Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 08 Oktober 2024

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda


Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda

Oleh: Siti Sonia Aseka


Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya pikir nikah muda itu ya anak-anak belasan tahun yang belum siap nikah, tapi dinikahkan aja oleh orangtuanya. Alasannya macam-macam. Bisa karena kehamilan tidak direncanakan alias hamil di luar nikah, orangtua terlilit hutang, hingga orangtua yang mau lepas tangan, merasa nggak sanggup lagi menafkahi anak dan nyuruh anaknya cepat-cepat nikah aja supaya ada yang menghidupi. Semakin ke sini, saya makin tahu, ternyata apa yang sempat saya pikirkan dulu keliru banget. Ada batasan usia di mana seseorang atau sepasang manusia dikatakan nikah muda atau menikah dini. Minimal berumur 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan yang hendak menikah, tercantum dalam undang-undang (bahkan terdapat gagasan untuk menaikkan batas minimum ini menjadi 21 tahun). Apabila yang bersangkutan ingin menikah sebelum batas usia minimum, maka wajib mengurus surat dispensasi nikah yang ditandatangani oleh orangtua masing-masing dan disetujui oleh pengadilan agama setempat. Alasan diberlakukannya batasan usia ini nggak lain berkaitan dengan kesiapan individu dalam berumah tangga. Mulai dari aspek fisik, mental, finansial, kesehatan atau lebih spesifik reproduksi. Usia 19 tahun dianggap cukup (meski sebenarnya masih sangat riskan terutama menilik perihal kesehatan reproduksi). Perempuan yang hamil pada usia dini berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan seperti anemia, perdarahan, preklampsia, keguguran dan berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Tak hanya itu, risiko anak mengalami stunting dan ibu yang menghadapi penyakit reproduksi juga sangat tinggi. Jarak kehamilan dan jumlah anak yang harusnya didiskusikan di awal nggak dipandang sebagai topik serius. Padahal, pernikahan dini dapat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi, karena berisiko terhadap kehamilan dan persalinan yang nggak aman.

Menurut saya, kesalahan berpikir mengenai pernikahan dini dan menikah muda perlu cepat-cepat diluruskan. Karena rasanya nggak adil ketika orang yang menikah di usia muda (di atas 19 tahun), merasa siap lahir dan batin, sehat secara jasmani dan rohani, serta memiliki kemapanan finansial yang cukup, harus menerima penghakiman masyarakat. Padahal mereka nggak melanggar aturan apapun, apalagi menyusahkan orang lain. Biaya nikah pun pakai uang pribadi, bukan uang dari yang nyinyir.

Sebaliknya, pernikahan dini yang sampai kini prakteknya masih subur terjadi, perlu penanggulangan serius. Anak-anak wajib menerima edukasi terarah mengenai masa depan, cita-cita, dan pentingnya berprestasi secara akademik maupun non akademik. Hidup yang masih sangat panjang itu, adik-adik, sebaiknya digunakan untuk membanggakan orangtua dan membahagiakan diri sendiri. Usia yang belia, gunakan untuk terus berproses ke arah yang lebih baik, memperbaiki diri, menjadi versi terbaik dari diri sendiri dengan upaya sebaik-baiknya, melihat dunia dengan kedua mata terbuka, mengejar sekian ambisi, mengabulkan keinginan-keinginan yang sejak lama tertanam dalam benak. Bukannya sibuk cinta-cintaan dan berujung main rumah-rumahan. Pernikahan itu nggak melulu soal cinta. Bucin cuma awalnya aja. Pada akhirnya yang akan membuat rumah tangga tetap kokoh dan berjalan adalah komitmen, kesetiaan, tanggung jawab, integritas, kepercayaan, dan dompet yang nggak ala kadarnya. Untuk menghindari zina, kalian bisa fokus belajar dan mengembangkan diri instead of merengek minta nikah.

Percayalah, nikah itu bukan akhir, tapi awal cerita. Jadi jangan merasa setelah menikah kalian akan menemukan kalimat 'happily ever after' seperti dalam buku dongeng. Menikah nggak sama dengan pacaran, ribut sedikit bisa putus, lalu balikan ketika dapat rayuan gombal, dan putus lagi karena cekcok menye-menye. Nggak! Nggak ada yang begitu. Ingat, lebih baik menikah di usia matang, ketimbang bercerai di usia muda.

Angka perceraian cenderung lebih tinggi di kalangan pasangan yang menikah di usia dini. Beberapa studi menunjukkan bahwa sekitar 50% dari perceraian di Indonesia terjadi pada mereka yang menikah sebelum usia 25 tahun. Faktor-faktor penyebabnya meliputi kurangnya kedewasaan emosional, masalah ekonomi, dan ketidakcocokan setelah menikah. Selain itu, pernikahan dini sering kali dipicu oleh tekanan sosial atau budaya, yang membuat pasangan nggak siap menghadapi tantangan kehidupan berkeluarga.

Lagian, apa nggak kasian kepada anak yang kelak akan dilahirkan? Karena yang jadi korban jelas anak. Ketidaksiapan orangtua dalam hal pengasuhan dan kematangan karakter berdampak terutama terhadap kesehatan mereka, di antaranya:

1. Risiko Kesehatan Fisik:

- Berat Badan Lahir Rendah: Anak-anak yang lahir dari ibu muda lebih berisiko mengalami berat badan lahir rendah, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang.

- Kelahiran Prematur: Kehamilan pada usia muda sering kali berisiko melahirkan prematur, yang dapat mengakibatkan komplikasi serius, termasuk gangguan pernapasan dan masalah perkembangan.

2. Masalah Perkembangan:

- Perkembangan Kognitif: Anak-anak mungkin mengalami keterlambatan dalam perkembangan kognitif akibat kurangnya stimulasi dan dukungan pendidikan yang memadai dari orangtua yang mungkin masih mencari stabilitas hidup.

- Keterlambatan Pertumbuhan: Stres dan nutrisi yang buruk selama kehamilan dapat mengganggu pertumbuhan fisik dan mental anak.

3. Kesehatan Mental:

- Risiko Gangguan Emosional: Lingkungan yang tidak stabil dan konflik antara orang tua dapat meningkatkan risiko anak mengalami gangguan emosional, seperti kecemasan dan depresi.

- Stres Lingkungan: Anak-anak mungkin terpapar stres akibat kesulitan ekonomi dan hubungan orangtua yang tegang, yang dapat memengaruhi kesehatan mental mereka.

4. Akses terhadap Layanan Kesehatan:

- Perawatan Kesehatan yang Terbatas: Keluarga yang dibentuk melalui pernikahan dini sering kali menghadapi kesulitan ekonomi, yang membatasi akses mereka terhadap perawatan kesehatan yang berkualitas.

- Kurangnya Edukasi Kesehatan: Orang tua yang menikah dinu mungkin kurang teredukasi tentang pentingnya perawatan prenatal dan kesehatan anak, yang berdampak negatif pada kesehatan anak.

5. Kesehatan Reproduksi di Masa Depan:

- Risiko Kesehatan Reproduksi: Anak perempuan yang lahir dari orang tua yang menikah muda juga berisiko lebih tinggi untuk menikah di usia muda, melanjutkan siklus pernikahan dini dan dampak negatif yang menyertainya.

Kesehatan anak adalah asal muasal terbentuknya kualitas hidup mereka. Orangtua yang bahagia, anak yang sehat, pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, lahiriah, dan batin terpenuhi, tentu taraf hidupnya akan meningkat secara berkelanjutan.

Kenapa sih, pernikahan dini kayak tabu banget? Kok dianggap aib? Menikah kan menyempurnakan separuh agama? Jawabannya karena pernikahan dini tanpa kesiapan apapun dan cuma mengandalkan cinta monyet, tahunya cuma berkembang biak, berpotensi menyuburkan bibit sumber daya manusia yang rendah. Kelak akan jadi masalah sosial yang erat dengan tindak kriminal serta kemiskinan yang terstruktur. Menikah tanpa rencana matang, tanpa kesepakatan tentang nafkah, pola asuh, apalagi pengetahuan seputar kehamilan, keluarga berencana, reproduksi, dan lainnya justru akan jadi masalah baru. Ingat beberapa tahun lalu, ada penyanyi yang menceraikan istrinya hanya satu atau dua bulan setelah menikah? Alasannya karena usia kehamilan sang istri saat itu lebih tua ketimbang jangka waktu pernikahan. Pengetahuan nol, mengedepankan nafsu aja, tapi berani-beraninya menikah. Apa namanya kalau bukan tolol?

Jadi tolong, jangan anggap pernikahan sebagai satu-satunya cara untuk bahagia. Atau ingat nggak ada ibu-ibu yang ngasih kopi ke anak bayinya dengan alasan supaya nggak kejang-kejang? Kopi, dikasih ke anak bayi, bayangkan! Yang tua aja bisa kena asam lambung, tremor, ini bayi, lho. Bayi! Ke mana coba isi otaknya?

Nggak denial, trend media sosial jadi penyokong utama pola pikir generasi muda kita yang masih imut-imut kayak marmut ini. Ada postingan tentang cowok rada effort dan tampilannya sporty dikit, langsung meleleh, baper. Ada postingan tentang cewek perhatian nan manis manja, tergoda, langsung nyari info mau nikah pakai adat apa. Walah, pelik!

Untuk menurunkan angka pernikahan dini, ada beberapa langkah yang bisa diambil, meliputi:

1. Edukasi dan Penyuluhan

Meningkatkan pendidikan tentang kesehatan reproduksi, hak perempuan, dan risiko serta konsekuensi pernikahan dini.

2. Akses Pendidikan

Memastikan anak-anak, terutama perempuan, mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkelanjutan.

3. Program Pemberdayaan

Menerapkan program pemberdayaan perempuan dan anak untuk meningkatkan keterampilan dan kemandirian ekonomi.

4. Rebuild Kebijakan

Mendorong penegakan undang-undang yang menetapkan batas usia minimal untuk menikah dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggaran.

5. Keterlibatan Komunitas dan organisasi kemasyarakatan

Membangun kesadaran dalam masyarakat tentang dampak negatif pernikahan dini melalui kampanye dan dialog terbuka

6. Peran Orangtua dan Keluarga

Kedekatan emosional yang kuat dan mendalam antara orangtua dengan anak dapat menjadikan anak merasa aman dan nyaman serta tidak tergiur mencari kesenangan-kesenangan semu di luar rumah. Keluarga yang harmonis, mesra, dan hangat bisa menciptakan standar tersendiri dalam pribadi anak, sehingga ia lebih percaya diri untuk mengejar cita-cita dan fokus pada aktualisasi diri yang progresif dan produktif.

Langkah-langkah ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung keputusan yang lebih baik bagi anak.

Institusi rumah tangga dalam hal ini orangtua dan keluarga, lembaga pendidikan, kesehatan, keagamaan, serta pemerintah harus merekonstruksi pemikiran yang melandasi perilaku anak sedini mungkin.

Pendidikan seksualitas, moralitas, dan religiusitas perlu digalakkan supaya anak bisa tumbuh dengan sikap dan prinsip. Dorong anak untuk mengikuti berbagai aktivitas positif seperti berorganisasi, mengikuti olimpiade, perlombaan, kompetisi, mendalami hobi, bergabung dalam program pengabdian masyarakat seperti volunteering, traveling, dan lainnya agar pemikiran mereka terbuka, jiwa kompetitif yang sehat itu muncul, serta potensi-potensinya tergali sempurna. Supaya kepalanya nggak diisi oleh carut marut yang sia-sia.

Rabu, 17 Juli 2024

Bicara Tentang Duka

Dalam hidup, saya punya dua duka mendalam. Semuanya adalah soal kepergian. Pada duka pertama, saya ingat diberi ruang yang cukup untuk mengekspresikan kehilangan. Saya diizinkan menangis, saya diperbolehkan merenung, saya dipersilakan melampiaskan kehampaan dengan bicara, bercerita, mengenang. Hingga akhirnya hari-hari berjalan lagi, hidup terus berlanjut, dan saya tidak meninggalkan penyesalan apapun. Saya tak lagi nyeri saat menoleh ke belakang. Saya bisa menarasikan apa yang saya rasakan dan apa yang bercokol kuat dalam benak. Tidak ada yang menghakimi, tidak ada yang menyuruh saya berhenti.

Pada duka kedua, cukup berbeda dan rumit. Kepergian, kehilangan, rasa bersalah, penyesalan, angkara, semua bergumul, sibuk mondar-mandir mengacaukan isi kepala. Sayangnya, saluran pembuangan yang seharusnya tersedia justru disumbat paksa. Saya ingat tak diberi kesempatan, sama sekali tak merdeka dalam menampilkan duka. Semua serba terbatas. Air mata dianggap omong kosong, curahan hati dianggap berlebihan, mengingat dianggap terlalu berlarut-larut, menyebut nama disangka meratap. Selama bertahun-tahun, ada yang mampet dalam diri. Ada yang tak tersampaikan dengan benar. Saking lamanya justru berubah jadi karang besar yang menutupi segala hal baik.

I remember one day in 2017, I was ironing with all my sorrow and loss. There were no tears, but my lips hummed a sad song. Then, someone snapped, told me to stop singing, trivializing my messy feelings. I remember after that, I felt confused and broken. At that time, there was no room to express sorrow. The most painful wound was never again openly discussed. Everyone suddenly shut down. I saw them turn around. And reluctantly, slowly, I did the same. Everyone went back to living their lives. Good and bad news comes one after another. However, without realizing it, time actually stopped one day in 2017. Grief, loss, guilt, and feelings of hatred, accusation, and suspicion.


Karena duka ini pun, berbulan-bulan saya merasakan sesak dan kesulitan mengendalikan gerak tubuh saat melihat air. Sungai, pantai, lautan, apapun yang memiliki kedalaman, saya menjaga jarak darinya. Suatu waktu di atas motor saat tengah menyeberangi jembatan, saya mengungkapkannya pada seorang teman.

"Aduh, aku takut sekali melihat ke bawah."

Teman yang membonceng berdecak sinis, lalu menyahut, "Halah, lebay banget!"

Saya terkejut luar biasa. Namun, tak lagi mengeluarkan satu katapun hingga sampai di tempat tujuan. Pada sisa hari itu, saya banyak berpikir dan memutuskan takkan lagi mengungkapkan ketakutan dan rasa tak nyaman. Barangkali memang saya bersikap berlebihan dan mengganggu. Barangkali memang saya hanya membual.


Tragedy. Tragic. But I just want to hum and reminisce, sweep away memories in the best way, frame a past that might not last long if left to dry out. Understanding and concern should limit judgment and feelings of irritation.


There should always be room for sadness. There should always be a place to remember. There must always be a good presumption before stigma. Expressing grief, loss, confusion and love is not an excessive act. holding back all feelings just to please other people is inhumane.


Saya harap, mereka yang mengerdilkan emosi-emosi tersebut mengalami gelombang kesadaran dahsyat agar tersadar. Agar jangan sampai mereka sebagai orangtua melakukan hal yang sama pada anak-anaknya. Jangan sampai mereka menyepelekan apapun yang anak-anaknya rasakan. Barangkali saya memang tak begitu penting bagi mereka. Itulah mengapa mereka tak menganggap perasaan Saya berarti. Mungkin pula mereka memang begitu cepat lupa, begitu cepat pulih, begitu cepat menganggap semuanya tak lain kehendak Tuhan, garis takdir, atau apalah yang tak dapat didebat.


Duka yang dibuat oleh kesalahan, kelalaian, dan ketidakmampuan manusia dalam memikul tanggung jawab, tidak boleh seenaknya menyeret Tuhan sebagai tersangka. Butuh bertahun-tahun yang tak mudah, perjalanan yang berat, namun perasaan dan keinginan berandai-andai tetap ada.


In another universe, perhaps the sorrow of 2017 would never existed. No one has to feel a deep loss, no one has to feel the trauma of screaming, crying, crowds that make us tired, confused and nightmares. But time machines obviously don't exist. Only prayer can cross, connecting the world with the afterlife, hoping that there will be no resentment left. And apologize a million times, forgiveness, sincerity. I appreciate everything to the bones.



Yours truly,

Siti Sonia Aseka

Kamis, 27 Juni 2024

The Reasons Why...

I was scrolling through my timeline when the following post came by;

My mind immediately screamed, "TOTALLY TRUE! TOTALLY AGREE!"

Because many of us who have now become parents were raised by parents and families and were involved in an environment that did not prioritize at all and even tended to ignore feelings. Expressing disappointment, sadness, anger, self-doubt, and so on is considered excessive and strange. In fact, feelings are something that is experienced and felt naturally and just comes according to conditions and situations.

The reason why I provide more books about recognizing emotions and feelings for children, rather than general knowledge books such as science and mathematics is because I was in that phase; ignoring my own feelings just to not be told differently. This made me apathetic and cold, taking everything related to feelings for granted.

That's why apart from providing books with religious nuances to my children, I also facilitate books that discuss feelings and emotions. Because I want my child to grow up to be someone who is independent and prioritizes her own good, who understands herself, who is done with herself, and becomes an individual who has principles and is able to make decisions about important choices in her life. So that in the future, she can also respect other people's positions, not become someone who underestimates and excludes other people, does not consider other people's feelings important, does not empathize, selfish, has difficulty placing herself so that she becomes a hated individual.

I want my child to be a good friend in the future. Maybe even the best friend anyone can get. She is able to delve into even hidden emotions and deepest desires, she is asked for advice and visited as a listener. Who is not easy to judge and give judgments arbitrarily. I would tell her, that whatever she feels is valid and she is safe to express what is in her heart without fear of hurting and being hurt by whatever comes after.

This journey is still very long. However, the determination and mission to build a generation that is literate and intelligent in feelings and humanity must start from an early age. Trying as hard as possible to be close to perfection and idealism is an obligation as a parent. That's a form of responsibility. I hope that, in the future, my children can take various forms and spread across the face of the earth as the best version of themselves and everything this ummah needs.

Selasa, 23 April 2024

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi
Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasional. Beberapa negara selain Inggris bahkan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa resminya.
Menurut data Statista, bahasa Inggris memiliki jumlah penutur paling banyak di dunia, yaitu mencapai angka 1,5 miliar.
Hal ini menyebabkan penguasaan dan kemampuan berbahasa Inggris dianggap perlu dan penting. Sayangnya, data Indeks Kemahiran Bahasa Inggris EF (EF EPI) tahun 2023 menunjukkan kemampuan bahasa Inggris masyarakat Indonesia masih tergolong rendah yakni menempati peringkat 79 dari 113 negara. Padahal, semakin banyak penutur dan penyebaran atas suatu bahasa, maka akan berlimpah pula informasi beredar menggunakan bahasa tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar ilmu pengetahuan ditulis dalam bahasa Inggris. Keterbatasan berbahasa akan memengaruhi cara masyarakat dalam belajar, berpikir, dan berkomunikasi.
Masalahnya, peningkatkan kemampuan berbahasa Inggris menyasar seluruh lapisan masyarakat Indonesia terkendala oleh, di antaranya, akses pembelajaran di sekolah yang tidak merata dan kualitas pengajaran serta tenaga pendidik yang tidak seimbang di berbagai daerah.
Kita tentu tak ingin hal ini terjadi berlarut-larut. Oleh karena itu, mengajarkan bahasa Inggris kepada anak merupakan sesuatu yang krusial. Untuk menumbuhkan ketertarikan terhadap bahasa Inggris, orangtua sebaiknya mulai mendekatkan anak dengan bahasa tersebut sedini mungkin. Bisa dengan memperdengarkan lagu, bermain puzzle berbahasa Inggris, flash card, membacakan cerita dengan dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), atau mewarnai objek-objek tertentu sembari menjelaskan beberapa kata berbahasa Inggris.
Memasuki masa sekolah, orangtua juga dapat mempertimbangkan anak untuk mengikuti les bahasa Inggris agar memperoleh metode belajar yang lebih intensif dan terarah.

Orangtua kini dapat merasa lega, karena kursus/les bahasa Inggris telah tersebar di berbagai area yang memungkinkan anak untuk mengakses kesempatan mendalami bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional. Mengapa les bahasa Inggris harus dimulai sejak dini? Menurut para peneliti dari Harvard University, anak-anak berusia di bawah 18 tahun umumnya lebih mudah menyerap bahasa baru selain bahasa yang dituturkan oleh ibunya (mother language) daripada kelompok usia lain. Sebuah studi menunjukkan bahwa anak-anak yang menguasai dua bahasa (bilingual) atau lebih (multilingual) umumnya memiliki kemampuan kognitif yang fleksibel, daya tangkap yang lebih cepat, dan ingatan yang lebih tajam. Hal ini rupanya berpengaruh terhadap prestasi akademik dan non akademik anak, lho. Mempelajari bahasa asing juga terbukti mampu menumbuhkan, mengasah, dan memperkaya kemampuan linguistik seseorang. Pada era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang, individu yang terbiasa akrab dengan bahasa Inggris, akan lebih mudah beradaptasi di masa depan dan berkontribusi penuh di dalam masyarakat.Les bahasa Inggris anak bukan lagi menjadi pilihan, tetapi keharusan. Ketika pelajaran bahasa Inggris di sekolah saja tidak cukup untuk memenuhi wawasan dan pengetahuan anak tentang bahasa Inggris, orangtua baiknya memfasilitasi anak untuk mengikuti program seperti bimbingan belajar, kursus, atau les yang secara terus menerus mengasah kemampuan anak. Terlebih, dengan teknologi yang semakin mutakhir, opsi belajar bahasa Inggris sudah tak lagi terbatas jarak atau lokasi.
Era digitalisasi memudahkan manusia, membantu pekerjaan dalam membuat, mengubah, menyimpan, menyampaikan dan membagikan informasi secara lebih cepat, tepat, berkualitas dan efisien.

Saat ini banyak platform dan lembaga pembelajaran yang menyediakan kursus bahasa Inggris online dengan metode belajar yang fleksibel dan mandiri dengan biaya terjangkau. Anak dapat belajar di mana saja dalam pengawasan orangtua dan bisa mengikuti pelajaran sesuai kapasitasnya. Anak juga bisa mengulang kembali materi yang dipelajari kapanpun mereka mau. Salah satu lembaga yang bergerak secara online dan offline untuk mencerdaskan anak bangsa ialah KUMON.

Dengan program KUMON CONNECT, diharapkan minat masyarakat terhadap pembelajaran bahasa Inggris semakin tinggi.
KUMON CONNECT merupakan cara terbaru belajar Kumon secara digital, bertujuan untuk menjalin kedekatan anak-anak, orangtua, dan pembimbing melalui komunikasi yang intens serta hubungan personal yang erat. KUMON CONNECT adalah program belajar mandiri yang sama dengan saat mengerjakan soal menggunakan lembar kerja kertas Kumon. Cara ini bisa menumbuhkan rasa percaya diri, kemampuan belajar, dan memacu anak untuk memaksimalkan potensi mereka.
Dengan KUMON CONNECT, semua yang dibutuhkan anak-anak untuk belajar ada di perangkat tablet mereka. Sederhana, cepat, dan terukur. Tujuannya yaitu memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anak agar dapat maju secara bertahap tanpa adanya perbedaan pembelajaran dalam proses belajarnya di Kumon.
Inovasi teknologi di bidang pendidikan, komunikasi, dan informasi adalah transformasi yang mendukung kemajuan kualitas sumber daya manusia. Anak-anak yang hari ini terpapar dampak positif teknologi akan dengan cepat membaur bersama dengan perkembangan zaman. Ilmu pengetahuan dapat diakses dengan begitu mudah sehingga cita-cita pemerataan pendidikan dapat segera terwujud.

Mari optimal dalam memaksimalkan potensi, minat, dan bakat anak. Persiapkan anak agar mampu bersaing sebagai global citizen, pemimpin, dan pionir perubahan.

Rabu, 07 Februari 2024

International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation

International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation

6 Februari 2024


International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation campaign is an effort to end the practice of female genital mutilation (FGM). In 2012 the UN General Assembly designated February 6 as the date to commemorate International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation. Reported by the Unicef ​​website, Unicef ​​is collaborating with UNFPA in the Elimination of Female Genital Mutilation program. This was established through interventions in 17 countries where the practice is common.


Tahun ini, peringatan Hari Anti Sunat Perempuan mengambil tema "Her Voice, Her Future".


Lebih dari 200 juta perempuan yang hidup saat ini telah mengalami mutilasi atau sunat. Tahun ini, hampir 4,4 juta anak perempuan berisiko terkena praktik berbahaya FGM, yang setara dengan lebih dari 12 ribu kasus setiap hari.


Data dari UNICEF tahun 2021 memperlihatkan, setidaknya ada lebih dari 200 juta perempuan termasuk anak-anak di 30 negara yang telah menjalani praktik FGM. Indonesia sendiri berada di peringkat ke-3 jumlah kasus FGM terbesar di bawah Mesir dan Etiopia.


Istilah sunat memiliki arti yang berbeda-beda dilihat dari sudut pandang penilainya. Untuk laki-laki, jelas sunat adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis untuk kepentingan kesehatan. Yang terpenting, praktik ini WAJIB hukumnya dalam Islam.


Namun, berbeda ketika kita bicara soal sunat perempuan. Pengetahuan tentang pemotongan/penghilangan yang didapat dari istilah sunat laki-laki, menjadikan masyarakat kerap berpikir bahwa tindakan tersebut juga harus dilakukan SAMA PERSIS kepada perempuan. Padahal secara bentuk dan fungsi organ laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan.


Para ulama pun memiliki perbedaan pendapat mengenai sunat perempuan. Ada yang mengatakan wajib, sunnah (dianjurkan), dan diperbolehkan (tanpa konsekuensi hukum).


Anjuran dalam Islam pun sudah jelas perihal sunat perempuan (bagi ulama yang memfatwakan bahwa tindakan ini terkategori WAJIB), yaitu; memotong atau melukai sedikit kulit penutup (prepusium) klitoris. Yang pada faktanya tidak dipahami oleh banyak orang. Terlebih, tidak semua anak perempuan mempunyai prepusium yang menutupi klitoris maupun saluran kemih, sehingga sunat dinilai tidak perlu dilakukan pada setiap perempuan.


Klitoris yang dipotong sebagian atau seluruhnya dapat menyebabkan perempuan alpa dalam merasakan rangsangan dan kenikmatan seksual, bahkan orgasme. Yang mana akan berdampak pada penurunan hasrat seksual, nyeri saat berhubungan intim, kesulitan saat penetrasi penis, serta penurunan lubrikasi selama bersanggama.


Sunat perempuan yang disamakan dengan sunat laki-laki, menyebabkan praktik mutilasi organ genital (female genital mutilation) menjamur terutama di daerah-daerah yang masih meyakini aktivitas keagamaan atau kepercayaan tertentu yang dilakukan secara turun temurun.


Tidak adanya pemahaman yang benar tentang sunat perempuan menurut syariat tanpa melibatkan adat istiadat, tradisi, upacara khusus, yang rawan penggunaan alat-alat tidak steril, dapat mengakibatkan penderitaan panjang bagi perempuan. Mulai dari pendarahan, kista, penyakit menular seksual, infeksi saluran kemih, keputihan, bakterial vaginosis, gangguan menstruasi, rasa sakit saat berhubungan seksual, serta peningkatan risiko komplikasi persalinan, dan kematian.


Sunat pada anak perempuan juga berarti menghilangkan dan merusak jaringan genital yang sehat dan normal. Hal ini tentunya berisiko mengganggu fungsi alami tubuh perempuan.


Praktik sunat perempuan dilanggengkan tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat terhadap mitos yang banyaknya mengatasnamakan agama dan tradisi nenek moyang. Salah satu yang masih dipercaya hingga hari ini adalah bahwa sunat perempuan semata dilakukan untuk mengendalikan nafsu seksual atau syahwat perempuan. Tidak sedikit orangtua yang hidup di era modern, merasa harus menyunat anak perempuan mereka dengan dalih melindungi anak dari pergaulan bebas karena nafsu seksualnya telah tunduk sebab telah disunat sedemikian rupa. Orangtua percaya pada zaman dahulu, sunat perempuan menjadikan perempuan tunduk dan betah di rumah, tidak terlibat kehidupan bebas yang melibatkan aktivitas seksual di luar pernikahan atau perzinahan. Padahal, modernisasi telah mengubah zaman dengan teknologi yang di dalamnya terdapat internet, media sosial, platform edukasi, semakin banyak tenaga kesehatan yang mudah dijangkau, ilmu, alat, dan fasilitas kesehatan yang semakin berkembang, serta komunitas, forum, dan kelompok terdidik yang bergerak demi mencerdaskan kehidupan bangsa, menolak pembodohan, demi kemajuan dan peningkatan kualitas generasi penerus.


Orangtua harus berpikiran mengikuti zaman dan membesarkan anak agar mereka kelak dapat mengikuti perkembangan yang ada di sekitarnya. Pola asuh, kebiasaan, percontohan, adalah tanggung jawab orangtua dan merupakan perjalanan panjang yang akan berdampak pada bagaimana cara anak kelak akan berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan, termasuk tentang lingkungan pertemanan dan pergaulan. Menjadi orangtua yang bijak, mengajarkan ilmu agama sedini mungkin, menerapkan batas, disiplin, dan mendengarkan anak, being present sehingga anak merasa dibersamai, didukung, diperhatikan, dan diberi kasih sayang. Hal-hal inilah yang akan menjauhkan anak dari pergaulan bebas, bukannya mutilasi pada alat kelamin mereka.

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...