Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 10 September 2020

[Sepotong] VALID SENSE: Sifa Bella

 

Valid Sense

“Sifa Bella”

 

Assalamuallaikum Warahmatullah Wabarakatuh!

Valid Sense, novel pertama saya yang telah tercetak melalui salah satu penerbit indie menghimpun begitu banyak tokoh dan memiliki ceritanya sendiri. Dari beberapa pembaca, saya kerap mendapatkan pertanyaan tentang kisah selanjutnya dari tokoh-tokoh tertentu.

Dan most requested actor, goes to… ADIT, absolutely.

Entah kenapa si 2nd lead ini umpama pemeran pria ngenes di drama Korea yang tidak berjodoh dengan tokoh utama perempuan. Padahal, kalau sudut pandangnya diubah ke Adit sendiri, akan ada begitu banyak penjelasan mengenai kenapa dan bagaimana.

And this is it.

Setelah beragam pertimbangan, akhirnya saya memutuskan untuk membawa satu per satu potongan cerita mereka. Memang tidak utuh, karena saya sudah punya rencana sendiri mengenai geng Tahu Jeletot Mang Awi. Tapi paling tidak, sedikit kehadiran orang-orang absurd ini bisa mengobati kerinduan pembaca (kalau ada yang rindu, sih… hahaha).

 

Happy reading!

***


Pemuda tersebut barangkali tidak akan pernah menyesali keputusannya untuk bergabung dalam komunitas bangun desa, dan menghabiskan satu sore dengan perempuan bernama seindah bunga; Sifa Bella. Mendinginkan kepala di tengah riuh klakson dan macet jalan raya, menghadap segelas ice coffee dan sepiring cake green tea tak begitu manis, Azka Mahendra mendadak memalingkan wajah ke arah jendela kala teringat; ia nyaris mengulang kesalahan yang sama, hampir menjadikan pilihan untuk pergi sejenak dari tanah Sabang dan terdampar di sini justru sia-sia.
"Alhamdulillah, selesai." Azka yang mendengar itu, tiba-tiba menjauhkan punggung dari sandaran kursi. Matanya melebar antusias, kedua tangannya bertaut.
"Sudah?"
"Iya. Tapi, untuk bagian simpulan, saya masih belum yakin. Mungkin kamu bisa periksa dan perhalus lagi kata-katanya, lalu masukkan data-data tambahan."
Azka mengangguk mengerti. Sifa di depan sana bergerak memutar laptop agar Azka dapat ikut memindai. Mereka tengah menyusun essay akhir kegiatan, setelah agenda selama empat belas hari di desa pada bagian selatan pulau Sumatera berjalan lancar tanpa hambatan.
"Oke, nanti saya coba cocokkan dengan kerangka sebelumnya."
Azka tersenyum. Sepasang netra miliknya masih sesekali mencuri pandang, sekadar berniat menangkap beberapa ekspresi yang mungkin Sifa keluarkan. Perempuan tersebut tidak pernah lepas dari istilah formalitas dan Azka jelas terganggu kadang-kadang.
"Untuk selanjutnya, tidak keberatan kalau saya merecoki via email?" Sifa tersenyum lucu. "Saya harap kamu tidak terganggu."
Pemuda yang diajak bicara mengangkat kedua alis, sebentar bingung, namun napasnya perlahan terhela ketika paham maksud perkataan Sifa baru saja.
"Saya masih akan di sini dalam waktu yang lama, kok. Kita bisa bertemu alih-alih sekadar berkomunikasi lewat email."
"Oh, jadi kamu tidak ikut rombongan besok, ya? Saya pikir Azka akan segera pulang setelah bangun desa selesai."
Azka menggeleng yakin, "Sayangnya tidak."
"Okay," Sifa tersenyum lebar, berusaha untuk tidak tampak dihajar lelah kemudian berujar kembali, "kalau begitu ayo kita lakukan, habis-habisan!"
Azka tertawa kecil. Habis-habisan. Frasa itu menjadi akrab dengannya belakangan ini. Sifa Bella sering menggunakan istilah tersebut untuk mengganti kata semangat atau semacamnya.
"Sudah setengah enam." Sifa mendadak panik, matanya menyiratkan gelisah. Azka di depan sana menegapkan tubuh, heran.
"Kenapa?"
"Saya harus segera pulang." Sifa membereskan beberapa barangnya di atas meja, memakai jaket yang tersampir di bahu kursi lalu sedikit menatap kecewa pada ponsel kehabisan daya.
"Kalau begitu, biar saya antar." Azka berkata tanpa pikir dua kali. Pemuda tersebut ikut mematikan laptop lantas memasukkan benda tersebut buru-buru ke dalam tas.
"Tidak perlu. Saya bawa kendaraan sendiri." Sifa tersenyum geli, menunjuk kunci motor di samping gelas kopinya dan menyambar benda tersebut. "Lagipula, memangnya kamu hapal jalan Palembang?"
Azka tersenyum miring, merasa diremehkan. "Saya dibesarkan di sini, fyi."
Sifa mengangguk kecil, antara sungguhan percaya atau hanya demi menghindari debat.
"Saya duluan." Sifa beranjak saat yakin tidak melupakan satupun barang. Perempuan tersebut berlalu setelah mengucap salam. Meninggalkan Azka dengan geming, masih terpaku pada sosok yang baru saja melewati pintu keluar.
Azka tentu tahu, yang datang bukan cuma rasa namun dibarengi dengan logika. Tentang Sifa Bella, Azka jelas tidak bisa sesukanya apalagi main-main. Perempuan tersebut tentu punya cara dan Azka paham; bukan waktunya untuk semena-mena dan mengukir kesalahan yang sama.

 

 

A little piece of “Valid Sense”

Sifa Bella version

 

Palembang, 10 September 2020

Siti Sonia Aseka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...