Lingkungan sosial memiliki dinamika serta hukum rimbanya sendiri. Katakanlah demikian; bila kau ingin hidup aman, tenteram, ikuti saja arus yang ada. Bila tak ingin dimangsa "spesies" lain, maka jadilah predatornya. Jika telah melakukan kedua hal di atas, selamat. Hidupmu pasti ada dalam level lurus dan sepi tikungan. Namun, percaya tidak? Terkadang meski sudah berbuat semaksimal mungkin demi tidak beririsan dengan jenis manusia super menyebalkan, kau masih saja harus menghadapi mereka dalam taraf yang mungkin tidak sampai membuat ingin membunuh seisi dunia. Minimal merasa harus sembunyi dalam kerak bumi saja. Iya, barangkali. Mencair dan menguap karena panasnya lalu berhasil kabur dari dunia yang melelahkan. Itu opsi paling lumayan sekaligus mustahil, sebenarnya.
Pernah mendengar kalimat semacam, "Duh, perempuan lho. Mbok ya lembut sedikit dong, kalem. Jangan lincah bener. Ngomongnya halus, senyum dipasang, jangan suka marah-marah macam singa gitu. Perempuan harus manis, ndak boleh dominan bener. Malu."
W.H.A.T
T.H.E
H.E.L.L?
Okay, wait.
Hold on.
Jadi, kalau bukan perempuan, lantas boleh berkata dan berbuat kasar? Boleh bermuka masam? Boleh tidak senyum? Boleh marah-marah? Boleh mendominasi dan boleh tidak punya malu?
Seriously?
Pada beberapa titik krusial, saya merasa saya berhak bicara. Sebagai seorang perempuan dan manusia biasa yang punya pikiran apalagi hati, saya merasa lingkungan sosial kita tengah terjangkit wabah serius, siaga. Butuh penanganan segera.
Perempuan punya hak untuk menampakkan perasaannya, isi hatinya. Mengungkapkan isi kepalanya, termasuk marah, mengamuk dan memaki bahkan.
Perempuan berhak mengatakan apa yang ingin ia katakan. Perempuan tidak butuh izin siapa-siapa untuk melampiaskan emosinya. Perempuan punya hak untuk memasang senyum atau berwajah masam. Perempuan diperbolehkan memilih dan menentukan pendapat, berhak mengkritik dan memberi masukan bahkan menghadirkan arahan. Perempuan bisa melakukan apa yang ia suka. Perempuan tidak bergerak atas perintah yang mematikan saja, perempuan bisa menentukan di mana ia harus berada dan menjadi seperti atau sebagai apa.
Sampai pada keadaan di mana seorang perempuan memaki dan mengutuk, tak berarti ia bukan perempuan baik. Itu sama sekali bukan kesimpulan yang cerdas dari kepala yang sehat.
Dari satu kekejaman lidahnya, barangkali telah banyak kesabaran yang ia hadirkan, sudah jutaan pahit ia telan, telah sering penerimaan atas maaf yang ia pilih untuk melanjutkan kehidupan.
Namun, tak ada yang peduli.
Apa ada yang bertanya tentang kabarnya? Bagaimana hari ini ia lalui terseok-seok, bagaimana belasan hingga puluhan tuntutan dari banyak kepala yang harus ia masukkan dan pertimbangkan dengan logika paling baik? Bagaimana ia mengakhiri segalanya dengan berdamai?
Tidak ada yang mau tahu.
Semua orang sibuk menuntut.
Lucu, bukan?
Lantas, masih ada saja kesalahan yang harus ia tanggung setelah semuanya?
Masih ada tuduhan yang harus ia terima dengan alasan memuntahkan beban jiwa?
Sebenarnya dia yang salah, atau kau yang tak pernah mau peduli barang seinchi?
Inderalaya, 20 September 2019
Siti Sonia Aseka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
-
Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada mas...
-
Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...
-
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar