Pelecehan dan Kekerasan Seksual: Di Mata Publik, Korban adalah Pelaku! #whatashame
Ada banyak akun yang saya hilangkan dari daftar following dalam beberapa pekan ke belakang. Alasannya, karena entah mengapa dan bagaimana, statement pemilik akun dengan label influencer (katanya) ini, malah seolah menunjukkan sikap ignorant dan kehilangan respect apalagi dukungan terhadap korban pelecehan dan kekerasan seksual.
Menyoroti cara berpakaianlah, consent, pun seolah asal bicara tanpa tahu berapa banyak jumlah korban (dan terus bertambah setiap hari), serta alasan mereka mendapat perlakuan tidak menyenangkan.
Apakah semua korban pelecehan seksual berpakaian kurang pantas? Tidak. Anak-anak yang belum mengenal cara berpakaian A-Z, atau remaja dengan seragam sekolah pun justru kerap mengalami pelecehan.
Masih ingat kasus Yuyun yang menggemparkan pada tahun 2016 lalu? Siswi SMP yang diperkosa oleh 14 orang pria hingga tewas dan jasadnya dibuang ke jurang begitu saja?
A 14 years old girl, just walked, wanna came back home after the classes were over, met 14 'trashes' called themselves human and got raped to death.
Masih ngotot menyalahkan korban bila demikian?
Kemudian perihal consent atau consensus, diartikan juga sebagai persetujuan atau izin. Sementara Sexual Consent dapat disimpulkan sebagai persetujuan yang jelas untuk melakukan kegiatan seksual. Karena, segala bentuk aktivitas seks membutuhkan persetujuan antara kedua belah pihak, bahkan jika itu bersama pasangan kita sendiri.
Persetujuan seseorang yang mengakibatkan dirinya dilecehkan, tidak bisa dibulatkan semerta hanya dari sekali kata 'iya'. Kita mengenal istilah manipulasi. Hingga tidak menutup kemungkinan, korban dirayu, dipaksa, diimingi janji-janji agar melakukan apa yang pelaku minta. Apakah hal demikian masih 'hanya' salah korban?
Berkaitan dengan consensus, sebagaimana melihat begitu banyak pemahaman yang keliru mengenai landasan satu ini, maka dilansir dari sisternet, ada 4 hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Persetujuan adalah sesuatu yang harus dilakukan dalam kondisi sadar sepenuhnya.
2. Berdasarkan poin di atas, maka pemberi persetujuan sedang dalam kondisi tidak di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan ketika aktivitas seksual berlangsung.
3. Saat memberikan persetujuan, seseorang tidak sedang dalam kondisi diintimidasi, baik secara fisik maupun mental. Ia harus berada dalam kondisi tidak cemas atau terancam untuk menyampaikan keberatan atau ketidaknyamanannya.
4. Terakhir, yang paling penting adalah usia pemberi persetujuan harus legal secara hukum. Ini penting, karena anak di bawah umur dianggap belum matang dan belum mampu untuk memberikan persetujuan dengan sadar.
Point ketiga menunjukkan bahwa pelaku kejahatan seksual kerap menampilkan sikap manipulatif, sehingga menyebabkan korban tidak memiliki pilihan lain, dan tidak mampu melawan.
Dalam aturan agama yang saya anut, menjauhi zina adalah wajib. Menjaga diri dengan turut memerhatikan cara berpakaian, menutup aurat, adalah juga sesuatu yang tidak patut diperdebatkan lagi. Saya sepakat. Islam sudah mengatur hubungan antar manusia dengan amat baik lagi elok; hal yang saya syukuri sebab saya beragama dan tahu apa yang boleh dan tidak saya lakukan. Saya pun bersyukur sebab aturan tersebut membuat saya merasakan tanggung jawab besar untuk menjaga dan melindungi diri saya sendiri.
Tetapi, apakah adil apabila saya memaksakan ajaran agama saya kepada orang lain yang notabene memeluk keyakinan berbeda? Apakah saya bisa menghakimi mereka karena memilih cara berpakaian yang tidak sama dengan saya? Tentu saja tidak dan saya menghargai hal tersebut.
Sebagai contoh kasus, baru-baru ini dilaporkan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru ngaji terhadap murid-muridnya. Saya tekankan kata 'murid-murid' di sini karena ternyata, korban berjumlah lebih dari satu orang.
Lalu beberapa waktu sebelumnya, seorang qori' sekaligus imam di banyak masjid di United States dikabarkan menjadi predator seksual dan memanipulasi banyak perempuan untuk berhubungan intim dengan iming-iming relasi bernama pernikahan.
Melompat menilik kejadian tentang seorang penulis yang mengaku ditangkap melalui media sosial, akibat memperjuangkan keamanan sebuah sekolah (di mana adiknya juga menimba ilmu) yang kedatangan seorang guru bermasalah dengan track record kejahatan seksual di sekolah lama tempatnya mengajar.
Pun hampir bersamaan dengan keluarnya kasus tersebut, pengakuan penyintas korban pelecehan dan kekeraaan seksual di dalam lingkungan gereja oleh seorang pastor juga mencuat dan menjadi skandal meski tak pula jelas kabarnya hingga kini, apakah pelaku telah ditindak sesuai hukum yang berlaku, atau dilepaskan begitu saja.
See? Ternyata pemahaman agama yang dimiliki manusia tidak lantas utuh membuat dirinya tahu siapa ia dan apa yang benar-benar menjadi tugasnya. Menjaga nafsu agar tak lepas dari kandang ternyata lebih sulit dari mengembala ribuan domba. Atau apakah agama hanya dijadikan alat untuk memperlancar kejahatan? Who know's?
Having religion and being religious are indeed different things.
Pun mengenai zina.
Tentu tidak ada satupun agama yang membenarkan. Tidak ada satupun keyakinan menyebut bahwa pemeluknya diizinkan untuk berbuat demikian. Agama manapun menghadirkan kesucian dan rasa cinta yang besar terhadap Tuhan dengan tidak menyaingi Sang Maha dengan sesama hamba. Sesuatu yang tentu disepakati oleh semua pihak.
Tetapi implementasi dan batas dari 'zina' yang dimaksud tidak selalu sama, bahkan cenderung terlihat berbeda. Maka di sini, dapat disimpulkan bahwa menghakimi dan menyalahkan korban hanya karena sikapnya yang dianggap membuka pintu bagi predator seksual untuk menangkap mangsa, sama sekali bukan solusi dan jelas membuat korban-korban lain semakin takut buka suara karena society yang cenderung berat sebelah.
Hal yang juga membuat miris adalah adanya tuduhan kepada korban yang dianggap hanya 'mengaku-ngaku' diperlakukan dengan tidak pantas saat sudah ditinggalkan oleh pelaku.
I was like… oh, dude! Here we go again~
Hanya karena korban butuh waktu lebih lama dari yang semua orang harapkan untuk mengungkap pengalaman buruknya, bukan berarti ia tidak merasa dilecehkan. Seringkali ragam faktor seolah menimbulkan tekanan kepada korban untuk harus begitu saja melupakan, bahkan menerima gashlighting mengenai limitasi perasaan dilecehkan sehingga membuat korban sendiri bertanya-tanya, "Apakah benar saya telah dilecehkan dan 'dia' melecehkan saya?" Lalu berakhir takut untuk bicara dan diam selamanya, hingga membuat pelaku semakin aman melancarkan aksi. Korban pun terus bertambah.
Hanya karena korban tidak melawan saat dirinya dilecehkan, bukan berarti saat itu ia menikmati apa yang diperbuat oleh pelaku.
Hanya karena manipulasi berhasil dan korban memberikan consent, bukan berarti korban bebas disalahkan dan pelaku tetap aman di balik ketiadaan ketegasan payung hukum yang menaungi.
Juga yang perlu digarisbawahi, korban pelecehan dan kekerasan seksual tidak hanya perempuan. Contoh kasus yang cukup populer adalah aktor kenamaan Amerika, Johnny Depp dengan mantan istrinya, Amber Heard. Dampak dari kasus ini adalah banyak pihak yang memboikot sang aktor yang berujung pada dirinya tidak terlibat lagi dalam franchise Pirates of the Carribbean yang telah membesarkan namanya. Tak hanya itu, kemunculan Depp pada Fantastic Beast: The Crimes of Grindelwald juga turut menuai kritikan tajam. Setelah beberapa tahun bolak-balik meja hijau dengan berbagai testimoni, publik perlahan menyadari setelah terungkap bukti berupa puluhan video bahwa Depp merupakan korban sebenarnya, dan telah menerima berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga selama bertahun-tahun.
Hal ini membuktikan bahwa siapapun bisa menjadi korban. Tak peduli usia, jenis kelamin, cara berpakaian, ras, agama, bahkan lainnya. Maka dari itu, terus bersikap naif tidak akan membuat kita bergerak ke manapun.
I hate a kind of situation that only blame a group or a person without trying to understand and look even harder in the other's perspectives.
Kita sibuk menyalahkan korban, mengungkit-ungkit cara berpakaian atau sikapnya, mempertanyakan kenapa ia tidak begini atau begitu ketika menghadapi situasi tidak menguntungkan dan terdesak di tangan pelaku. Kita sibuk berandai-andai tanpa memberi solusi, alih-alih ikut serta dalam pengamanan lingkungan ke depan dari sentuhan predator seksual. Kita hidup dalam pola pikir terbelakang sebab tidak berusaha membuka mata lebar-lebar mengenai ragam kemungkinan.
I felt that the attitude of society in a case of sexual harassment and violence was still very unbalanced and tended to only blame the victim rather than take action against the sexual offender.
Meyakini keberadaan Tuhan harusnya membuat manusia sadar bahwa dunia ini tidak akan berjalan sebersih dan sesuci apa yang kita harapkan. The way to reach His love, the process of becoming closer to God should soften our hearts and make us truly human, not the other way around; closing our eyes, acting as if we were blind, and considering ourselves the most righteous by only relying on one source that is not necessarily the right one.
Mendalami agama adalah jalan menuju peningkatan keimanan demi menyadarkan kita mengenai hakikat kasih-Nya. Tuhan tidak mengajarkan kita berlaku kasar, lantas jauhi. Tuhan tidak mengajarkan kita menyakiti hati sesama, lalu upayakan. Tuhan menjadikan kita makhluk paling sempurna dengan kapasitas berpikir dan merasa, maka manfaatkan dan optimalkan.
Menjadi hamba yang bertakwa adalah juga merangkap sebagai manusia yang berguna bagi manusia lain.
Demikian.
Ditulis oleh: Siti Sonia Aseka
Palembang, 13 Agustus 2020
Photo by: Jung **Seok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar