Banyak orang mempersempit makna aktivisme sebagai hanya gerakan untuk mengemukakan masalah seputar pemerintahan dan politik saja. Padahal, lebih dari itu. Aktivisme sejatinya adalah aktifitas bersuara dan berbuat terkait tatanan masyarakat pun lingkungan. Oleh sebab itu, isu-isu dan narasi yang dibawa para aktivis (biasanya) tidak sekadar terbatas pada kepentingan satu golongan.
Namun belakangan, roda gerakan mulai diwarnai sekian kontroversi. Salah satunya oleh kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan orang-orang dengan riwayat aktivisme. Hal ini dapat terjadi karena minimnya pemahaman dan keingintahuan masyarakat terhadap topik-topik berkenaan dengan kejahatan seksual, ketimpangan gender, kekeliruan konstruksi sosial tentang peran serta fungsi perempuan dalam kehidupan sosial, minimnya pemberdayaan, hingga tidak ada upaya untuk meningkatkan partisipasi serta akses perempuan di berbagai bidang.
Saat masih aktif sebagai mahasiswa dan tergabung dalam organisasi internal kampus, saya kerap mendengar banyak isi kepala disampaikan mengenai peran perempuan. Harus bisa masak, harus terampil mengurus anak, harus gesit mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus melayani suami. Tidak perlu bergelar pendidikan tinggi, karier juga bisa diatur nanti. Apabila ada pengurus organisasi 'terlihat' atau 'mengaku' tidak bisa memasak, tidak mencuci piring bertumpuk-tumpuk yang selesai dipakai orang lain di sekretariat (padahal memang seharusnya pengguna peralatan makan harus segera mencucinya sendiri sebagai bentuk tanggung jawab), petugas piket perempuan terlambat atau tidak datang walaupun dengan keterangan, dan lain sebagainya, maka siap-siap akan dicap sebagai perempuan pemalas yang nanti tidak mungkin menikah karena tidak ada laki-laki bersedia menerima perempuan yang tidak mau, tidak bisa, serta tidak mampu menghandle urusan-urusan domestik. Padahal, manusia-manusia yang berkata demikian, adalah orang-orang yang senantiasa kelihatan gagah dalam balutan almamater mentereng dan toa aksi di lapangan sana. Yang suaranya membahana membela rakyat (katanya). Tetapi soal basic life skills saja masih membebankan kepada (hanya) perempuan.
Apa salahnya bahu membahu? Saling bantu? Bekerja sama? Apa salahnya tidak selalu memandang gender dalam tugas dan tanggung jawab bersama? Ingat, organisasi bukan tempat bagi satu pihak saja untuk bersinar dan bersenang-senang, tetapi merupakan kesempatan bagi semua orang untuk menjadi berbagai bentuk sesuai kehendaknya. Tanpa paksaan, tanpa tekanan.
Beberapa orang yang melabeli dirinya sebagai aktivis seringkali merasa sudah menjalankan tugasnya dengan baik apabila telah lantang menyatakan pendapat terhadap isu politik. Namun sayang, mereka malah melupakan sisi lain, yaitu 'adil sebagai manusia dan menjunjung tinggi kemanusiaan' selain 'merdeka sejak dalam pikiran'.
Pada awalnya, saya masa bodoh mengenai anggapan-anggapan demikian. Pemikiran-pemikiran sempit yang tidak bisa disembuhkan dengan sebaris-dua baris nasihat jelas tidak layak dijadikan bahan perdebatan. Toh, nilai seorang perempuan tidak semata soal keterampilannya dalam menjalani hal-hal yang tidak ia inginkan, bahkan terkesan memperbudak. Coba bayangkan, berapa banyak perempuan harus menerima hidup dalam tekanan pola pikir patriarki tersebut hanya sebab kehilangan suara dan terjebak dalam lingkungan yang menanamkan kesalahan sebagai absolut kebenaran? Berapa banyak perempuan harus mengubur mimpinya dalam-dalam hanya demi memuaskan ekspektasi dan tuntutan masyarakat mengenai rupa perempuan sempurna versi era penjajahan?
Hal-hal seperti ini, secara sadar maupun tidak, telah berhasil melanggengkan perbuatan-perbuatan yang mendasari kian maraknya kejahatan seksual kini dan di masa yang akan datang. Sebab perempuan hanya dipandang sebagai objek dan bukan entitas dengan hak berdikari yang sama yang memiliki kesempatan untuk memilih dan menentukan.
Kesadaran terkait keadilan gender sudah seharusnya dibentuk sedini mungkin, dari level paling bawah, agar jangan sampai ada lagi kasus kejahatan seksual yang justru dilakukan oleh para aktivis dengan memanfaatkan nama baik dan panggung kekuasaan. Aktivis yang memiliki idealisme untuk bermanfaat bagi orang banyak perlu menyadari perannya dalam penghapusan stigma yang menjerat perempuan, bukan malah ikut ke dalam barisan mempertanyakan keikutsertaan perempuan sehingga mengokohkan konstruksi berpikir keliru.
Anggapan dan budaya patriarki sedikit banyak mengambil porsi signifikan dalam terbentuknya mentalitas menyepelekan salah satu gender dan menempatkannya lebih rendah daripada gender yang lain. Hal ini memicu menjamurnya tindakan tidak menyenangkan yang lebih dari separuhnya dialami perempuan sebagai korban. Tidak sedikit laki-laki yang masih menganggap bahwa perempuan hanyalah objek seksual, budak dalam institusi rumah tangga, hingga membatasi hak-hak perempuan untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Dari jumlah tak sedikit itu, segelintirnya ialah kaum-kaum aktivis yang memiliki riwayat lantang dalam menyuarakan kritik terhadap pemerintahan, namun lebih kuat lagi suaranya dalam menekan partisipasi perempuan.
Aktivis kaleng-kaleng begini, biasanya amat getol dalam mengomentari kesuksesan perempuan, tetapi justru semangat sekali membela kesalahan sesama lelaki. Rajin mencari-cari kesalahan perempuan untuk mendukung maskulinitasnya yang rapuh. Takut kalah bersaing dengan perempuan, menolak kolaborasi, hingga mendiskreditkan perempuan hanya demi mempertegas ketidakmampuannya dalam bersaing dan unggul.
Ironi rasanya mendengar berbagai idealisme meluncur dari mulut mereka yang juga kerap menjadikan perempuan si nomor dua. Sayangnya, hal-hal demikian juga tidak dapat berhenti sekejap mata.
Kasus kejahatan seksual yang terjadi dalam lingkar pergaulan aktivis seharusnya membuka mata kita akan urgensi saling menghormati dan bahu-bahu untuk menciptakan iklim sosial yang lebih baik dan terhindar dari tindakan-tindakan mengarah pada pelecehan dan kekerasan seksual atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya.
Tidak ada salahnya bila laki-laki turut bersuara menentang tindak kejahatan seksual. Tidak masalah pula bagi laki-laki untuk ikut serta menolak budaya patriarki. Sebab korban kejahatan seksual seringkali tidak memandang gender. Laki-laki dan perempuan berpeluang sama dalam menerima perlakuan yangn tidak berkenan dan tanpa persetujuan.
Sudah waktunya bias gender dihentikan demi terciptanya kedamaian dalam upaya meningkatkan kemajuan generasi. Sudah seharusnya aktivisme kembali pada fitrah sejatinya untuk membawa kemaslahatan bagi semua orang dari berbagai lapisan masyarakat, menjadikan para aktivis sebagai teladan dan garda terdepan, sosok yang menghadirkan rasa aman serta mencerminkan wibawa. Yang pikirannya seterang sikapnya, yang menegakkan nilai-nilai kemanusiaan sampai tulang belulang, yang mampu memimpin logika dan nuraninya sejalan menuju sebuah tatanan perubahan baru ke arah yang lebih baik.
Sudah sepatutnya aktivisme dibersihkan dari pencemaran sejenis. Mari buat status aktivis yang menempel pada banyak dari kita sebagai identitas yang membanggakan dan bukan bahan guyon, apalagi hanya disandang demi memuaskan ego serta ambisi pribadi.
Tangerang Selatan, 15 Juni 2022
Siti Sonia Aseka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar