PEREMPUAN
MENGANGKASA
Siti
Sonia Aseka
“Untukmu,
perempuan.
Engkau
harusnya bangga. Dalam keadaan fisik yang tak sekuat baja, dengan hati yang
lebih halus dari sutera, kau tetap bisa berbuat lebih banyak dan sebenar hebat
dengan menebar manfaat tanpa kenal sudah.”
Sejatinya, manusia adalah
pembelajar. Terkhusus perempuan, makhluk yang ulung dalam mengingat dan ahli
soal perasaan. Menjadi perempuan, hati mungkin pernah terbersit rasa iri
terhadap kaum lelaki. Dengan jumlah populasi perempuan di muka bumi yang
berbanding lebih dari dua kali jumlah lelaki, sudah barang tentu persaingan
menjadi lebih sengit lagi. Kompetisi adalah harga mati, atau menyerah yang
berarti mati. Tetapi, itulah indahnya. Perempuan akan memahami arti dari banyak
pengorbanan dan kerja keras. Bukan untuk mengalahkan sesama perempuan atau
memusuhi kaum lelaki, tetapi lebih kepada pembuktian bahwa dunia tak pernah
menutup mata akan usaha.
Bukan suatu hal yang aneh apabila hari ini banyak kita
jumpai perempuan yang menjadi pelajar di luar negeri, bekerja bahkan membangun
bisnis melampaui zona nyaman. Tentu bukan hal mudah untuk memulai, pun tak
serta merta menjadi mustahil untuk cemerlang di era modernitas zaman. Dengan
sekian pencapaian dan keberhasilan, akan muncul kemungkinan untuk menjadi
inspirasi bagi perempuan lain. Karena membatasi ruang gerak perempuan tidak
akan membuat cahayanya redup. Justru menjadikan cahaya mereka kian cerah dan fokus
menerangi sekitar, walau tak banyak karya yang mampu ia
ukir atau banyak kepala mengingat nama. Namun, bukan berarti menjadikan segala
hal yang kita anggap baik sebagai obsesi adalah hal yang baik pula. Karena otak
yang terbiasa mengesampingkan apalagi meremehkan banyak hal demi satu hal yang
belum tentu tepat hanya akan membuang waktu dan menjadikan kita lupa
bagaimana cara menikmati hidup.
Diantara
banyak peran yang dijalani oleh perempuan, tak menutup kemungkinan
bahwa lagi-lagi, peran yang mereka ambil terkadang merupakan keharusan dan
bukan bagian dari pilihan. Tetapi, justru hal tersebutlah yang akan menampilkan
bakat serta keterampilan mereka. Sehingga lahirlah perempuan-perempuan yang
takkan tergerus oleh perputaran masa.
1. Perempuan Sebagai Anak
Menjadi seorang anak yang hidup di bawah
naungan orangtua, adalah kewajiban kita untuk berbakti dan taat terhadap mereka.
Tidak sekedar tentang mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi juga timbal balik
dalam hal kasih sayang dan perhatian. Terhadap anak, orangtua tentu mencurahkan
seluruh jiwanya. Tetapi ternyata, hal tersebut juga menjadi kewajiban kita
kepada orangtua. Hubungan anak-orangtua yang sehat tidak sekedar tentang patuh
dan mengangguk saja tanpa ikut buka suara. Sama sekali bukan. Family Democrative System ternyata
benar-benar ada dan tepat untuk dicoba. Sebagai contoh nyatanya, di keluarga saya,
kami terbiasa untuk menyatakan segala hal yang ada dalam kepala. Tentang niat
dan rencana, keinginan bahkan pengambilan keputusan. Kami biasa berbincang,
berdiskusi, dan berpendapat. Sebagai anak, tentu ada norma-norma yang harus dijaga,
salah satunya ialah sopan santun. Terlepas dari itu, menjadi seorang anak
adalah kesempatan yang harus dimaksimalkan. Sebab, sebelum letak surga berpindah
dari telapak kaki ibu menuju pundak suami, haruslah kita jaga peran kita agar
tidak melukai bahkan merusak kesempatan kita sendiri untuk menikmati keindahan surga.
2.
Perempuan
Sebagai Pelajar
Salah satu amanah Allah yang dititipkan
melalui orangtua untuk kita adalah belajar. Untuk terus hidup dan mengukir arti
di bumi ini, haruslah kita miliki bekal hidup yang takkan hilang walau digerus
waktu, yaitu ilmu. Dengan pengetahuan yang luas, dapat dipastikan kita takkan
menjadi budak dunia yang hanya fokus pada kebahagiaan duniawi saja, tetapi juga
menyiapkan bekal untuk kehidupan setelah kematian. Kita mungkin tidak dapat
menyaingi kecerdasan Aisyah RA yang ahli dalam syair, fiqih, juga menguasai
ilmu kedokteran, Selain itu, Aisyah juga merupakan wanita yang memahami politik.
Hal tersebut terbukti dengan keikutsertaan beliau sebagai salah satu pejuang
perang Unta setelah kematian Khalifah Utsman Bin Affan dan awal kepemimpinan
Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Aisyah, yang juga dikenal sebagai seorang
periwayat hadits yang nyaris seluruh hadits-hadits itu ia dapatkan langsung
dari keseharian Rasulullah Muhammad SAW semasa hidup. Paling tidak, kita
mencoba memaksimalkan kapasitas, tidak mencari-cari alasan demi terus berpangku
tangan. Karena dengan atau tanpa kita sadari, dunia tidak akan menunggu kita
siap untuk berkembang, karena ia terus melaju pesat.
3.
Perempuan
Sebagai Istri
Menjadi seorang istri berarti menjadi
separuh lain dari jiwa suami. Tulang rusuk yang ditemukan kembali setelah
melalui panjang jalan dan liku haluan. Perempuan yang telah menyandang status
sebagai istri, haruslah mengerti bahwa hidupnya bukan lagi miliknya seorang.
Segala hal yang ia miliki telah menjelma menjadi milik orang lain yang akan
menemaninya sepanjang sisa kehidupan. Sebagai istri, tentu berbeda ketika kita
menjadi anak atau saat berperan sebagai pelajar. Ketika menjadi anak, kita
patuh dan taat terhadap orangtua, namun setelah menikah, kepatuhan dan ketaatan
kita semata berlabuh pada suami. Memang tidak mudah menyesuaikan, hidup bersama
seseorang yang baru kita kenal, bertemu dia sejak pagi hingga bertemu pagi
selanjutnya, menyiapkan keperluannya, membantu ia mengambil keputusan dan
menjadi tempat bersandar terbaik kala nyaris kehilangan arah. Selain
mengerjakan tugas rumah tangga, perempuan haruslah cerdas ketika diajak
berdiskusi, tidak melulu membahas soal dapur, tetapi juga membantu membuka
pikiran suami ketika ia membutuhkan banyak masukan dan saran. Karena akan ada masa
ketika hebat dan cemerlang seorang lelaki merapuh sebab masalah, disitulah
perempuan mengambil peran. Kerja sama dan timbal balik adalah kebutuhan yang
harus dipunya oleh dua orang yang membangun rumah tangga.
4.
Perempuan
Sebagai Ibu
Seorang ibu adalah cinta sejati bagi
anak-anaknya. Kepada ibunyalah mereka mengadukan segala perasaan dan keinginan.
Kepada ibu pula mereka mencari perlindungan. Sebab dalam dekap seorang ibu tersimpan
jutaan bahagia dan damai yang takkan pernah ditemukan di tempat lain. Kemanapun
anak-anak pergi, ibu selalu menjadi rumah untuk kembali. Serumit apapun masalah
yang dihadapi, ibu selalu menjadi sebaik-baik pemberi solusi. Ibu selalu
menjadi sumber tawa dan alasan untuk pulang. Karena ibulah, seorang anak mampu
menghebat, karena sejak kecil ia berada dalam asuhan perempuan kuat. Menjadi
seorang ibu berarti siap menjadi sabar dan rendah hati sepanjang hidup, menyimpan
banyak air mata untuk menangis haru menyaksikan keberhasilan anak-anaknya,
serta menebar banyak tawa yang akan membuat anak-anaknya ingat untuk selalu
bahagia. Sebagai ibu, posisikan diri kita sebagai sahabat dan pendengar yang
baik. Dihargai dan dicintai, ditunggu kehadiran dan diingat wajah serta
dirindukan lembut suaranya. Menjadi contoh bagi mereka untuk selalu menebar
kebaikan.
5.
Ibu Rumah Tangga VS
Wanita Karier
Hari ini, perempuan dibenturkan pada
realita tentang gengsi dan fitrah hidup yang abadi. Ketika ibu rumah tangga
dianggap tak sepadan dengan wanita karier, atau ketika mengasuh anak dan
melakukan pekerjaan rumah dianggap sebagai sikap merendahkan martabat
perempuan. Padahal sungguh, tak ada pekerjaan yang lebih hebat dari pekerjaan
lain. Ini hanya soal sudut pandang beberapa orang yang anehnya ikut
mempengaruhi taraf penilaian sosial. Issu seputar emansipasi juga kerap
menjadikan perempuan malu untuk diam di rumah dan mengurus anak serta suami.
Bahkan parahnya, emansipasi dijadikan dalih atas terbengkalainya urusan-urusan
rumah tangga. Perempuan menjadi gila hormat dan ingin dikatakan hebat. Padahal,
apa lagi yang dikejar ketika semesta telah berpindah ke dalam sebuah lingkungan
istimewa bernama rumah? Emansipasi bukan solusi. Ketika kesalahpahaman malah
muncul dari satu diksi yang sesungguhnya masih ambigu bagi mereka yang tak
memahami makna yang hakiki. Sekali lagi, emansipasi bukan soal mengalahkan kaum
lelaki atau melampaui mereka dalam hal kerja dan kemampuan. Tetapi, tentang
menjadi tempat pulang paling baik dan motivasi terkuat untuk para bocah-bocah
kecil bermata jeli yang menatap kita penuh arti.
Sebaliknya, alangkah aneh ketika
mendapati ibu rumah tangga yang mencerca wanita karier sebab dirasa tidak becus
mengurus anak dan tidak paham benar tentang urusan rumah. Saya katakan bahwa
sesungguhnya, menjadi ibu rumah tangga ataupun wanita karier adalah pilihan
masing-masing pribadi dan sungguh tepat sesuai kondisi. Apabila dengan menjadi
ibu rumah tangga ia mampu berkarya dan menghasilkan generasi emas, mengurus
suami dengan semaksimal yang ia bisa, tentulah hal tersebut telah menjadi
kepuasan dan pencapaian yang ia sendiri akan merasakan dampaknya. Di lain
pihak, apabila dengan bekerja di luar rumah, menjadi pegawai kantoran atau
pekerjaan apapun yang membelah waktu menjadi dua dirasa mampu membuat ia
berkembang, meraih banyak prestasi, membanggakan untuk dirinya sendiri dan
keluarganya, tentu itu juga menjadi hal yang tak bisa luput dari perhatian.
Sampai di titik ini, kita bersama harus menyadari, bahwa perempuan selalu indah
dengan caranya, apapun yang terjadi, selagi ia tak pernah memilih berhenti
bahkan lari.
Sebagai contoh nyata, saya akan
beberkan sedikit kisah dari seorang perempuan yang sejak dulu menjadi tempat
bagi saya untuk beristirahat setelah perjalanan panjang, perempuan yang akan
saya temui setiap pulang ke rumah, perempuan yang selalu menanyakan tentang apa
yang saya makan dan lakukan tanpa dia. Saya memanggilnya, ibu. Beliau adalah
ibu rumah tangga merangkap wanita karier, bekerja lima hari dalam seminggu
bahkan lebih dan kerap pulang di malam hari. Waktu bertemu dengan beliau hanya
pagi hingga siang hari. Selebihnya, beliau habiskan waktu di tempat kerja.
Mungkin banyak yang berpikir pastilah kami memiliki asisten rumah tangga dan
tidak dekat dengan perempuan yang melahirkan kami. Pendapat itu dapat saya
pastikan salah besar. Sejak dulu, kami tidak pernah memiliki asisten rumah
tangga. Pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah menjadi
tanggung jawab seluruh anggota keluarga. Dan ibu selalu menjadi orang yang
mengerjakan segalanya dengan porsi paling banyak. Ditengah segala kesibukan
itu, ibu tetap menjadi pusat dari tata surya di rumah. Tempat kami menangis
ketika putus asa karena gagal, tempat kami menanyakan barang-barang yang luput
dari penglihatan, tempat melaporkan seluruh agenda harian, mingguan bahkan
tahunan, tempat kami menanyakan keputusan yang akan kami ambil di masa depan,
segalanya. Ia selalu menjadi orang yang paling tau dan paling baik dalam
memberikan solusi yang benar. Hingga hari ini, saya menyadari bahwa
sesungguhnya, kunci dari kesuksesan ibu sebagai wanita karier merangkap ibu
rumah tangga adalah komunikasi yang lancar. Dengan ayah, beliau habiskan banyak
waktu yang ia punya untuk menceritakan apa saja yang terjadi ditempat kerja dan
kegiatan anak-anaknya. Begitupun ayah yang selalu menjadi pendengar setia dan
teman tertawa yang cocok untuk ibu. Dan anak-anak, bagaimanapun sibuknya,
selalu menjadi prioritas utama dan pertama.
Mari Menjadi Cahaya yang
Menyejukkan Hati
Sebagai manusia juga perempuan, adalah
harus untuk terus bercermin dari kesalahan masa lalu. Mementingkan variabel
mengapa dan bagaimana, meletakkan prioritas itu menjadi sorotan utama kala
ingin membulatkan keputusan. Bila kelayakan sikap seperti itu tidak tampak
dalam diri kita dan selalu merasa benar dalam langkah, maka waspadalah. Mungkin
kita sedang terbuai keadaan dan tidak siap dengan gugatan. Bila suatu ketika
keputusan kita dipertanyakan, adalah kemungkinan pasti bagi kita untuk langsung
melabeli penanya sebagai pembangkang yang tanpa ketaatan. Sedangkan hakikat
perempuan adalah menjadi air ditengah api, menenangkan dan dirindukan hadirnya.
Perempuan ialah simbol keanggunan sekaligus ketegasan. Berprinsip di tengah
rapuh dedaunan, memiliki akar yang kokoh untuk menopang banyak beban. Haruslah
tertanam dalam diri untuk senantiasa meneduhkan sekitar.
Perempuan,
Mengangkasalah!
Ambil bagian, maksimalkan peran,
Jangan biarkan dunia ini berkembang tanpa campur tanganmu di dalamnya. Dengan
segenap kemampuan, bergeraklah! Jangan jadikan keterbatasan sebagai alasan
untuk diam di tempat. Jangan pula pasrah pada kemalasan dan berhenti sebab
anggapan. Perempuan adalah kita, perempuan adalah awal untuk suatu peradaban
besar. Pegang kendali atas dirimu sendiri, kemudian bantulan lelaki untuk
mengatur isi bumi. Kemudian, kembalilah pada hakikat diri yang sejati; mengurus
malaikat bermata jeli, menjadi tulang rusuk yang kembali, dan pusat dari Bima
Sakti mini; tempat anak-anak mencari kala tak tau harus melakukan apa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar