SYAWAL
(Siti Sonia Aseka)
Bulan
Syawal berlalu banyak. Jelang sepuluh hari terakhir, terhitung telah masuk
sekitar lima belas undangan Walimatul Ursy. Belum lagi semua adalah kawan
dekat, mbak-mbak seorganisasi bahkan, juga pembicara-pembicara kece di
Daurah-Daurah kampus. Yang lebih parah, rata-rata Akhwat yang menikah adalah
Akhwat satu fakultas, yang karena itu pertanyaan kapan nyusul serta merta usil
dilontarkan rekan satu lingkaran. Pusing. Padahal, menurutku menikah bukan soal
musim-musiman atau ajang siapa yang laku tercepat. Bukan itu tentu saja.
Menikah bahkan punya makna luas yang aku sendiri belum bisa mendeteksi apa dan
bagaimana. Hanya seringkali membaca beberapa cerita seputar pernikahan di blog
atau situs menulis online.
Berita terupdate hari ini masih
seputar pernikahan Muzammil Hasballah dengan Sonia Ristanti. Semua Akhwat serta
merta tersandung virus baper. Bahkan hastag Hari Patah Hati Dunia Akhirat pun
memenuhi sosial media. Lepas dari kabar mengguncang dunia perakhwatan itu,
muncul lagi kabar yang dijamin bikin seisi kost banjir air mata dan ingus
membahana. Fatih Sefaragic yang diidam-idamkan oleh Akhwat seantero bumi pun
kedapatan mengunggah foto cincin pernikahan. Apa nggak mati baper?
“Ya itulah kenapa kita kudu rajin
memantaskan diri. Liat ikhwan-ikhwan zaman begini. Nyarinya ya akhwat total
bukan gadungan, setengah taat setengah nanti-nantilah.”
Itu kalimat Rini di suatu sesi sahur
shaum syawal, ketika seluruh penghuni kost mengitari meja makan. Ike di sudut
lain angguk-angguk pertanda ngantuk, sementara yang lain keliatan sibuk memilah
menu mana yang mau diambil sebelum keduluan yang lain.
“Heh, udah tahajud belum ente? Maen
duduk aje.” Rini nyaris menggetok kepalaku dengan gagang centong.
“Ye udah kali, mak.” Aku buru-buru melarikan
paha ayam yang bila lengah sebentar saja, bakal ditarik tanpa ragu oleh Rasti
yang keliatan sekali lapar pakai banget.
“Ya Allah, iki opo?” suara Ana
terdengar setengah memekik di seberang meja. Aku meringis.
“Apa sih, Na? paling jadwal kuliahmu
diundur lagi, kan?” Ike melirik kesal. Padahal kalau saja Ana nggak usil
berteriak, dia sudah tertidur nyaman sambil ngunyah ayam.
“Mbak Sari sama Bang Doni nikah wey
Minggu depan!”
Bunyi gradak gruduk terdengar riuh.
Bahkan Rini yang sejak tadi paling bijak ikut-ikutan melompat ke arah Ana,
merebut hp-nya yang entah sejak kapan sudah retak-retak tanpa dosa. Entahlah,
mungkin penghuni kost kanan kiri yang juga tengah bangun sahur punya niat
melempar kami dengan piring pecah belah atau sendok makan atau apa saja yang
sekiranya bisa menimbulkan lebam.
“Syawal oh Syawal, cobaan mu kok ya
gini amat?” dalam gaduh masih sempat terdengar rintih hati Rini yang membuat
kami cekikikan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar