Hari ini cerah. Langit biru, bersih tanpa awan. Denting akibat sendok dan pinggiran gelas beradu, aku yang duduk di sisi jendela berdebu menatap jalan raya dengan kepala carut-marut.
Rasanya tidak adil, bagaimana waktu terus berjalan, terus merangkak mencapai bulat dua puluh empat, sementara seorang manusia tersudut oleh fakta, dihancurkan realita, harapannya menguap, membaur dengan udara. Bagaimana setelah semuanya, porak poranda jadi niscaya, muat dalam satu wadah berisi doa-doa yang kini takkan pernah lagi ingin ia langitkan.
Sebelum hari ini, aku ingin berjabat tangan dengan jarak. Berterima kasih sebanyak embun sepagian buta pada kelopak-kelopak bunga pun dedaunan dan ilalang, tentang bagaimana pengampunan berhasil menjahit kembali sekian sapa dan senyum yang sempat diputuskan masa muda. Padahal, ada rindu menggebu yang kuasuh sekian lama hanya agar mampu meledakkan cita kala yang pulang mengetuk pintu setelah sekian lama. Tetapi, kecepatan informasi mengakibatkan hantaman keras mengalahkan laju kereta api. Dari mulut ke mulut, telinga ke telinga, sambung menyambung asumsi menghasilkan stigma, kesimpulan atas kesalahan dan aku tak mampu menghindarinya.
Harusnya kita tak usah dihubungkan saja. Harusnya kita tetap jadi sekadar teman tanpa sisa perasaan yang genap meminta tempat. Harusnya kita tidak memandang satu sama lain berbeda dan menyusun konklusi lebih merah muda hanya demi mengobati sakit yang masih ada.
Harusnya, aku tidak mudah berpikir bahwa barangkali kamulah orangnya, sehingga memimpikan waktu yang tepat bahkan sebelum mata terbuka lebih lebar dan lebih jauh.Harusnya, kuanggap saja kedatanganmu adalah pintu baru demi menyambung kembali tali yang sempat putus, tidak lebih dari itu. Tidak bermain-main dengan kemungkinan dan mengabaikan sekian peringatan.
Memaafkan dan rindu, pengampunan dan angkara. Akar-akar relasi, pion-pion tegaknya keluasan hati, kelapangan sanubari.
Aku rindu, sekaligus tak mampu memaafkan. Aku marah dan kehilangan pengampunan.
Di sebuah meja makan, sekian hidangan disajikan. Berpiring-piring, gelas-gelas, sendok, garpu, serbet bunga-bunga yang kontras dengan dekorasi gelap, kebanyakan hitam, sisanya abu-abu. Tidak ada yang selaras di sini, tidak ada satu pun unsur terasa benar.
Aku muak, tapi tak berniat berdiri. Kita tidak diciptakan untuk menolak segala hal meski benci setengah mati. Maka, sosokmu bukan lagi seluar biasa bintang yang mampu menarik perhatianku. Sorotmu tak lagi jadi dambaanku. Serta kata-katamu telah lenyap dari daftar inginku.
Terhadap masa lalu, kita berdosa. Di masa kini, kita dihajar rasa bersalah.
Siti Sonia Aseka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar