Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Minggu, 21 Juni 2020

[CERPEN] Obsolete

Obsolete

 
Khansa Adelana barangkali satu dari sekian orang yang harus menanggung perasaan entah pantas disebut apa kala sebuah undangan beraksen merah muda-putih mampir di tangannya. Senyum di wajah itu memang tak surut apalagi lesap. Lana selalu tahu bahwa ekspresi apapun yang dikeluarkan menyerupa raut, berkemungkinan besar membuat konklusi baru terbentuk dan berpola lebih kacau dari sebelum detik di mana seseorang menepuk pundaknya dengan tatap prihatin, berujar, “Na, dia akan menikah.”
Lana menghela napas, tertawa kecil. “Ya, lalu?”
Memiringkan kepala, menerka, menampilkan rupa penasaran kentara. Ah, memang siapa sih yang tidak tergelitik untuk setidaknya bertanya? Lana selalu sadar betapa orang-orang itu amat ingin tahu, meski waktu terus berjalan dan semua kisah sengaja ia tinggalkan di belakang, tak dikubur atau dikunci dalam satu ruang khusus, memang. Hanya diletakkan saja, dibiarkan berdebu, usang.
Ada satu waktu di mana ia memandang langit lantas mendengus, mengingat jejak kebodohan atau tipis pemahamannya mengenai segala sesuatu. Dulu, ia berubah hanya agar dikatakan sama. Ia bukan manusia yang siap di-cap berbeda. Kemudian, seseorang datang, memberitahu sisi lain dari dirinya yang bahkan Lana sendiri tak pernah sadari, sisi yang kini ia tumbuhkan hingga berbuah manis, semerbak harum; Lana menyukai puisi dan mahir bersenandung pula. Dalam ruah carut marut, tak bisa dipungkiri, orang tersebut adalah setitik atas sekian alasan Podcast bertajuk Runtuh Utuh merumahkan sosoknya, membuat Lana senantiasa merasa pulang.
Sudah lama ia membuang jauh kata jatuh. Ia lelah jatuh apalagi mencinta, ia lelah jatuh lalu nelangsa. Konsekuensi dari setiap bunga-bunga pun bahagia, Lana tidak mau lagi terjebak utopia atas janji-janji juga harapan.
“Drama, ya.”
Lana menatap Yusuf, ganjil. Senyumnya timpang saat menyahut, “Drama mana sama kamu dan Salwa?” cibir Lana, tanpa hati. Membuat Yusuf meringis, meringis malu.
“Iya, deh, drama semua kita. Nggak ada yang agak benar sedikit, kecuali Yaya, mungkin.”
Lana mengangguk, setuju. Beberapa tahun ini, kota tempatnya tinggal terasa lebih hidup dan lebih baik. Teman-temannya juga bukan jenis yang akan merusuh dan sibuk bertanya ‘kapan’ atau ‘kenapa’. Lana tahu ia memang bertahan secara sederhana sebab tak punya alasan untuk pergi.
Nggak ada istilah over-drama di dunia ini.”
Lana mengangkat kepalanya, menangkap presensi Salwa mengerutkan dahi di samping meja, muncul tiba-tiba setelah pergi memesan menu.
“Na, kamu butuh berhenti dengar omongan Mona, deh. Dia jelas cuma main-main.”
Lana tersenyum getir, “Iya, tahu, kok.”
“Lantas?” todong Salwa, sabar. “Kita semua sudah khatam ceritanya luar-dalam, nggak perlu diungkit lagi, lah.”
Yusuf yang menyadari percakapan Salwa dan Lana mendadak berubah serius, buru-buru bangkit, berbarengan dengan kedatangan Hanif, menyelamatkan ia dari situasi tidak menguntungkan. Memberi kode pada Salwa, lelaki tersebut menyambut kawannya lalu mengajak mengobrol cukup jauh dari dua perempuan yang tengah lebih dari sekadar membicarakan masa lalu. Mereka membicarakan luka, dan Yusuf tahu.
“Iya, Wa, ngerti.” Lana terkekeh, “Tapi, itu nggak menghentikan rumor-rumor basi. Paham kan kalau arang dibakar lalu kena angin apinya bisa kembali membesar?”
Salwa mengangguk, muram. Tersirat simpati dari caranya menatap. Lana tak ingin ambil pusing, sebenarnya. Ia tahu Salwa percaya bahwa Lana takkan sebucin itu apalagi terhadap masa lalu yang membuat ia masih tak luput dari ‘cie cie’ milik teman-teman seangkatan.
“Itu sih salah satu bahan kritik terhadap orang-orang kita. Terlalu sering bawa-bawa masa lalu, terlalu banyak mengaitkan yang sudah berlalu. Padahal yang sudah lewat bisa dianggap selesai tanpa dijadikan tolok ukur masa kini. Lagipula, manusia mana yang nggak pernah berbuat salah? Nggak ada. Bahkan Rasul pun pernah khilaf. Kita yang cuma remah kerupuk dalam kaleng Kong Guan ini apalagi.”
Lana tertawa lepas. Matanya berbinar cerah. Perumpamaan Salwa memang terdengar klise, namun disertai intonasi dan mimik yang pas, menjadikan hal biasa-biasa saja terasa nyaman sekaligus menggelikan.
“Aku bahagia dia nikah.” Pada akhirnya, Lana menyuarakan isi kepala.
“Walau bukan sama kamu?” potong Salwa, membuat Lana mengetuk jemarinya konstan di atas meja.
Well, itu fakta paling membahagiakan, jujur aja.”
Salwa menyipitkan matanya dibuat-buat, “Karena kamu nggak mau makan omongan sendiri?”
Lana berdecak, menyandarkan punggung pada kursi lalu tersenyum tipis sampai kawannya tak kuasa menangkap, “Aku bukan anak kecil lagi yang cuma nurut sama gengsi, Wa. Coba pikir deh, segala hal menyimpang dari perintah dan condong pada larangan banyaknya berakhir gimana? Nggak berkah, kan? Aku nggak mau begitu.”
“Iya, paham, Na.” Salwa mendorong undangan yang tadi ditimang sebentar oleh Lana lalu kembali membuat penawaran, “Artinya nggak ada yang perlu diberi ‘tapi’ lagi, kan? Anggap aja semuanya nggak pernah kejadian. Kamu dan dia cuma teman. Dulu bahkan sekarang.”
Semudah itu, memang. Harusnya memang sesederhana dan seringan cara Salwa berkata. Toh, sejak mereka hilang kontak dan Lana tahu betapa fatal kesalahannya, mereka memang tak pernah lagi sekadar bertukar sapa. Agaknya, semesta juga mendukung dengan tak mempertemukan mereka dalam ketidaksengajaan.
Sekarang, setelah segalanya, saat Lana bahkan dibuat lupa, lelaki tersebut datang, tentu dengan maksud berbeda, sesuatu yang tak ayal semerta Lana syukuri berkali lipat, melegakan benaknya.

“Adelana, jangan lupa hadir, ya. Aku akan menikah pekan depan.”



Palembang, 21 Juni 2020
Siti Sonia Aseka

2 komentar:

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...