Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 16 Juni 2020

TRUST ISSUE; Sebuah Sirkuit Konflik


TRUST ISSUE

“Someone with trust issues often struggles to assume positive intent, or attributes mal intent to the actions and decisions of others. It may be based on past experience, fear, or a desire to protect themselves from the pain of vulnerability or disappointment.”

 


            Yep! Trust issue.
            Huft, agak berat sebenarnya membahas hal ini, namun beberapa orang patut tahu. Sebab, rentan sekali satu tindakan mengakibatkan dampak tak main-main bagi yang lain.
            Di sini, saya tidak akan banyak membahas teori. Karena saya yakin, kalau cuma bicara teori dan teori melulu, semua bisa melakukan sendiri; berselancar sampai tenggelam di internet dan tidak perlu sibuk membaca rangkuman dari saya lalu berakhir disalahpahami. Nope! Sudah cukup berlimpah spekulasi membuat saya makin tidak mau membuka mulut.
            Okay, here we go!
            Saya lupa kapan tepatnya, tapi setelah beberapa kali kejadian-kejadian tak terduga mampir, membuat tertekan atau dibebani entah apa yang sebenarnya tidak pula berat-berat amat, saya tahu bahwa saya mengidap apa yang disebut sebagai trust issue.
            Jujur, saya tidak punya pengalaman begitu membekas soal dikecewakan atau dibuat patah hati. Semua seringnya hanya berlalu meski tak bisa sepenuhnya dilupakan. Tetapi, sama seperti luka gores pada kulit; apapun yang mampir pasti meninggalkan jejak. Batin juga bekerja dengan cara yang sama. Pendeknya, akumulasi dari hal-hal kecil tersebut membentuk sebuah pertahanan yang membuat saya amat sangat tidak gampang mempercayai manusia.
            Mungkin pada beberapa orang, saya dapat terang-terangan berkata, ‘Saya tidak bisa percaya pada Anda. Belum, lebih tepatnya.’ hanya demi memperjelas dan tak ingin membuat ia bertanya-tanya bila mendapati saya menunjukkan gejala ‘curiga’ dalam tatap maupun kata.
            Ada pola yang selalu terjadi bila saya bertemu dengan orang-orang baru; mengamati, mengobservasi, lalu memutuskan apakah saya bisa mempercayai mereka atau tidak. Kebanyakan tidak. Segelintir masuk dalam daftar pertimbangan. Sisanya, lolos setelah bertahun-tahun bergaul dengan saya, mengalami banyak kejadian bersama, lalu berbagi ragam hal meski banyaknya orang-orang ini yang memulai. Saya selalu lebih senang menerima sebelum yakin untuk melakukan hal yang sama.
            Saya sering berkontemplasi, berpikir dan merenungi, apakah saya bisa mempertahankan sikap demikian sampai entah kapan? Apakah saya diperkenankan menjadi tidak mudah digapai hanya demi menguji seseorang berdasarkan skala waktu? Entahlah. Masih belum ada jawaban pasti. Saya tidak pula sibuk mencari jawaban paling benar. Semuanya hanya soal kesiapan. Sampai saat ini, saya sama sekali tidak siap untuk membuka pintu terlalu lebar.
            Lain waktu, saya pun sadar bahwa dalam komunikasi dan interaksi, saya seringkali bersikap defensif. Selalu bahkan. Mungkin, inilah mengapa seolah ada dinding tak kasat mata yang membuat saya tidak bisa melampaui sisi melankolis seseorang, juga tidak mudah bagi mereka menyentuh titik paling sensitif milik saya. Semuanya berjalan kelewat alami, sampai amat sulit dicegah dalam beberapa keadaan dan kondisi.
            Dalam hal memenuhi apa yang saya butuhkan dan inginkan pun, saya lebih banyak melakukan bersama diri sendiri. Tidak ingin melibatkan orang lain, bahkan menolak bergantung. Malas berharap-harap lalu berakhir dijatuhkan. Meski tidak semua orang suka membuat jatuh jelas, namun tetap; saya tidak bisa begitu saja mempercayakan diri saya kepada orang lain. Sulit. Saya bahkan ragu orang-orang suka diganggu dan direpotkan. Karena saya pribadi pun demikian; agak kacau dalam membantu, cenderung merasa harus merapikan bagian dari diri sendiri sebelum campur tangan terhadap masalah orang lain. Lagipula, tahu kan bahwa tidak semua orang mau dan mampu menyediakan waktu?
            Siklus yang terjadi entah bagaimana berputar pada roda mulai-klimaks-ragu. Kesempatan yang dimiliki orang-orang demi membuktikan bahwa mereka bisa dipercaya justru semakin membuat saya skeptis. Bukan prasangka buruk, namun lebih kepada menghindari titik api yang membakar diri sendiri. Sekali saya dibuat seolah rendah, saya tidak akan lupa. Saya tidak akan memberi kesempatan dengan besaran nominal yang sama. Saya akan memulai lagi dari nol dan itu tentu saja menyebalkan.
            Dalam bersosialisasi, mungkin banyak yang menyadari bahwa saya punya sisi sulit membangun konversasi. Saya bukan tipe yang mampu membuka percakapan dengan ramah tamah atau humor manis demi merebut intensi lawan bicara. Saya pasif. Sangat. Saya cenderung lebih banyak menjawab ketimbang bertanya, lebih sering tak peduli dengan apapun yang ingin orang-orang sampaikan. Bagi saya, jika mereka memang ingin melontarkan kisah, ya lakukan saja. Bila tidak juga bukan masalah. Boro-boro memperpanjang obrolan, sampai mencari topik yang tepat pun saya luar biasa payah. Jadi tidak heran bila beberapa orang menganggap saya membosankan. Memang. Tidak berusaha membuat siapapun terkesan, kok.

“I am not perfect, and I know that no human is perfect, indeed.”

            Bukan kebutuhan akan standar tinggi dari manusia yang saya harapkan. Bukan pula selalu sikap pengertian yang saya inginkan. Hanya memang barangkali, I, again, experienced the state of having to start from scratch. Some people rather make me feel vulnerable to broken, lately.

“Expecting the goodness of the universe always, and human humility without end.

May the wound be healed immediately, the fallen rises despite being limped, then the grieving is quickly given the antidote for the pain.”



Palembang, 16 Juni 2020
Siti Sonia Aseka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...