Perempuan itu tak pernah mengerti mengapa secangkir kopi bisa luar biasa memberi dampak seperti sengatan listrik bagi beberapa orang. Kecuali fakta bahwa minuman pekat satu itu ternyata membawa sebongkah kenangan usang, nyaris membatu pada relung hati yang pecah jadi seribu.
Apa yang membawanya datang?
Sebuah undangan dari nomor tak dikenal, keinginan untuk menjemput penjelasan, atau memang karena ia hanya sekedar lupa meletakkan kemarahan dan kebencian pada tempat yang seharusnya?
Pada detik ketika kepala seolah dihantam tanpa ampun, Kina seketika membeku kala suara lonceng dari pintu masuk mendadak tersalur cepat memasuki rongga telinga. Tidak banyak orang sudi menghabiskan waktunya dengan duduk-duduk sembari menikmati sarapan di sebuah kafe, perempuan dengan mata sendu ini juga salah satunya. Tapi, untuk beberapa alasan, ia harus melakukan hal-hal menggelikan semacam itu demi janji bertemu seseorang.
Seseorang yang penting, barangkali.
Kursi dihadapannya ditarik mundur sekejap. Kina entah bagaimana bisa merasakan udara sekitar tiba-tiba menyusut tanpa sisa. Pada detik berikutnya, ketika perempuan itu mengangkat wajah yang setengah mati dibuat biasa, ia bisa dengan leluasa menangkap raut yang telah sekian lama lenyap dari jangkauan.
"Ingin memesan sesuatu atau hanya berniat duduk di situ tanpa melakukan apapun?"
Kina membulatkan mata tak percaya. Bermenit-menit yang habis dilibas canggung, laki-laki dengan surai hitam legam tersebut hanya menatap dan menghela napas berat untuk beberapa waktu yang tampak kalut.
Mengapa mereka ada di sini?
Kenapa bisa sampai berjumpa lagi?
"Secangkir kopi."
"Tanpa gula?"
"Ya, tolong."
Kina bisa merasakan atmosfer mendadak jadi dingin sekali. Perempuan itu bahkan memilih bangkit tanpa menunggu instruksi ke sekian kali. Memilih menjauh sejenak, mengatur degub dan detak. Sebab selalu ada yang bertalu tak normal sejak lama, bahkan kala ia merasa hal-hal semacam itu telah sirna dari bayangan.
"Secangkir kopi, tanpa gula." Kina tersenyum tipis kala pelayan mencatat pesanan, berkata tunggu sebentar, lalu menghilang dari pandangan. Perempuan itu memandang kosong ke depan, tanpa berniat mencari tahu apa yang tengah dilakukan oleh pria yang baru tiba di meja mereka.
Mereka harusnya membuka pertemuan dengan sapaan paling akrab, seperti pelukan atau paling tidak jabat tangan lalu bercakap mengenai banyak hal. Tentang kota yang telah ditinggalkan, soal memori yang mendadak mampir lalu menggoda, atau bahkan membicarakan perasaan satu sama lain kala harus hidup berjauhan.
Namun ternyata semua hal-hal manis itu hanya harus tetap tinggal lebih lama dalam kepala.
"Ini dia. Selamat menikmati."
Kina habis-habisan mengutuk diri kala tersadar dari lamunan dan harus menghadapi kenyataan di depan mata. Bangun, Kina. Batinnya, mengusir sekian keinginan untuk lari, menghilang. Menyembunyikan diri di balik selimut di dalam kamar, tertidur panjang. Mungkin tidak bangkit dari ranjang untuk satu pekan adalah ide bagus dalam keadaan super kacau begini.
"Apa menu sarapanmu pagi ini?"
Kina menahan napas tatkala mata bulat itu menatap lekat. Secangkir kopi telah diletakkan. Uapnya sebentar saja memenuhi udara, bercampur lalu terbang ke angkasa.
Perempuan itu mengerjap, tersenyum tipis lalu mengetuk pinggiran cangkir miliknya.
"Hanya latte saja."
"Kau harus berhenti memblock makanan di pagi hari, kau tahu?"
Kina tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Omelan, nasihat, argh…. Perempuan itu mendadak diterpa pusing tepat di kepala.
"Berlin tampak luar biasa bagimu?"
Kina melontar tanya setelah mereka puas berargumen dengan tuduhan dan pembelaan. Laki-laki di hadapannya menyesap kopi sekali lagi hingga tandas. Memalingkan pandang ke luar jendela, lantas melempar tatapannya lurus lagi, tepat pada manik mata sendu yang selalu ia rindukan setengah mati.
"Berlin memang luar biasa. Tapi, kau tahulah, di antara dua tempat, selalu hanya ada satu yang bisa menarikmu kembali. Dan perasaan semacam itu faktanya tidak hadir saat aku ratusan mil jauh dari Berlin."
Kina tertawa kecil. Nyaris menggoda sebelum gendang telinganya kembali menangkap getar suara disusul deru napas yang begitu berat.
"Entah bagaimana, saat ini aku sungguh merasa pulang."
"Tapi, kau bahkan belum tiba di rumah."
"Memang." Laki-laki tersebut tertawa, menyipitkan mata lalu menyambung, "Aneh, 'kan?"
Kina mengangguk kecil. Merasakan dadanya seolah ditekan kuat. Ingin sekali ia mengeluarkan suara, berkata betapa selama nyaris bertahun, perempuan itu bahkan tak menemukan satupun tempat untuk pulang. Ia telah kehilangan rumah lamanya, sesuatu yang tiba-tiba saja tak mampu ia temukan di mana-mana.
Tapi, hari ini, sama seperti pemuda itu, mengapa ia mendadak merasa pulang?
Palembang, 28 Februari 2019
Siti Sonia Aseka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar