Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda
Oleh: Siti Sonia Aseka
Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya pikir nikah muda itu ya anak-anak belasan tahun yang belum siap nikah, tapi dinikahkan aja oleh orangtuanya. Alasannya macam-macam. Bisa karena kehamilan tidak direncanakan alias hamil di luar nikah, orangtua terlilit hutang, hingga orangtua yang mau lepas tangan, merasa nggak sanggup lagi menafkahi anak dan nyuruh anaknya cepat-cepat nikah aja supaya ada yang menghidupi. Semakin ke sini, saya makin tahu, ternyata apa yang sempat saya pikirkan dulu keliru banget. Ada batasan usia di mana seseorang atau sepasang manusia dikatakan nikah muda atau menikah dini. Minimal berumur 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan yang hendak menikah, tercantum dalam undang-undang (bahkan terdapat gagasan untuk menaikkan batas minimum ini menjadi 21 tahun). Apabila yang bersangkutan ingin menikah sebelum batas usia minimum, maka wajib mengurus surat dispensasi nikah yang ditandatangani oleh orangtua masing-masing dan disetujui oleh pengadilan agama setempat. Alasan diberlakukannya batasan usia ini nggak lain berkaitan dengan kesiapan individu dalam berumah tangga. Mulai dari aspek fisik, mental, finansial, kesehatan atau lebih spesifik reproduksi. Usia 19 tahun dianggap cukup (meski sebenarnya masih sangat riskan terutama menilik perihal kesehatan reproduksi). Perempuan yang hamil pada usia dini berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan seperti anemia, perdarahan, preklampsia, keguguran dan berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Tak hanya itu, risiko anak mengalami stunting dan ibu yang menghadapi penyakit reproduksi juga sangat tinggi. Jarak kehamilan dan jumlah anak yang harusnya didiskusikan di awal nggak dipandang sebagai topik serius. Padahal, pernikahan dini dapat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi, karena berisiko terhadap kehamilan dan persalinan yang nggak aman.
Menurut saya, kesalahan berpikir mengenai pernikahan dini dan menikah muda perlu cepat-cepat diluruskan. Karena rasanya nggak adil ketika orang yang menikah di usia muda (di atas 19 tahun), merasa siap lahir dan batin, sehat secara jasmani dan rohani, serta memiliki kemapanan finansial yang cukup, harus menerima penghakiman masyarakat. Padahal mereka nggak melanggar aturan apapun, apalagi menyusahkan orang lain. Biaya nikah pun pakai uang pribadi, bukan uang dari yang nyinyir.
Sebaliknya, pernikahan dini yang sampai kini prakteknya masih subur terjadi, perlu penanggulangan serius. Anak-anak wajib menerima edukasi terarah mengenai masa depan, cita-cita, dan pentingnya berprestasi secara akademik maupun non akademik. Hidup yang masih sangat panjang itu, adik-adik, sebaiknya digunakan untuk membanggakan orangtua dan membahagiakan diri sendiri. Usia yang belia, gunakan untuk terus berproses ke arah yang lebih baik, memperbaiki diri, menjadi versi terbaik dari diri sendiri dengan upaya sebaik-baiknya, melihat dunia dengan kedua mata terbuka, mengejar sekian ambisi, mengabulkan keinginan-keinginan yang sejak lama tertanam dalam benak. Bukannya sibuk cinta-cintaan dan berujung main rumah-rumahan. Pernikahan itu nggak melulu soal cinta. Bucin cuma awalnya aja. Pada akhirnya yang akan membuat rumah tangga tetap kokoh dan berjalan adalah komitmen, kesetiaan, tanggung jawab, integritas, kepercayaan, dan dompet yang nggak ala kadarnya. Untuk menghindari zina, kalian bisa fokus belajar dan mengembangkan diri instead of merengek minta nikah.
Percayalah, nikah itu bukan akhir, tapi awal cerita. Jadi jangan merasa setelah menikah kalian akan menemukan kalimat 'happily ever after' seperti dalam buku dongeng. Menikah nggak sama dengan pacaran, ribut sedikit bisa putus, lalu balikan ketika dapat rayuan gombal, dan putus lagi karena cekcok menye-menye. Nggak! Nggak ada yang begitu. Ingat, lebih baik menikah di usia matang, ketimbang bercerai di usia muda.
Angka perceraian cenderung lebih tinggi di kalangan pasangan yang menikah di usia dini. Beberapa studi menunjukkan bahwa sekitar 50% dari perceraian di Indonesia terjadi pada mereka yang menikah sebelum usia 25 tahun. Faktor-faktor penyebabnya meliputi kurangnya kedewasaan emosional, masalah ekonomi, dan ketidakcocokan setelah menikah. Selain itu, pernikahan dini sering kali dipicu oleh tekanan sosial atau budaya, yang membuat pasangan nggak siap menghadapi tantangan kehidupan berkeluarga.
Lagian, apa nggak kasian kepada anak yang kelak akan dilahirkan? Karena yang jadi korban jelas anak. Ketidaksiapan orangtua dalam hal pengasuhan dan kematangan karakter berdampak terutama terhadap kesehatan mereka, di antaranya:
1. Risiko Kesehatan Fisik:
- Berat Badan Lahir Rendah: Anak-anak yang lahir dari ibu muda lebih berisiko mengalami berat badan lahir rendah, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang.
- Kelahiran Prematur: Kehamilan pada usia muda sering kali berisiko melahirkan prematur, yang dapat mengakibatkan komplikasi serius, termasuk gangguan pernapasan dan masalah perkembangan.
2. Masalah Perkembangan:
- Perkembangan Kognitif: Anak-anak mungkin mengalami keterlambatan dalam perkembangan kognitif akibat kurangnya stimulasi dan dukungan pendidikan yang memadai dari orangtua yang mungkin masih mencari stabilitas hidup.
- Keterlambatan Pertumbuhan: Stres dan nutrisi yang buruk selama kehamilan dapat mengganggu pertumbuhan fisik dan mental anak.
3. Kesehatan Mental:
- Risiko Gangguan Emosional: Lingkungan yang tidak stabil dan konflik antara orang tua dapat meningkatkan risiko anak mengalami gangguan emosional, seperti kecemasan dan depresi.
- Stres Lingkungan: Anak-anak mungkin terpapar stres akibat kesulitan ekonomi dan hubungan orangtua yang tegang, yang dapat memengaruhi kesehatan mental mereka.
4. Akses terhadap Layanan Kesehatan:
- Perawatan Kesehatan yang Terbatas: Keluarga yang dibentuk melalui pernikahan dini sering kali menghadapi kesulitan ekonomi, yang membatasi akses mereka terhadap perawatan kesehatan yang berkualitas.
- Kurangnya Edukasi Kesehatan: Orang tua yang menikah dinu mungkin kurang teredukasi tentang pentingnya perawatan prenatal dan kesehatan anak, yang berdampak negatif pada kesehatan anak.
5. Kesehatan Reproduksi di Masa Depan:
- Risiko Kesehatan Reproduksi: Anak perempuan yang lahir dari orang tua yang menikah muda juga berisiko lebih tinggi untuk menikah di usia muda, melanjutkan siklus pernikahan dini dan dampak negatif yang menyertainya.
Kesehatan anak adalah asal muasal terbentuknya kualitas hidup mereka. Orangtua yang bahagia, anak yang sehat, pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, lahiriah, dan batin terpenuhi, tentu taraf hidupnya akan meningkat secara berkelanjutan.
Kenapa sih, pernikahan dini kayak tabu banget? Kok dianggap aib? Menikah kan menyempurnakan separuh agama? Jawabannya karena pernikahan dini tanpa kesiapan apapun dan cuma mengandalkan cinta monyet, tahunya cuma berkembang biak, berpotensi menyuburkan bibit sumber daya manusia yang rendah. Kelak akan jadi masalah sosial yang erat dengan tindak kriminal serta kemiskinan yang terstruktur. Menikah tanpa rencana matang, tanpa kesepakatan tentang nafkah, pola asuh, apalagi pengetahuan seputar kehamilan, keluarga berencana, reproduksi, dan lainnya justru akan jadi masalah baru. Ingat beberapa tahun lalu, ada penyanyi yang menceraikan istrinya hanya satu atau dua bulan setelah menikah? Alasannya karena usia kehamilan sang istri saat itu lebih tua ketimbang jangka waktu pernikahan. Pengetahuan nol, mengedepankan nafsu aja, tapi berani-beraninya menikah. Apa namanya kalau bukan tolol?
Jadi tolong, jangan anggap pernikahan sebagai satu-satunya cara untuk bahagia. Atau ingat nggak ada ibu-ibu yang ngasih kopi ke anak bayinya dengan alasan supaya nggak kejang-kejang? Kopi, dikasih ke anak bayi, bayangkan! Yang tua aja bisa kena asam lambung, tremor, ini bayi, lho. Bayi! Ke mana coba isi otaknya?
Nggak denial, trend media sosial jadi penyokong utama pola pikir generasi muda kita yang masih imut-imut kayak marmut ini. Ada postingan tentang cowok rada effort dan tampilannya sporty dikit, langsung meleleh, baper. Ada postingan tentang cewek perhatian nan manis manja, tergoda, langsung nyari info mau nikah pakai adat apa. Walah, pelik!
Untuk menurunkan angka pernikahan dini, ada beberapa langkah yang bisa diambil, meliputi:
1. Edukasi dan Penyuluhan
Meningkatkan pendidikan tentang kesehatan reproduksi, hak perempuan, dan risiko serta konsekuensi pernikahan dini.
2. Akses Pendidikan
Memastikan anak-anak, terutama perempuan, mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkelanjutan.
3. Program Pemberdayaan
Menerapkan program pemberdayaan perempuan dan anak untuk meningkatkan keterampilan dan kemandirian ekonomi.
4. Rebuild Kebijakan
Mendorong penegakan undang-undang yang menetapkan batas usia minimal untuk menikah dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggaran.
5. Keterlibatan Komunitas dan organisasi kemasyarakatan
Membangun kesadaran dalam masyarakat tentang dampak negatif pernikahan dini melalui kampanye dan dialog terbuka
6. Peran Orangtua dan Keluarga
Kedekatan emosional yang kuat dan mendalam antara orangtua dengan anak dapat menjadikan anak merasa aman dan nyaman serta tidak tergiur mencari kesenangan-kesenangan semu di luar rumah. Keluarga yang harmonis, mesra, dan hangat bisa menciptakan standar tersendiri dalam pribadi anak, sehingga ia lebih percaya diri untuk mengejar cita-cita dan fokus pada aktualisasi diri yang progresif dan produktif.
Langkah-langkah ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung keputusan yang lebih baik bagi anak.
Institusi rumah tangga dalam hal ini orangtua dan keluarga, lembaga pendidikan, kesehatan, keagamaan, serta pemerintah harus merekonstruksi pemikiran yang melandasi perilaku anak sedini mungkin.
Pendidikan seksualitas, moralitas, dan religiusitas perlu digalakkan supaya anak bisa tumbuh dengan sikap dan prinsip. Dorong anak untuk mengikuti berbagai aktivitas positif seperti berorganisasi, mengikuti olimpiade, perlombaan, kompetisi, mendalami hobi, bergabung dalam program pengabdian masyarakat seperti volunteering, traveling, dan lainnya agar pemikiran mereka terbuka, jiwa kompetitif yang sehat itu muncul, serta potensi-potensinya tergali sempurna. Supaya kepalanya nggak diisi oleh carut marut yang sia-sia.