Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Minggu, 18 Mei 2025

Merespons Fatwa HARAM Vasektomi yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia

Sepekan lalu, MUI melalui akun Instagram resminya, merilis tanggapan mengenai kebijakan yang diberlakukan oleh Gubernur Jawa Barat, yaitu: masyarakat wajib melampirkan bukti telah melakukan vasektomi untuk bisa menerima bantuan sosial (bansos).

Rilis tersebut menekankan bahwa vasektomi HARAM dilakukan dan dianggap sebagai pemandulan bersifat PERMANEN yang DILARANG dalam Islam.


Sayangnya, postingan MUI yang dimaksud sama sekali tidak mendinginkan keadaan, dan malah memperparah kegaduhan di tengah masyarakat.


Pasalnya, MUI terkesan hanya mencantumkan sudut pandang laki-laki di dalam rilis. Mulai dari efek kesehatan, finansial, maupun keadilan dan kemanusiaan yang semuanya berfokus pada laki-laki. Tidak satu lembar slide pun menyebutkan pertimbangan dan perbandingan dengan kontrasepsi perempuan, yang mana lebih banyak dan lebih berat dampaknya bagi kesehatan.


Pada slide kedua, MUI menuliskan, "... (vasektomi) tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam." Kata 'manusiawi' di sini secara general justru menjadi kontradiksi terhadap perempuan sebagai istri dan anak-anak yang bapaknya menolak vasektomi, padahal keluarga tersebut memiliki masalah:

  1. Jumlah anak terlalu banyak dengan jarak usia terlalu dekat

  2. Anak-anak tidak sekolah

  3. Anak-anak ikut/dipaksa/terpaksa mencari nafkah

  4. Tidak memiliki tempat tinggal yang layak (termasuk juga berpindah-pindah tempat karena menunggak pembayaran, dan semacamnya)

  5. Kesulitan memenuhi sandang dan pangan

  6. Terdapat anak yang mengidap penyakit/gangguan kesehatan serius dan tidak mampu mendapatkan perawatan yang layak karena ketiadaan biaya

  7. Istri mengalami gangguan kesehatan/komplikasi karena jarak kehamilan dan kelahiran yang berdekatan

Sejak awal, peraturan bagi calon penerima bantuan sosial ini menyasar masyarakat pra sejahtera dengan permasalahan kompleks dan harus segera diatasi. Membiarkan hal tersebut terjadi hanya akan melanggengkan rantai kemiskinan yang berimbas pada masalah-masalah sosial lain seperti meningkatnya angka kriminalitas.


Pada slide ke-4, MUI menyatakan "MENOLAK kampanye vasektomi secara terbuka dan massal," lalu secara terang-terangan mengklaim REVERSAL VASEKTOMI sebagai prosedur yang MAHAL serta TIDAK DAPAT DIAKSES OLEH SEMUA KALANGAN.


Kebijakan vasektomi ini dibuat oleh Gubernur Jawa Barat terharap keluarga dengan masalah ekonomi dan keluarga yang tidak melek program keluarga berencana (KB) SERTA OTOMATIS membutuhkan dan BERGANTUNG pada BANSOS. Jelas bukan menyasar masyarakat umum yang tidak membutuhkan sokongan berbentuk bantuan sosial.


Kemudian, di slide yang sama, MUI mengklaim prosedur vasektomi TIDAK SESUAI DENGAN PRINSIP KEADILAN. Yang mana kontradiktif sekali lagi terhadap aturan kontrasepsi yang dijalani perempuan.


Perempuan memiliki RISIKO TINGGI dari dampak penggunaan kontrasepsi seperti pembekuan darah, stroke, kanker, tumor otak, hipertensi, hingga serangan asma. Sementara risiko kontrasepsi bagi laki-laki ialah sakit kepala, gangguan suasana hati, dan nyeri otot. Lihat?


Perempuan TIDAK PERNAH BEBAS dari risiko kontrasepsi. Tidak pula berisiko LEBIH RENDAH daripada kontrasepsi bagi laki-laki.


Maka, yang dimaksud ADIL adalah adil untuk siapa sebenarnya?


Pada slide ke-5, MUI menyebutkan, Islam memperbolehkan penggunaan alat kontrasepsi yang bersifat SEMENTARA seperti PIL KB, KONDOM, dan IUD.


Sekali lagi statement ini rancu dan menginjak-injak sisi medis serta kemanusiaan.


Dalam ilmu medis sudah dikatakan bahwa REVERSAL VASEKTOMI sangat mungkin dilakukan dan yang bersangkutan MASIH DAPAT MEMILIKI KETURUNAN LAGI. Namun, MUI menolak dengan alasan MAHAL. Lho, intinya kan bisa? Kenapa pas sudah dinyatakan BISA malah cari-cari alasan lain? Pun untuk masyarakat pra sejahtera dengan jumlah anak yang tergolong banyak (sampai kesulitan dibiayai), reversal vasektomi tidak lagi jadi tujuan utama. Gubernur Jawa Barat melalui kebijakan vasektomi menginginkan peningkatan kualitas generasi muda melalui perbaikan ekonomi keluarga. Fokus ke anak yang sudah ada. Sekolahkan, kasih makan dan tempat tinggal yang layak. Kalau alasannya takut bila ternyata kelak akan bercerai dan tidak bisa punya anak lagi dengan pasangan selanjutnya, saya pikir terlalu dangkal. Kalau memang bercerai, yang putus dan selesai adalah hubungan suami-istri. Anak tetap anak. Harus tetap dipenuhi semua kebutuhannya. Menambah anak dari pasangan yang berbeda namun dengan kondisi ekonomi yang sama, tidak akan menyelesaikan apa-apa, justru hanya menambah masalah baru. Lantas apabila keadaan ekonomi membaik? Ya berarti SANGGUP melakukan reversal vasektomi dengan biaya yang katanya MAHAL itu.


Lantas PIL KB yang termasuk dalam golongan kontrasepsi hormonal, memiliki risiko seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya. IUD (kontrasepsi non-hormonal) juga tidak lantas BEBAS RISIKO. Proses pemasangan yang menyakitkan, tak ketinggalan kemungkinan pergeseran letak adalah hal yang harus ditanggung perempuan dan SANGAT MEMBAHAYAKAN karena dapat berdampak pada bagian tubuh lain.


Kondom dianggap sebagai satu-satunya alat kontrasepsi untuk laki-laki yang 'aman' tanpa efek samping. Namun, penelitian justru menyebutkan 80℅ laki-laki menolak menggunakan kondom dengan berbagai alasan, seperti: merasa tidak nyaman, percaya bahwa ia/pasangannya tidak memiliki penyakit menular seksual, dll. SEKALI LAGI, pihak yang menolak adalah LAKI-LAKI, bukan perempuan. Dan alasannya LAGI-LAGI perkara 'kenyamanan'. Luar biasa, kan?


Maka statement MUI ini harusnya tidak berlaku karena terkesan tidak perlu. Seolah meremehkan risiko kontrasepsi yang dialami oleh perempuan dan secara tidak langsung menekankan kewajiban penggunaan alat kontrasepsi adalah milik perempuan seorang.


Pada kalimat terakhir, MUI menyebut bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah membangun generasi yang kuat melalui pendidikan, perlindungan, dan keadilan sosial. Lagi-lagi, statement ini bias, terlampau teoritis, dan tidak memberikan solusi.


Anak-anak yang lahir dari keluarga pra sejahtera, bergantung pada bansos, tidak mendapatkan haknya dalam mengakses pendidikan, fasilitas kesehatan, dan tempat tinggal yang layak, adalah korban sesungguhnya dari sikap masyarakat pun lembaga yang DENIAL dan tidak mengakui bahwa anak-anak tersebut juga punya suara untuk menuntut keadilan.


Saya percaya pemandulan permanen secara sengaja dalam Islam adalah hal yang dilarang dalam syariat. TETAPI, MUI sendiri menyatakan TERDAPAT PENGECUALIAN dalam aturan vasektomi dan tubektomi, yaitu: apabila terdapat risiko kesehatan berat jika pasangan (baik suami/istri) memiliki keturunan lagi.


SEHARUSNYA, poin ini juga dipublikasikan secara luas agar masyarakat dapat mengetahui sisi berbeda dan tidak saklek memaksakan fatwa pada kondisi yang tidak memungkinkan.


Pun, syarat untuk melakukan vasektomi haruslah disosialisasikan agar masyarakat dapat ikut menimbang sesuai kondisi masing-masing, tidak sekadar ikut-ikutan atau menolak mentah-mentah tanpa ilmu yang jelas.


Allah memang sudah menetapkan rezeki bagi masing-masing hamba-Nya. Tidak ada yang terlewat barang sedikit jua. NAMUN istilah 'banyak anak banyak rezeki' atau 'rezeki sudah diatur' tidak bisa begitu saja dijadikan bahan berargumen.


Bagi kalian dengan previlege untuk mampu menyekolahkan anak di lembaga pendidikan terbaik, memiliki akses yang mudah dalam mendapatkan fasilitas kesehatan berkualitas, tidak pernah kesulitan dalam memenuhi sandang, pangan, dan papan keluarga, jelas kebijakan pemberlakuan vasektomi tidak diperuntukkan bagi kalian.


Yang dipermasalahkan sejak awal adalah orangtua yang kesulitan secara finansial, namun terlanjur memiliki banyak anak dalam jarak dekat di luar kesanggupannya, dan masalah-masalah sosial lain yang ditimbulkan oleh kurangnya kendali dan pengetahuan terhadap hak dan kewajiban sebagai orangtua dalam membesarkan anak. That's it.


Karena perdebatan ini, saya berkesimpulan bahwa penting bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, sosil masyarakat, dan bernegara, terlebih ikut serta dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan kebijakan publik yang berkeadilan, mewakili suara perempuan, dan tidak asal-asalan.


Dari 39 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, hanya terdapat 5 orang pimpinan perempuan. Sementara tidak ada satu pun perempuan yang dilibatkan dalam dewan pertimbangan.


Agama bukan hanya diperuntukkan bagi satu jenis kelamin. Agama adalah milik semua, dan semua yang meyakini memiliki nilai yang sama di mata Tuhan.


Minggu, 09 Maret 2025

Refleksi Peringatan International Women's Day 2025

"We realize the importance of our voices only when we are silenced."–Malala Yousafzai, I Am Malala

Pada tahun 2021, saya pernah diundang sebagai pembicara pada sebuah acara bedah buku online oleh salah satu lembaga dakwah mahasiswa di kampus tempat saya menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana. Buku yang dibedah kala itu berjudul Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan karya Shalah Qazan.

Beberapa jam sebelum acara dimulai, saya dicecar dengan pertanyaan menyelidik dari dua orang, "Ini bukunya tentang apa? Amankah dibahas oleh lembaga dakwah? Apakah mengandung paham feminis? Apakah tidak masalah dibahas oleh adik-adik kita?"

Jujur, saya menghargai pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan. Menunjukkan kepedulian dan mengonfirmasi sesuatu secara langsung dari sumbernya ketimbang menggunjing atau meyakini kekeliruan dan kesalahpahaman.

Namun yang saya sayangkan adalah, proses tersebut dilakukan pada hari H acara berlangsung padahal pamflet acara telah disebarkan beberapa hari sebelumnya. Lantas selama beberapa hari yang berlalu, pada ke mana saja?

Juga pertanyaan konyol semacam, "Itu bukunya tentang apa?"

Tidak bermaksud jahat, namun dunia sudah dikuasai internet dan ekspansi informasi menghantam bak gelombang masif, tak main-main. Tidak sulit untuk mencari review buku tersebut bila memang malas membaca keseluruhan isi buku.

Lantas saya mencoba menjawab sesingkat dan setenang mungkin, meski dalam hati carut marut.

Hari ini, pada peringatan hari perempuan internasional, saya mendapati pertanyaan serupa, "Bukankah IWD merupakan bagian dari feminisme? Bukankah ini agenda feminis? Bukankah ini cara feminis untuk menyebarkan paham-paham yang mereka yakini?"

Maka saya menyadari, masih sangat banyak orang merasa kata perempuan, kebebasan, dan kesetaraan tidak pantas disandingkan dan berdiri bergandengan. Seolah alergi kronis.

Padahal sesungguhnya, peringatan ini sesederhana mengenang dan menapak tilas perjuangan perempuan yang bergerak padu menuntut kesamaan dalam keadilan upah, hak suara, dan jam kerja yang lebih manusiawi. Hak yang melekat dalam diri manusia, yang seharusnya didapatkan tanpa perlu mengeluarkan energi lebih, justru harus diperjuangkan sampai berdarah-darah.

Tidak sampai di sana saja. Deklarasi resmi dan penentuan peringatan secara global membutuhkan waktu puluhan tahun, akumulasi dari berbagai gagasan, pertemuan, kongres, dan tuntutan.

Begitu menyakitkan rasanya ketika perjuangan tulus nan penuh ketidakpastian tersebut malah disalahartikan dan menerima penolakan bahkan dari kalangan perempuan sendiri.

Perayaan Hari Perempuan Internasional tidak hanya diperingati untuk mengenang sejarah perjuangan perempuan, tetapi juga demi menyuarakan isu-isu gender, kesetaraan, kekerasan terhadap perempuan, dan pemberdayaan perempuan di seluruh dunia.

Perjuangan masih panjang. Tantangan akan terus ada. Keadilan gender dan kesetaraan hak adalah misi utama yang patut digarisbawahi senantiasa. Kita tidak bisa terus berpaku pada stigma, prasangka, sehingga membatasi gerak dan kontribusi untuk menyuarakan ketimpangan.

"We cannot all succeed when half of us are held back."Malala Yousafzai

Senin, 24 Februari 2025

Chasing The Train


Today, I went out with Yaya. Initially, I planned to take her to a trial class at an English language institute. Unfortunately, the plan was changed as the class was rescheduled, and we ended up wandering around the mall, watching deer, having lunch, and browsing through some cute accessories.

We chose to travel by train, both to and from the mall. What made the experience special was the tunnel connecting the train station to one of the mall gates. An interesting fact about this tunnel is that it's not just a regular tunnel, but it also has a mini-market, with snack vendors, drinks, and escalators inside. The ceiling is decorated with beautiful lights, which make for a pleasant sight. Despite lacking air conditioning, the tunnel never felt hot or stuffy. What could have been a tiring journey actually felt short and comfortable.

On our way back, we stopped at the mini-market in the tunnel to buy a drink. Afterward, as we left the store, I crossed paths with a man. He looked to be in his early thirties and seemed to be working remotely as he carried a laptop while wearing very casual clothes— a t-shirt and knee-length shorts.


From where we stood, I could hear the train that we were supposed to board making its departure sound. Just as we were about to take the escalator, Yaya tightened her grip on my fingers and said, "Mom, my shoe came off."


I looked down and saw that indeed one of her shoes had almost fallen off her small foot. I crouched down to fix it, making sure both shoes were secure, comfortable, and wouldn’t slip off again while walking. Yaya smiled and thanked me after I finished helping her. At that moment, I realized the man I had crossed paths with earlier had already passed by. Perhaps he managed to catch the train that had just left. Unconsciously, I let out a sigh.


Being a mother often makes me feel this way; left behind. People seem to move so quickly, walking without obstacles or burdens, while I often feel like I’m just watching and offering small claps or comments that mean little. When I want to move as fast as I’d like, I have to face the reality that right now, it’s not just about me. I am with my small family, and compromises and negotiations often take longer than I expect. Walking with six feet, three heads, and more than one mouth is a challenge. We may all have our own ambitions, but those ambitions can’t always be pursued solely for personal satisfaction. If only one pair of feet moves while the others stand still, we’ll just end up falling and getting hurt.


By the time Yaya and I reached the top, the place was unusually quiet, even emptier than usual. Not more than five people were waiting, sitting and playing with their phones. The train would arrive in ten minutes. I sat with Yaya, chatted with her, sang her favorite songs, and gave her some snacks we had brought from home.


Before I knew it, the train we had been waiting for arrived. From the train’s slowly moving window, I saw that it was quite empty inside. Ah, a silent prayer of thanks crossed my mind. This way, we could get seats. There would be no crowd, no heat because the air conditioning wouldn’t work well in a packed train, and Yaya could relax.

Once again, being a mother teaches me to slow down. To appreciate time and togetherness, enjoy the moments, pay attention to more details, and not forget to be grateful for blessings that go unnoticed when we're in a hurry. Learning to select, correct, and evaluate, listen more often, make wiser choices, and accept the beginnings and ends of whatever form or result they may bring.


So this is the goodness in it all. The fruit of prayers and hopes, even though sometimes it makes me wonder, "When will this end? What’s the destination? Will I always move slower than others?"


The train moved for a few seconds after we found our seats. Yaya happily exclaimed, looking out the window. She chattered about the blue sky and the drifting clouds. I observed her round face and long eyelashes, just like her father's. In moments like this, I sometimes wish time would stop, allowing us to create more memories in our hearts, filled with joy.



Bogor, 24 Februari 2025

Siti Sonia Aseka

Merespons Fatwa HARAM Vasektomi yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia

Sepekan lalu, MUI melalui akun Instagram resminya, merilis tanggapan mengenai kebijakan yang diberlakukan oleh Gubernur Jawa Barat, yaitu: m...