Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Sabtu, 04 Juli 2020

[CERPEN] Ganjil

Bertemu Waffle dan Muffin

Bahkan yang sempat terasa genap juga dapat kembali sentuh bilang ganjil. Inilah landasan awal dari ungkapan sesungguhnya atas 'tak pernah ada satupun setapak yang menuntun pada arah melampaui limit selamanya.'

_____

Dia temanku. Bila tidak terdengar luar biasa percaya diri, sejujurnya barangkali aku mampu memberi label 'teman baik' pada Waffle.

Nama yang unik, terdengar manis sekaligus lucu. Mendapati ia tersenyum dengan sepasang gigi kelinci bagiku untuk beberapa waktu terasa lebih dari sekadar keajaiban.

Pada Januari ketika salju perlahan mencair, aku duduk di tepi jalan berhadapan dengan 'rumah pelarian'. Meratapi nasib harus ditendang sementara dari kota asal karena secara tak terkendali menyebabkan keributan dengan beberapa anak nakal di sekolah. Well, meski kini julukan nakal itu sendiri terpatri tepat di tengah kening, aku lega setidaknya mampu melemparkan satu-dua tinju di wajah tukang bully sebelum pada masa kenaikan kelas nanti, aku akan benar-benar resmi dipindahkan kemari; menjadi gadis desa dadakan sekaligus grandparent's sitter bagi kakek dan nenek.

"Aw!"

Aku mengerang, meraba belakang kepala yang terkena lemparan entah apa, tidak tahu dari mana. Secepat kilat berbalik, kudapati seorang anak laki-laki berjalan mendekat. Asumsiku segera melecut angkara ketika mendapati diriku baru saja menjadi victim atas perang bola salju. Topi buluku tertutup bulir putih yang terasa beku.

"Oops, sorry. Kukira kamu adikku."


Aku mengangkat dagu, melotot. Waspada sebab tak ingin dijadikan samsak pukulan serupa kala masih berada di lingkungan rumah lama.

"Kak!"

Aku menelan umpatan yang nyaris melompat keluar dari mulut, ketika sosok kecil barangkali berusia tak lebih dari enam tahun hadir dari belakang punggung. Wajahnya memerah dan langkah kaki itu meninggalkan jejak mungil di antara setumpuk salju.


"Sudah kubilang jangan berkeliaran terlalu jauh! Bangun bentengmu dan jangan coba-coba melarikan diri."

Anak laki-laki tersebut menggerutu. Sementara sepasang bola mata sang adik abai, justru menatapku fokus, penuh tanya. Bibirnya mengerucut, "Hei, aku baru melihatmu di sini. Biasanya hanya ada kami bocah yang menghuni kompleks."

"Di mana rumahmu?"

Si gigi kelinci, begitu aku menyebut bocah pelempar salju barbar tadi, mengangkat alisnya, bersidekap.

Aku menunjuk rumah kakek dan nenek separuh ragu. Kepalaku tanpa sadar dimiringkan. "Kalian sedang bermain perang salju ketika bahkan salju sudah mulai mencair begini?"

"Yah, melakukan sesuatu ketimbang mati bosan. Libur panjang kali ini entah bagaimana mulai terasa menyiksa."

"Siapa namamu?" Ia bertanya lagi ketika dengan gesture mengisyaratkan menepi. Sebuah rumah berpagar cokelat tua yang kami dekati tampak terbuka sedikit. "Aku Waffle, dan ini adikku, Muffin."

Waffle dan Muffin?
Okay. Orangtua mereka pastilah membuka toko kue atau semacamnya.

"Pancake, I guess?" Berusaha melucu, kudapati Muffin tersenyum lebar, menampilkan beberapa celah ompong dalam mulut.

"Hei, ayolah!" Protes Waffle, cemberut. "Kupikir lelucon seperti itu sudah berakhir bertahun-tahun lalu."

"Aku suka dia!" Muffin melompat senang, menunjukku. "Aku mau jadi temannya."

Well, aku terkesiap.
Teman.

Satu kata itu menghantam dalam beberapa detik kelewat singkat. Jujur saja, aku tak pernah mau repot-repot terjebak dalam relasi bernama pertemanan. Tidak dengan siapapun. Apalagi bocah 6 tahun bergigi susu dan pipi memerah kedinginan.

"Tidakkah itu terlalu cepat?" Waffle menghela napas, tampak sabar. "Jadi, namamu?"

Dua detik kulewati bersama bimbang. Anak lelaki tersebut mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.

"Maple. Maple Wattson."

Sepasang netra milik Waffle menghadirkan kemilau asing ketika kami bertatapan. Aku tidak pernah menemukan binar yang sama dalam diri siapapun sebelum hari ini.

"Datanglah untuk makan malam kapan-kapan. Ibuku senang menjamu tamu."

Ajakan Waffle sebenarnya kelewat ringan. Aku hanya perlu mengangguk dan melupakan ketika selangkah memasuki pintu, pulang. Barangkali ia hanya sekadar basa-basi demi menjaga sopan santun. Tidak perlu dianggap serius. Toh, ia hanya bocah aneh yang kutemui kurang dari dua jam.

Namun, beberapa hari kemudian, nenek dengan gembira mendorongku keluar ketika Waffle mengetuk pintu, mengudarakan ajakan kemarin lusa dan membuatku stagnan dengan dada bertalu.

Aku benci keadaan di mana diriku bahkan tak bisa berkata tidak. Terutama untuk Waffle, tidakkah ia tahu bahwa sesungguhnya, aku… berbeda?


-

Palembang, 4 Juli 2020
Siti Sonia Aseka

*Akan bersambung ke bagian dua berjudul; Genap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...