"Kita harus selalu siap bukan, dengan atau tanpa jawaban untuk setiap pertanyaan?"
Anggia tersenyum tipis sembari membiarkan dua gelas berisi minuman diletakkan ke atas meja mereka oleh seorang pelayan.
Jumat sore setelah adzan Ashar berkumandang satu jam lalu. Mereka duduk mengakrabi kedamaian Canala Collective lantai dua, sesekali memandang keramaian jalan raya di bawah sana, lantas hanyut oleh obrolan seputar remeh temeh dunia.
"Seringnya, kubiarkan semua mengambang di udara dan dilupakan saja, ketimbang memberi jawaban menyakiti. Kadang yang demikian secara ajaib lebih bisa diampuni."
Syakala menghela napas, menerawang kejadian sepekan kemarin, ketika seseorang mengganggu tenang dalam hari-harinya.
"Maka ketika dia izin pergi, kamu hanya diam?" Anggia mengerutkan dahi, sementara Syakala mengangkat bahu.
"Dia akan tatap mengambil keputusan itu dengan atau tanpa persetujuanku. Tidak ada bedanya."
"Tapi bagaimana jika ternyata dia menunggumu lugas dalam menginginkannya, Kala?"
Syakala diam, Anggia mendengus. "See? Lain kali, bilang. Sesuatu yang kamu inginkan, juga harus diusahakan."
Penganut paham diam, dan pemilik prinsip 'katakan'. Pada sisa hari kerja, menyambut akhir pekan esok serta lusa, meluruskan benang kusut pada kepala carut marut sudah jadi kebiasaan. Mereka selalu sibuk memikirkan segala jenis deadline Senin sampai Jumat, hingga abai untuk sekadar memvalidasi 'rasa'.
"Ya, kalau memang ada yang namanya lain kali."
Anggia menggeleng, tak habis pikir. Jemarinya meraih kopi susu hangat untuk diseruput pelan-pelan.
"Toh, undangan sudah sampai di tanganku. Kamu akan datang bersamaku, bukan?"
Syakala dan segala keputusannya yang absurd dan membuat gemas, Anggia dengan ketidaksabarannya tentang rute takdir dan penyampaian-penyampaian lambat lagi membuat ngantuk.
Kalau boleh memilih, Anggia ingin sekali berhenti mendukung Syakala dan menyemangatinya dalam menjalani pilihan yang kerap keliru.
"La, apa kamu pernah mencintainya?"
Syakala terkekeh, ujung jilbab biru langitnya melambai terbawa angin.
"Pernah atau tidak, tak ada gunanya."
"Tapi pengakuan haruslah menjadikan semua berhenti sayup-sayup dan tampak kelabu. Biar jadi hitam atau putih saja."
Syakala diam, air mukanya keruh. Anggia tahu, bukankah penyesalan dan rasa khawatir menjadikan manusia semakin ragu? Konsistensi keputusan yang dibuat seolah berubah rapuh. Namun, jalan untuk kembali dan mengubah keadaan jelas tidak pernah ada dalam sejarah peradaban manapun.
Anggia mengerti, perempuan itu maklum. Bukan hal mudah bagi Syakala mengakui di mana hatinya masih labuh dan rebah. Mimpi temannya selalu indah di dermaga tersebut, menunggu kapal di hadapan mengajak berlayar. Tetapi, hari yang diimpikan ternyata tidak akan pernah tiba, tak mungkin menyambut. Sebab jangkarnya telah diangkat, dan satu-satunya penumpang telah bersedia naik menemani nahkoda. Sayangnya, penumpang itu bukan Syakala.
Tidak ada yang patut disalahkan. Toh, tawaran telah dilontarkan, dan Syakala terlampau terkejut untuk sekadar mengiyakan. Pun, semua sudah berlalu dan kesempatan yang sama pernah terulang, namun Syakala terlalu takut untuk menghadapi ombak dan bertemu laut lepas.
Dalam bayangan Anggia, Syakala masih di tempat yang sama, duduk menunggu, sampai kapal baru tandang dan ia siap menaklukkan gelombang.
Sampai saat itu tiba…
Palembang, 19 Oktober 2021
Siti Sonia Aseka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar