TRUST ISSUE
“Someone with trust issues often
struggles to assume positive intent, or attributes mal intent to the actions
and decisions of others. It may be based on past experience, fear, or a desire
to protect themselves from the pain of vulnerability or disappointment.”
Yep! Trust issue.
Huft, agak berat sebenarnya
membahas hal ini, namun beberapa orang patut tahu. Sebab, rentan sekali satu tindakan
mengakibatkan dampak tak main-main bagi yang lain.
Di sini, saya tidak akan banyak
membahas teori. Karena saya yakin, kalau cuma bicara teori dan teori melulu,
semua bisa melakukan sendiri; berselancar sampai tenggelam di internet dan
tidak perlu sibuk membaca rangkuman dari saya lalu berakhir disalahpahami. Nope!
Sudah cukup berlimpah spekulasi membuat saya makin tidak mau membuka mulut.
Okay, here we go!
Saya lupa kapan tepatnya, tapi
setelah beberapa kali kejadian-kejadian tak terduga mampir, membuat tertekan
atau dibebani entah apa yang sebenarnya tidak pula berat-berat amat, saya tahu
bahwa saya mengidap apa yang disebut sebagai trust issue.
Jujur, saya tidak punya pengalaman
begitu membekas soal dikecewakan atau dibuat patah hati. Semua seringnya hanya
berlalu meski tak bisa sepenuhnya dilupakan. Tetapi, sama seperti luka gores
pada kulit; apapun yang mampir pasti meninggalkan jejak. Batin juga bekerja
dengan cara yang sama. Pendeknya, akumulasi dari hal-hal kecil tersebut
membentuk sebuah pertahanan yang membuat saya amat sangat tidak gampang
mempercayai manusia.
Mungkin pada beberapa orang, saya dapat
terang-terangan berkata, ‘Saya tidak bisa percaya pada Anda. Belum, lebih
tepatnya.’ hanya demi memperjelas dan tak ingin membuat ia bertanya-tanya
bila mendapati saya menunjukkan gejala ‘curiga’ dalam tatap maupun kata.
Ada pola yang selalu terjadi bila
saya bertemu dengan orang-orang baru; mengamati, mengobservasi, lalu memutuskan
apakah saya bisa mempercayai mereka atau tidak. Kebanyakan tidak. Segelintir masuk
dalam daftar pertimbangan. Sisanya, lolos setelah bertahun-tahun bergaul dengan
saya, mengalami banyak kejadian bersama, lalu berbagi ragam hal meski banyaknya
orang-orang ini yang memulai. Saya selalu lebih senang menerima sebelum yakin
untuk melakukan hal yang sama.
Saya sering berkontemplasi, berpikir
dan merenungi, apakah saya bisa mempertahankan sikap demikian sampai entah
kapan? Apakah saya diperkenankan menjadi tidak mudah digapai hanya demi menguji
seseorang berdasarkan skala waktu? Entahlah. Masih belum ada jawaban pasti.
Saya tidak pula sibuk mencari jawaban paling benar. Semuanya hanya soal
kesiapan. Sampai saat ini, saya sama sekali tidak siap untuk membuka pintu
terlalu lebar.
Lain waktu, saya pun sadar bahwa
dalam komunikasi dan interaksi, saya seringkali bersikap defensif. Selalu bahkan.
Mungkin, inilah mengapa seolah ada dinding tak kasat mata yang membuat saya tidak
bisa melampaui sisi melankolis seseorang, juga tidak mudah bagi mereka
menyentuh titik paling sensitif milik saya. Semuanya berjalan kelewat alami,
sampai amat sulit dicegah dalam beberapa keadaan dan kondisi.
Dalam hal memenuhi apa yang saya
butuhkan dan inginkan pun, saya lebih banyak melakukan bersama diri sendiri. Tidak
ingin melibatkan orang lain, bahkan menolak bergantung. Malas berharap-harap
lalu berakhir dijatuhkan. Meski tidak semua orang suka membuat jatuh jelas,
namun tetap; saya tidak bisa begitu saja mempercayakan diri saya kepada
orang lain. Sulit. Saya bahkan ragu orang-orang suka diganggu dan
direpotkan. Karena saya pribadi pun demikian; agak kacau dalam membantu,
cenderung merasa harus merapikan bagian dari diri sendiri sebelum campur tangan
terhadap masalah orang lain. Lagipula, tahu kan bahwa tidak semua orang mau
dan mampu menyediakan waktu?
Siklus yang terjadi entah bagaimana
berputar pada roda mulai-klimaks-ragu. Kesempatan yang dimiliki
orang-orang demi membuktikan bahwa mereka bisa dipercaya justru semakin membuat
saya skeptis. Bukan prasangka buruk, namun lebih kepada menghindari titik api
yang membakar diri sendiri. Sekali saya dibuat seolah rendah, saya tidak
akan lupa. Saya tidak akan memberi kesempatan dengan besaran nominal yang
sama. Saya akan memulai lagi dari nol dan itu tentu saja menyebalkan.
Dalam bersosialisasi, mungkin banyak
yang menyadari bahwa saya punya sisi sulit membangun konversasi. Saya bukan
tipe yang mampu membuka percakapan dengan ramah tamah atau humor manis demi
merebut intensi lawan bicara. Saya pasif. Sangat. Saya cenderung lebih banyak
menjawab ketimbang bertanya, lebih sering tak peduli dengan apapun yang ingin
orang-orang sampaikan. Bagi saya, jika mereka memang ingin melontarkan kisah,
ya lakukan saja. Bila tidak juga bukan masalah. Boro-boro memperpanjang
obrolan, sampai mencari topik yang tepat pun saya luar biasa payah. Jadi tidak
heran bila beberapa orang menganggap saya membosankan. Memang. Tidak berusaha
membuat siapapun terkesan, kok.
“I am not perfect, and I know that no
human is perfect, indeed.”
Bukan kebutuhan akan standar tinggi
dari manusia yang saya harapkan. Bukan pula selalu sikap pengertian yang saya
inginkan. Hanya memang barangkali, I, again, experienced the state of having
to start from scratch. Some people rather make me feel vulnerable to broken,
lately.
“Expecting the goodness of the universe
always, and human humility without end.
May the wound be healed immediately, the
fallen rises despite being limped, then the grieving is quickly given the
antidote for the pain.”
Palembang,
16 Juni 2020
Siti
Sonia Aseka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar