INTERVIEW
Ada tiga alasan yang mendasari seseorang bisa lolos interview kerja. Pertama, well-mannered, sikap. Kata lainnya, sopan santun, tata krama, adab, tindak tanduk. Kedua, well-prepared, persiapan matang, Dan ketiga, well-mind. Nah, yang terakhir ini bukan sekadar pintar tidak pintar, atau seberapa besar indeks prestasi kumulatif dalam transkrip nilai. Lebih kepada cara berpikir, akal sehat. Kan lucu kalau posisi yang diinginkan setinggi langit, tapi ketika diajak ngobrol malah nggak nyambung?
Kalau kata trainnerku beberapa bulan lalu sih, "Okay, semua tahu lo smart to the moon and back, tapi kalau nggak punya persiapan matang, apalagi manner yang demi apapun kayak nggak makan bangku sekolahan (which means supeeer bad, kuadrat), omongan non-sense, ya nama tetap bakal dicoret. Dilupakan begitu aja. The end."
Jadi, ketika mbak Nanda bertanya, "How are you? Pucat amat, La. Sakit, lo?"
Aku seketika melemparnya dengan tutup bolpoin tanpa tedeng aling. Dia pikir setelah terjebak dua jam dalam ruang interview yang demi apapun sebeku es tapi mampu membuatku keringatan, aku bisa membalas dengan, "Baik, BANGET kok, mbak. Sampai rasanya mau meninggal."
Aku jelas bukan food reviewer merangkap pencari kerja level satu. Tapi kalau berkenaan dengan basa-basi-busuk andalan mbak Nanda, sepertinya cocok kalau kukatakan bahwa aku bisa menyabet juara 'Tukang Nyablak (bukan seblak) PALING Lihai' cuma karena mampu membuat dia tertawa dan berhenti membuat gondok.
Ya, tolonglah. Aku baru saja pulang dari kegiatan komunitas, kusam, dekil, dan capek setengah mampu. Ketika menyalakan ponsel yang tadi kehabisan daya malah harus mendapati pesan berisi, "Sore, mbak. Interviewnya kita lakukan online malam ini pukul delapan, ya." Dan sekarang jam dinding di kamar menunjukkan tepat pukul tujuh.
Apa nggak kelewatan?
Meski setelah ditawar, aku akhirnya bisa mengatur ulang jadwal interview besok paginya meski harus datang langsung ke kantor pusat sana.
Akhir pekanku biasanya dan memang sudah seharusnya dipenuhi dengan hanya tawa-tawa-tidur. Bukannya tekanan, rasa jengkel, dan angkara. Aku biasa berdiam seharian di kamar, menonton drama Korea belasan episode, atau jalan ke toko buku kalau sedang mood. Atau yang lebih simple; berburu makanan online diskonan untuk mengisi perut.
Nggak muluk-muluk.
"Interviewer-nya kayak dosen penguji skripsi lo, ya?" cetus mbak Nanda lagi, kali ini terbatuk kecil di ujung kalimat. "Judes, jutek."
Ha! Aku berdecih saat itu juga. Bukan cuma judes atau jutek, mbak! Nggak ada empati, malah.
"Itu mah masih mending, mbak." aku menggeleng kecil. "Tahu Hulk, nggak? Nah, bar-barnya sama, tuh. Sejenis."
Mbak Nanda ngakak, sementara aku misuh-misuh. Meletakkan kepala ke atas meja belajar lagi, bersiap meratapi nasib. Sudah empat bulan aku terhitung sebagai alumni sebuah universitas negeri di kota ini. Sejak saat itu, aku belum juga berkesempatan mencicipi dunia kerja seperti yang teman-temanķu kerap ceritakan.
Bukannya sombong, tapi aku jelas bisa menjamin bahwa diriku nggak bodoh-bodoh amat. Nggak kuper juga. Sertifikat, piagam penghargaan kemenangan lomba, olimpiade, sampai surat tanda aktif organisasi, aku punya semua. Bukan pula berarti empat bulan ini aku sama sekali tidak mendapat kesempatan lolos seleksi berkas untuk maju interview. Seperti kemarin. Namun sayangnya, proses terjauhku memang cuma sampai di sana. Selebihnya, keberuntungan ibarat lenyap dari genggaman.
"Ya santailah." mbak Nanda berceloteh, merebahkan tubuhnya di atas ranjang kamarku bahkan tanpa repot melepaskan sandal rumahan kelinci berwarna pink-nya. "Lo bukannya totally nganggur. Lo kerja, La. Content writer itu pekerjaan yang harus disyukuri juga."
Aku tertawa putus asa. Iya, memang. Aku jelas bukan hanya makan angin dan seperti baru bangun setelah tidur selama seribu tahun. Aku punya penghasilan, walau nggak sebanyak pegawai kantoran, atau pemilik start up sukses di luar sana. Tapi, tahu kan, kadang jenjang karier jadi sesuatu yang dibanggakan dalam lingkungan sosial? Dan bagiku, aku jelas tidak mau berada dalam keadaan yang demikian seumur hidup. Bukan berarti content writer pekerjaan yang tidak menyenangkan. Lain soal.
"Lo cukup tenang karena uang datang setiap bulan. Cukup diam di rumah, menulis, lalu gaji diturunkan dalam sekejap." mbak Nanda nyengir. "Atau lo terima saja tawaran ayah dan ibu. Sekolah lagi sana. Dapat magister, siapa tahu ditawari jadi dosen, kan?"
Aku memicing, "Nggak semudah itu, mbak." kulipat kaki, bersila di atas kursi putar. "Kating gue ada yang mikirnya begitu juga, dan ternyata sekarang malah struggle cari kerja. Sama saja."
"Lho? Nasib kan nggak ada yang tahu. Coba saja dulu."
Aku mencibir, tapi sedikit membenarkan. Lagi-lagi soal takdir. Perkara yang tidak satu pun manusia bisa jabarkan.
"Atau…" mbak Nanda tiba-tiba duduk, menggoyangkan kakinya, menatapku sembari menaik-turunkan alis, lantas terkikik sebentar. "Lo cari jodoh. Nikah. Nanti yang lain-lain menyusul." katanya, seolah menikah sama dengan keputusan untuk pergi ke warung Hajah Romlah di ujung blok sana.
"Ya kali, mbak." seruku, sebal. "Nikah bukannya opsi terakhir, seolah hidup berakhir di situ saja." sungutku.
Agak gedek juga mendengar orang-orang menganggap pernikahan sebagai solusi memecah dinding bernama masalah. Menyerah dengan skripsi, kalimat yang keluar adalah, "Duh, capek. Dosen susah ditemui, proposal revisi melulu. Mau nikah saja, deh." seolah dengan menikah, skripsi secara ajaib tercetak, atau ketika bangun tidur sudah disuguhi toga demi mengikuti selebrasi di auditorium kampus. Tentu tidak segampang itu.
Mbak Nanda mengangkat bahu. Ia sekarang berdiri, melambai seolah menang kontes ratu kecantikan, lantas tersenyum jahil. "Sekadar saran." katanya enteng.
"Diterima alhamdulillah, kalau nggak juga ya bukan masalah."
"Nanti, deh. Sekarang lagi kusut ini kepala."
"Oh, bisa pusing juga lo?"
"Iyalah!" aku cemberut sementara mbak Nanda berjalan keluar tanpa dosa.
Melihat mbak Nanda, aku jadi iri. Dia tidak pernah sekali pun mengeluh tentang pekerjaan. Dulu saat baru lulus, aku ingat dia ditawari pekerjaan sana sini sebagai ini itu, tapi malah lebih memilih untuk jadi guru taman kanak-kanak dekat rumah, hanya 5 menit bila ditempuh dengan berjalan kaki. Gajinya jelas tidak besar, bahkan kalau dirunut, mbak Nanda bisa bekerja di perusahaan besar mengingat gelar Lulusan Tercepat dan Cumlaude yang ia sandang.
"Apa sih yang kita cari di dunia ini?" katanya suatu hari, pada sesi quality time kami. "Dunia semua. Asal kebutuhan tercukupi saja, alhamdulillah. Gaji besar banget juga nanti bingung mau diapakan. Tanggung jawab di akhirat nggak kalah besar."
Aku ingat masih sempat mengeluarkan satu-dua protes dan mendebat keputusan saudara tertuaku tersebut.
"Lo nggak iri lihat teman-teman seangkatan dulu sekarang sampai merantau ke luar kota, menyeberang pulau, bahkan ada yang kerja di luar negeri? Nggak merasa left behind, mbak?" aku mencecar, sementara mbak Nanda tersenyum lebar.
"Perkara iri mah, manusia banget. Pernah sih sekali dua kali merasa begitu. Siapa yang nggak, coba? Tapi balik lagi, kalau kita merasa cukup dan bahagia dengan apapun yang kita pilih, mau hidup orang lain kelihatan seratus kali lipat lebih menarik, kita tidak akan tergoda atau malah menyesal dengan jalan kita sendiri."
Mbak Nanda barangkali bukan saudara paling pengertian dan paling segalanya. Tapi, aku sendiri selalu benci mengakui bahwa dia terlalu sering benar dalam hal apapun ketimbang diriku. A true decision maker.
But, back to the reality, mengingat sesi wawancaraku juga tidak bisa diandalkan walau nggak parah-parah amat, aku tetap berharap setidaknya kesempatan bekerja di salah satu perusahaan makanan instan tersebut bisa kudapatkan. Memang tidak sesuai dengan jurusan kuliahku, sih. Tapi, who knows? Lolos ke tahap interview artinya ada potensi yang mereka lihat dari diriku, kan?
"La,"
Aku nyaris terjengkang dari kursi ketika mbak Nanda tiba-tiba masuk kamarku lagi dengan wajah berseri.
"Kenapa mbak?" tanyaku ketus. Jengkel setengah mati.
"Galak amat." mbak Nanda tampak menahan tawa, sementara aku kini fokus menghadapnya. Menantikan kalimat selanjutnya yang akan ia keluarkan.
"Besok kita fitting baju, ya."
Dahiku mengernyit, bingung. Sembari mengingat-ingat acara apa yang barangkali akan berlangsung dan memaksa kami berdandan sampai harus fitting baju segala.
"Buat kondangan ke mana? Pakai fitting baju." cuek, kunyalakan laptop demi menyelesaikan deadline artikel.
"Ahad depan gue lamaran."
Aku terbelalak. Kali ini benar-benar meninggalkan laptop yang sudah menampilkan tulisan enter the password dan berdiri tegak menatap mbak Nanda, sangsi.
"Serius lo?" aku memicing, curiga. "Jangan halu deh, mbak. Jangan bilang ini bercanda, ya! Gue musuhin lo." tuduhku tanpa hati. Sementara mbak Nanda tidak bisa mengendalikan rasa geli. Dia tertawa terbahak-bahak sampai berguling heboh di kasur.
"Beneran ini mah. Seribu persen serius. Lo kok kaget begitu amat."
"Siapa?" todongku, kepengin tahu banget!
"Ada, deh." mbak Nanda mencoba berahasia. Ia berdeham, siap-siap memacu langkah kabur. "Pokoknya besok pagi-pagi. Jangan molor terus lo!" katanya, menyindir.
Aku menganga, masih tidak menyangka. Mbakku dekat dengan siapa, sih? Aku sampai kecolongan begini! Ya Allah, aku beristighfar dalam hati. Kenapa banyak sekali kejutan datang silih berganti? Untung aku tidak punya riwayat penyakit jantung.
Nasib, nasib ….
Palembang, 17 November 2020
Siti Sonia Aseka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar