Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 10 September 2020

[Sepotong] VALID SENSE: Salwa Kyra

 

Valid Sense

“Salwa Kyra”

 


Assalamuallaikum Warahmatullah Wabarakatuh!

 
Valid Sense, novel pertama saya yang telah tercetak melalui salah satu penerbit indie menghimpun begitu banyak tokoh dan memiliki ceritanya sendiri. Dari beberapa pembaca, saya kerap mendapatkan pertanyaan tentang kisah selanjutnya dari tokoh-tokoh tertentu.

Dan most requested actor, goes to… ADIT, absolutely.

Entah kenapa si 2nd lead ini umpama pemeran pria ngenes di drama Korea yang tidak berjodoh dengan tokoh utama perempuan. Padahal, kalau sudut pandangnya diubah ke Adit sendiri, akan ada begitu banyak penjelasan mengenai kenapa dan bagaimana.

And this is it.

Setelah beragam pertimbangan, akhirnya saya memutuskan untuk membawa satu per satu potongan cerita mereka. Memang tidak utuh, karena saya sudah punya rencana sendiri mengenai geng Tahu Jeletot Mang Awi. Tapi paling tidak, sedikit kehadiran orang-orang absurd ini bisa mengobati kerinduan pembaca (kalau ada yang rindu, sih… hahaha).

 

Happy reading!

***

 

"Bisa nggak," Yusuf menghela napas, matanya terpejam beberapa saat seolah tengah berpikir begitu berat. "sekali aja, berhenti mikirin perasaan orang lain?"
Bukan tanpa alasan pemuda yang amat jarang meninggikan nada suara tersebut, kini bahkan tak mampu mengendalikan raut terganggu dan kesal habis-habisan. Salwa di hadapannya menatap skeptis, pun tak mampu memperlihatkan sisi baik-baik saja. Ia cukup terkejut atas reaksi Yusuf yang di luar ekspektasi.
"Suf," Salwa berujar setelah mendengus terang-terangan. "Ini bukan semata tentang perasaan atau semacamnya. Ini soal tanggung jawab."
"Okay, sekarang kamu ngomong seolah kamu memang ibunya."
Dahi Salwa mengerut. Ia tentu cukup sabar untuk tidak membalas perkataan Yusuf lebih ketus dari cara pemuda itu membalik tiap kalimat.
"Indeed." Salwa memalingkan wajah. Pandangannya tanpa sengaja bertemu dengan milik Yaya yang berjalan masuk di belakang Raka. Pasangan dosen tersebut terlihat tengah mengobrol santai dan Salwa mendadak mengulas sebuah senyum tipis.
"Wa, Azmi bukan tanggung jawabmu. Dia punya ayah yang bertanggung jawab atas dirinya."
"Udah kubilang aku nggak bisa lepasin Azmi begitu aja. He needs me."
"Maksudmu Azmi atau ayahnya yang butuh kamu? Jangan naif, Salwa."
Mata Salsa menajam. Ia tak bisa lagi menahan emosinya. Yusuf tidak membantu sama sekali alih-alih memberi solusi.
"Hei, serius amat!"
Yaya menarik sebuah kursi di sisi Salwa. Senyumnya lebar seperti biasa. Raka di belakang sana tengah mengobrol dengan Wirya, sesekali tampak tertawa.
"Aku ke sana dulu." Yusuf mengusap wajah, melontar istighfar beberapa kali di bawah napas. Tak ingin ketahuan tengah bermood buruk dan sekejap lenyap menyusul Raka serta Wirya. Lengan kemejanya sudah digulung hingga siku.
"Yusuf kenapa?" Yaya menoleh pada Salwa. Menangkap kejanggalan di antara kedua sahabatnya.
Salwa mengangkat bahu, pura-pura tak tahu apalagi peduli. Ia cukup lelah selepas rapat dewan guru hari ini lalu harus dihadapkan pada Yusuf yang entah mengapa tengah sangat tidak tepat diajak mengobrol. Biasanya, Yusuf tidak demikian. Lelaki tersebut selalu menyenangkan dalam kondisi bagaimanapun.
"Eh, tentang proposal yang kubilang kemarin," Yaya menatap temannya ragu, "kamu yakin nggak mau tahu dari siapa? Benar nggak mau coba baca?"
"Nggak, Ya." Salwa menggeleng, lagi-lagi begitu tegas. "Aku belum kepikiran buat nikah."
Jujur saja, Salwa gamang. Tetapi alih-alih penasaran, ia malah secara tak terduga menolak niat baik yang datang padanya melalui Raka dan Yaya. Salwa memang ingin menikah, ya semua orang sedikit bahkan banyak sepertinya pernah berniat demi menghabiskan waktu sepanjang usia bersama seseorang, teman hidup. Tetapi hal tersebut sama sekali tidak masuk dalam daftar prioritas Salwa untuk waktu dekat, atau entah sampai kapan, barangkali.

Usianya menginjak dua puluh lima, tetapi semakin ke sini, ia merasa ada cukup banyak benang kusut yang tidak bisa ia abaikan. Ada ungkapan anonim yang sempat Salwa baca. Katanya, “Bila hidupmu seolah tidak memiliki titik dan koma, maka coba munculkan tanda tanya.” Salwa tak sepenuhnya paham, jelas. Ia hanya iseng membuka Quora pada tengah malam setelah menyusun soal ujian tengah semester, lantas menemukan ambiguitas menghias netra. Namun, kini, tanda tanya yang dimaksud ibarat terpop-up di depan mata begitu saja, menamparnya.

“Masih belum terlambat, Wa. Masih ada waktu.” Yaya menepuk lengan Salwa, tersenyum ramah. “Jangan ada keterburuan dalam proses yang diharapkan berkah. Kalau kamu berubah pikiran, let me know.”

Salwa memiringkan kepala, matanya mengerjap demi mengumpulkan fokus. Perasaannya saja, atau kini Yaya terdengar luar biasa memaksa?

 

 

 

A little piece of “Valid Sense”

Salwa Kyra version

 

Palembang, 10 September 2020

Siti Sonia Aseka

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...