hubungan suami-istri. Anak tetap anak. Harus tetap dipenuhi semua kebutuhannya. Menambah anak dari pasangan yang berbeda namun dengan kondisi ekonomi yang sama, tidak akan menyelesaikan apa-apa, justru hanya menambah masalah baru. Lantas apabila keadaan ekonomi membaik? Ya berarti SANGGUP melakukan reversal vasektomi dengan biaya yang katanya MAHAL itu.
Lantas PIL KB yang termasuk dalam golongan kontrasepsi hormonal, memiliki risiko seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya. IUD (kontrasepsi non-hormonal) juga tidak lantas BEBAS RISIKO. Proses pemasangan yang menyakitkan, tak ketinggalan kemungkinan pergeseran letak adalah hal yang harus ditanggung perempuan dan SANGAT MEMBAHAYAKAN karena dapat berdampak pada bagian tubuh lain.
Kondom dianggap sebagai satu-satunya alat kontrasepsi untuk laki-laki yang 'aman' tanpa efek samping. Namun, penelitian justru menyebutkan 80℅ laki-laki menolak menggunakan kondom dengan berbagai alasan, seperti: merasa tidak nyaman, percaya bahwa ia/pasangannya tidak memiliki penyakit menular seksual, dll. SEKALI LAGI, pihak yang menolak adalah LAKI-LAKI, bukan perempuan. Dan alasannya LAGI-LAGI perkara 'kenyamanan'. Luar biasa, kan?
Maka statement MUI ini harusnya tidak berlaku karena terkesan tidak perlu. Seolah meremehkan risiko kontrasepsi yang dialami oleh perempuan dan secara tidak langsung menekankan kewajiban penggunaan alat kontrasepsi adalah milik perempuan seorang.
Pada kalimat terakhir, MUI menyebut bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah membangun generasi yang kuat melalui pendidikan, perlindungan, dan keadilan sosial. Lagi-lagi, statement ini bias, terlampau teoritis, dan tidak memberikan solusi.
Anak-anak yang lahir dari keluarga pra sejahtera, bergantung pada bansos, tidak mendapatkan haknya dalam mengakses pendidikan, fasilitas kesehatan, dan tempat tinggal yang layak, adalah korban sesungguhnya dari sikap masyarakat pun lembaga yang DENIAL dan tidak mengakui bahwa anak-anak tersebut juga punya suara untuk menuntut keadilan.
Saya percaya pemandulan permanen secara sengaja dalam Islam adalah hal yang dilarang dalam syariat. TETAPI, MUI sendiri menyatakan TERDAPAT PENGECUALIAN dalam aturan vasektomi dan tubektomi, yaitu: apabila terdapat risiko kesehatan berat jika pasangan (baik suami/istri) memiliki keturunan lagi.
SEHARUSNYA, poin ini juga dipublikasikan secara luas agar masyarakat dapat mengetahui sisi berbeda dan tidak saklek memaksakan fatwa pada kondisi yang tidak memungkinkan.
Pun, syarat untuk melakukan vasektomi haruslah disosialisasikan agar masyarakat dapat ikut menimbang sesuai kondisi masing-masing, tidak sekadar ikut-ikutan atau menolak mentah-mentah tanpa ilmu yang jelas.
Allah memang sudah menetapkan rezeki bagi masing-masing hamba-Nya. Tidak ada yang terlewat barang sedikit jua. NAMUN istilah 'banyak anak banyak rezeki' atau 'rezeki sudah diatur' tidak bisa begitu saja dijadikan bahan berargumen.
Bagi kalian dengan previlege untuk mampu menyekolahkan anak di lembaga pendidikan terbaik, memiliki akses yang mudah dalam mendapatkan fasilitas kesehatan berkualitas, tidak pernah kesulitan dalam memenuhi sandang, pangan, dan papan keluarga, jelas kebijakan pemberlakuan vasektomi tidak diperuntukkan bagi kalian.
Yang dipermasalahkan sejak awal adalah orangtua yang kesulitan secara finansial, namun terlanjur memiliki banyak anak dalam jarak dekat di luar kesanggupannya, dan masalah-masalah sosial lain yang ditimbulkan oleh kurangnya kendali dan pengetahuan terhadap hak dan kewajiban sebagai orangtua dalam membesarkan anak. That's it.
Karena perdebatan ini, saya berkesimpulan bahwa penting bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, sosil masyarakat, dan bernegara, terlebih ikut serta dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan kebijakan publik yang berkeadilan, mewakili suara perempuan, dan tidak asal-asalan.
Dari 39 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, hanya terdapat 5 orang pimpinan perempuan. Sementara tidak ada satu pun perempuan yang dilibatkan dalam dewan pertimbangan.
Agama bukan hanya diperuntukkan bagi satu jenis kelamin. Agama adalah milik semua, dan semua yang meyakini memiliki nilai yang sama di mata Tuhan.