Pekarangan rumahku masih tanpa pagar. Selepas ayah pergi, setelah ibu temukan pengalihan atas rindu dan rasa sakitnya yaitu kuncup-kuncup jasmine yang mekar tiap sepertiga malam sampai subuh menjelang, tidak ada keputusan, atau memang sebenarnya takkan pernah ada. Sebab, memagar berarti membatasi pandang, dan ibu tak suka.
Pintu rumah kami masih sering terima ketukan. Entah sanak saudara, tetangga sekitar, atau bahkan orang-orang asing; mengaku sebagai kenalan ayah. Dari lebih banyak paruh waktu hidupnya, ayah hadir dalam ragam lingkaran sosial dan kupikir, itulah yang tengah coba ia wariskan pada kami; hubungan baik dari manusia ke manusia.
Aku telah kembali bekerja. Pergi sebelum dhuha dan pulang selepas ashar. Sepeda motorku, sepeda motor pemberian ayah, adalah satu dari sekian kenangan yang akan terus membawaku padanya.
Petang hari, ibu akan duduk di tepi jendela. Matanya dipenuhi cahaya venus, hangat. Menyambut anak-anaknya pulang dengan riang, merentang tangan demi sebuah pelukan. Ibu semakin sering sendirian, dan kupikir hal tersebut barangkali menyedihkan buatnya.
Rumah kami tetap hidup. Namun, jelas, tak seramai biasanya. Tidak riuh. Pun kurasa, kami semua kini semakin mudah diterpa rindu. Merindukan yang sudah tak bisa digenggam atau diajak bicara. Merindukan seseorang yang sebenarnya menemui keabadian. Merindukan dengan cara paling sederhana; menangis diam-diam.
Di beberapa kesempatan, kudapati ibu memeluk hampa kemeja kesayangan ayah. Senyumnya rekah meski pandangan itu kosong. Kutangkap cinta tiada lesap yang senantiasa ibu kirimkan di tiap-tiap lima waktu dalam sehari. Kupikir, ketimbang kehilangan kekasih, ibu barangkali lebih merasa ditinggalkan oleh sahabat sejati. Afeksi yang ibu miliki terhadap ayah mungkin bukan sekadar debar dada tak beraturan kala bertatap mata, atau semu merah malu-malu di kedua pipi saat berbagi canda. Ibu dan ayah menghabiskan lebih dari separuh waktu yang mereka punya untuk saling mengerti dan menerima. Cinta bukan awal namun menjelma akhir.
Beranda rumah meski masih sering terisi, kini entah bagaimana terasa lebih suram. Hanya ada segelas teh milik ibu, tanpa gelas berisi kopi kepunyaan ayah. Hanya tersedia hening suara, walau gegap gempita memenuhi kepala.
Ibu jadi lebih diam. Ibu jadi lebih banyak memendam. Padahal dulu, ayah bilang, ibu adalah rekan berbagi begitu banyak dan tak pernah bisa redam. Ibu selalu secerah mentari jelang tengah hari dan ayah suka. Ibu menerangi yang gelap tanpa membakar, memeluk tanpa membuat sesak, menggenggam tanpa menyakiti. Ibu bagi ayah adalah poros dan akan terus membawanya ke titik mula tanpa rasa percuma.
Ayah memang sudah pergi sekaligus pulang. Ayah memang telah sejauh hembus angin, setinggi lapis ozon bahkan sedalam inti bumi. Ayah adalah semua definisi tak tergapai, meski tak pernah sebenar jauh. Ayah tetap tinggal pada tetes air mata, di setiap canda tawa, dalam seluruh doa-doa.
"Kami bukan teman." Suatu ketika, cerita yang pernah ayah kisahkan terngiang. "Ayah dan ibumu ini, musuh tapi menikah."
"Kami saling menyalahkan sekaligus tak ingin kalah. Kami menganggap masing-masingnya rival dan tak sudi menjadi lebih dekat dari separuh meter jarak."
Aku ingat, kala itu, ibu yang tengah memasak nasi goreng pada Ahad pagi tertawa renyah. Ayah menyesap kopinya, melanjutkan.
"Tapi, bertahun kemudian, ayah mulai melihatnya berbeda. Ibumu bukan lagi perempuan yang akan melotot ketika berbagi pandang. Ia bahkan suka cita memberi senyum ramah pada siapa saja. Ayah pikir, apa salahnya mencoba? Lantas, kami bertemu pertama kali setelah sepasang tahun terlewati, di rumah kakek nenekmu. Ibu terkejut namun tetap menyambut."
"Apakah saat itu ayah mencintai ibu?" Tanyaku, merasa tertarik.
"Cinta? Mana mungkin." Ibu menyela. Meletakkan sepiring besar nasi goreng. Duduk di antara kami.
"Bagaimana dengan sekarang?"
Pandangan ayah menerawang, ibu pun demikian. Barangkali, di detik itulah kusadari, pancaran mata ayah memiliki binar secerah milik ibu. Senyumnya, tawanya, cara ayah melempar satu dua gurauan. Tampak mirip, terlihat serasi.
"Kami berjanji untuk bersahabat hingga akhir hayat."
Hingga akhir hayat.
Mereka bekerja sama dengan amat baik, pikirku. Tidak ada yang meninggalkan salah satunya, atau terlalu banyak menuntut hingga berakhir rapuh. Ayah yang sebenarnya pemalu, dan ibu yang selalu mampu mendorongnya melampaui zona nyaman. Ayah yang memiliki begitu sedikit persediaan kata, dan ibu yang tak pernah habis membagi tiap jengkal cerita, membuat ayah terpacu, menjadikan ayah sedikit demi sedikit tak merasa sulit dalam temukan tempatnya. Ayah menjadikan ibu rekan bertukar pikiran bahkan penasihat paling bijak. Ibu yang menciptakan ruang bagi ayah untuk menjadi dirinya. Berdua, mereka habiskan lebih dari separuh kisah kehidupan.
Ibu kini sering memandangi kolam ikan yang dibuat ayah untuk ikan koi kesukaannya. Barangkali mereka ulang sederet kalimat apa saja yang pernah mampir ke telinganya, juga balasan macam apa yang ia lemparkan bersama ayah.
Rindunya tak pernah surut, cintanya tak pernah habis. Kepada separuh jiwanya yang lain, ibu tak pernah memberi setengah hati atau antara iya dan tidak. Bagi ibu, ayah adalah yang akan selalu menempati satu relung khusus; di hatinya, dalam kepalanya, di tiap jengkal harinya.
Bagi ayah, tanpa pria kesayangan kami ungkapkan, ibu adalah semesta tempatnya berpijak. Konstelasi bintang yang betah ia pandangi malam-malam. Juga suaka yang menjadikan dirinya selalu jatuh cinta ribuan kali dalam keseluruhan waktu pada orang yang sama.
Bagiku, ayah adalah cahaya kecil yang membuat ibu tetap tertahan dalam ikatan gravitasi. Tanpa masing-masingnya, mereka masai.
Kacau balau.
Palembang, 23 Juli 2020
Siti Sonia Aseka
Kamis, 23 Juli 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
-
Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada mas...
-
Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...
-
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar