Lantas, saya jumpai banyak sekali perubahan dalam diri setelah usia mencapai angka dua puluh.
Tentang kemarahan, dulu, saya adalah satu dari sekian orang yang gampang sekali tersulut. Tidak segan untuk mengekspresikan amarah tersebut dalam bentuk omelan, gebrak meja, menaikkan nada suara, sampai dengan tingkat paling ekstrim; menyalahkan orang lain atas alasan A - Z yang saya buat-buat sendiri, mengait-ngaitkan masalah satu dengan masalah lain. Pokoknya menggebu-gebu sekali, deh. Tidak peduli orang akan sakit hati atau tidak, tidak ingin tahu apakah ucapan atau bahkan tindakan yang saya katakan dan lakukan saat marah tersebut mampu menggores bahkan mematahkan orang lain. Yang penting saya lega, yang penting saya telah menyampaikan kemarahan saya demi membuat diri sendiri tampak lebih baik. Egois benar, bukan?
Lalu, tibalah saya di usia ini. Setelah melewati banyak sekali kejadian, mendapat sekian pengalaman, bertemu lebih banyak orang, memperluas lingkaran sosial, menemukan cara yang benar dalam berteman dan berusaha untuk berdamai dengan sikap berapi-api tadi, saya sadar bahwa akhirnya saya perlahan mampu meredam luar biasa banyak kebiasaan lama.
Saya tidak lagi segampang itu terpancing atas sesuatu yang bagi saya salah dan tidak semestinya. Setiap manusia, sekian kepala, banyak hati, berjuta kacamata, tidak dapat kita paksa untuk menatap pada sudut pandang serupa. Tahu mengapa? Ya karena walaupun diciptakan dari satu unsur yang sama, namun manusia tidak dilengkapi dengan takdir yang sama pula. Semua orang punya pikiran dan jalan hidupnya masing-masing.
Saya mulai berhenti menghakimi sesuatu sesuai dengan apa yang saya percayai saja. Saya mulai berhenti mengambil kesimpulan atas apa yang terjadi dalam satu kali lihat atau alami. Saya berhenti pula membenarkan apa yang saya anggap sebagai sesuatu yang harusnya memang dilakukan semua orang. Dalam kata lain, dengan berbuat begitu, saya akhirnya dapat menahan kemarahan, walaupun masih seolah akan meluncur keluar dari ujung lidah bila tak dikendalikan sedemikian rupa.
Saya lebih banyak menghela napas, tersenyum, dan diam. Lebih sering menampilkan kemarahan lewat raut wajah saja dan bagi saya hal semacam itu benar-benar banyak membantu.
Meski tentu, ada-ada saja individu baru yang akan memprotes sikap diam dan ekspresi dingin yang saya perlihatkan. Masih ada pula individu lama yang akan kembali mempermasalahkan diamnya saya dan ekspresi tidak bersahabat yang saya tunjukkan. Masih dan akan terus ada orang-orang yang akan selalu menjadikan eksistensimu sebagai objek tepat untuk disalah-salahkan. That's really not a problem.
Dalam hati, saya berkata, "Hah, baru didiamkan saja sudah protes, baru dikasih tampang dingin sekali langsung mundur. Belum pernah liat saya lempar barang dan mematahkan kaki meja, sih."
Tetapi, jelas, ungkapan tersebut adalah satu dari sekian cuap-cuap kering nurani yang berontak tak terima ketika kritik sejenis itu datang saja. Tidak sampai benar-benar terlontar. Bisa kacau dunia persilatan kalau sampai itu terjadi.
Hei, jangan salah sangka.
Saya bukan orang yang setertutup itu, sebenarnya. Hanya ada orang-orang tertentu yang masih terus mendengar kemarahan saya hingga hari ini, lebih serupa keluhan barangkali. Mereka yang tidak akan menjauh sebab saya diam, mereka yang tidak akan berlari takut saat saya menampilkan raut wajah dingin. Justru mereka yang akan membuat saya kembali bicara, mereka yang akan mencairkan kutub utara saya.
Sebagai balasan, mereka jugalah yang tidak akan saya diamkan apapun yang terjadi. Mereka yang akan terus saya pertemukan dengan sisi cerewet dan menyebalkan yang saya punya secara alami. Mereka yang akan menemukan saya bersikap jauh berbeda di lingkaran satu dengan lingkaran lain, tanpa menghakimi tentang topeng apa yang saya pakai, dan bagaimana saya bertahan untuk terus mengenakannya sampai entah kapan.
Sebab, mereka tahu ketika saya kembali, ketika saya memutuskan pulang, saya telah berubah menjadi saya yang mereka kenal. Menjadi seseorang yang tidak hanya akan membicarakan banyak hal, namun orang yang juga akan melakukan segalanya tanpa segan.
Selain itu, dalam rangka melenyapkan kebiasaan marah yang bisa dibilang kacau balau, saya menemukan satu cara paling ampuh dan telah berjalan nyaris bilangan tahun ke belakang. Saya menulis, saya menampilkan segala yang tidak sempat dilihat orang lain secara langsung dalam bentuk sesuatu yang dapat mereka baca.
Tentu sejak lama saya memang telah tersesat dalam rangkaian kata. Namun, baru beberapa tahun ke belakang saya sadar bahwa selain untuk menghibur pembaca dengan fiksi yang saya ciptakan, saya juga mampu menjadi penyelamat bagi diri saya sendiri dengan cara menulis apa yang saya pikir harus saya tulis. Tidak harus memaksa orang lain membaca, tidak perlu menunggu sampai banyak orang menyadari apa yang terjadi melalui tulisan yang saya buat. Yang penting, tulis saja, sampaikan apa yang tidak bisa diutarakan rungu dan didengar oleh telinga.
Saya tidak perlu repot menjelaskan hingga mulut berbuih, saya tidak harus bertemu mereka satu per satu dan menjelaskan bagaimana saya dari awal sampai akhir. Percuma, buang-buang waktu. Tidak semua orang juga akan mengerti, salah-salah mereka hanya akan membicarakan sikap semacam itu dan membuat seolah saya hanya mencari pembenaran saja.
Manusia terkadang sekejam itu, asal kau tahu.
Dengan menulis, saya menemukan diri saya lebih sehat secara mental, lebih tenang dan lebih mampu menguraikan masalah. Saya menemukan sisi lain yang tidak dapat saya perlihatkan dalam perwakilan raga. Tak jarang saya merasa bahwa sisi lembut dan 'wanita banget' yang memang harusnya saya miliki justru ditransfer dalam bentuk tulisan. Jadi, jangan heran ketika membaca tulisan saya, orang-orang malah menemukan banyak hal berbeda dan seolah tidak ditulis oleh seseorang seperti saya.
Saya hanya sedang menyembuhkan diri dan menulis adalah obatnya.
Saya bisa menyelam tanpa takut tenggelam.
Saya bisa memanas tanpa khawatir terbakar.
Dan saya dapat bicara tanpa mengeluarkan suara.
Sebab, saya sadar, tidak semua orang berbakat dalam menerima. Tidak semua orang diberikan berkat untuk mencoba melihat dari sudut pandang orang lain. Tidak semua orang mau mengerti dan coba berdamai.
Pada akhirnya, setelah banyak hal sejenis terjadi lagi dan lagi, saya hanya mampu untuk terus berdiri walau berusaha dijatuhkan. Saya berdoa untuk tetap dijaga walau banyak sekali yang ingin menghancurkan. Saya ingin terus tertawa meski banyak alasan untuk menangis dan kalah atas masalah.
Saya hanya ingin menyampaikan bahwa tidak apa-apa bila bersikap berbeda. Tidak usah takut dijauhi sebab tidak memiliki pemikiran yang sama dengan orang lain. Jangan pula merendahkan diri sendiri ketika tidak dapat menjadi seperti apa yang orang lain inginkan.
Marahlah.
Bila kemarahan tersebut mampu meredam ledakan lebih besar terjadi di kemudian hari. Marah saja, keluarkan semua.
Namun tentu, menahan kemarahan dan mengalihkannya akan jauh terdengar sebagai pilihan bijak walau tidak akan berefek langsung dan memberi ketenangan di saat itu juga.
Dari sekian ekspresi kemarahan, dari banyak kisah tidak menyenangkan tentangnya, jangan sampai kita kembali mengulang kesalahan yang sama dengan pilihan keliru. Temukan cara untuk terus menjaga suhu diri. Dapatkan alasan untuk tidak memarahi sesuatu atau seseorang yang bagi kita menyebalkan setengah mati.
Karena ketika kita mampu menyelamatkan diri atas kemarahan, itu artinya kita menang.
Siti Sonia Aseka
Palembang, 1 Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar