Daren tidak pernah sudi berada di situasi sulit. Duduk berdua dengan sahabat baiknya sembari membicarakan soal perasaan, di meja dengan hidangan junk food kesukaan mereka pula, misalnya.
"Wow, berita sebesar ini dan aku baru diberitahu sekarang?" Daren terang-terangan protes, sementara di seberang sana, perempuan bermata cokelat terang menatap separuh bersalah.
"Sorry. Kamu kelihatan sibuk banget. Kita bahkan sudah lama nggak lunch bareng atau lari pagi sejak… you know, works." Kinara mengangkat kedua bahu, seolah itu semua perkara sepele.
"Ya, dan tiba-tiba kamu membajak Sabtu pagiku, mengajak brunch, dan mengabarkan soal tanggal pernikahan?"
"Ren, come on. Maaf, oke? Kupikir masalah ini nggak seharusnya disampaikan melalui pesan singkat atau telepon, that's why aku mencari waktu yang tepat. Mana kutahu kalau waktu yang tepat itu ternyata sebulan sebelum pernikahan diselenggarakan."
Daren mendengus. Burger yang biasanya terlihat menggoda, hari ini berubah memuakkan. Entah karena kondisi hatinya yang buruk, atau sesederhana ia masih tidak terima dengan sikap Kinara.
"Sembilan tahun dan kayaknya nggak berarti apa-apa." Daren menyindir, tangannya mendorong piring berisi burger ke tengah meja, enggan. "Well, apa lagi kejutan yang kamu bawa hari ini?"
Kini, Kinara tidak bisa menahan rasa penasarannya. Perempuan tersebut mengerutkan dahi, mencoba menganalisis perubahan Daren sejak menjemputnya di rumah tadi hingga duduk di kafe ini dan mendengar kabar membahagiakan yang Kinara bawa.
"Kamu masih nggak jago poker face, tahu?" Kinara menghembuskan napas, bersabar. "Seperti katamu tadi, sembilan tahun. Aku nyaris hapal semua kebiasaanmu tanpa perlu kamu jelaskan lebih dulu. Dan kupikir, kamu juga begitu. Sedih, kecewa, marah, bahagia, kamu punya sinyalmu sendiri. Kali ini, reaksimu bukan bagian dari empat jenis perasaan itu. Aku benar?"
Daren masib menatap Kinara dalam-dalam, mencoba meminta perempuan itu berhenti dan tidak melanjutkan kalimat.
"Aku ingat awal mulanya. Tiga tahun lalu, orang-orang mulai menjodoh-jodohkan kita. Sekadar candaan, memang. Tapi beberapa justru serius seolah membukakan jalan buat kita. Kita, Ren. Yang bahkan mengenal satu sama lain lebih jauh ketimbang kulit luar saja."
"Ra, kamu ngelantur."
"Mungkin." Kinara terkekeh, getir. "Tapi aku belum selesai."
Kinara melanjutkan, suaranya bergetar. "Aku menemukan kamu terbebani, sesuatu yang kubenci. Padahal kita hanya harus tutup telinga atau tidak memasukkan bulat-bulat dalam hati. Toh, kita cuma harus hidup seperti sebelumnya, dan gosip-gosip itu akan hilang ditelan angin. Tapi sebaliknya, kita malah berjarak, sangat jauh sampai kupikir aku telah kehilangan sahabat hanya karena this fuck up society."
Di luar, cuaca cerah dengan matahari naik lebih tinggi. Pengunjung kafe mondar mandir, antrean menguar nyaris sampai pintu masuk.
"Ren, ini pertama kalinya aku mau meminta maaf. Barangkali satu dua sikapku dan perlakuan orang-orang menyita ruang pikirmu."
"You don't need to."
"Akhirnya semua drama ini selesai. Aku akan menikah dengan lelaki pilihanku dan kamu akan bebas dari sekian anggapan orang tentang kita yang barangkali memenjarakanmu. Kamu tidak lagi seolah ditekan untuk hanya bersama denganku. Kamu bisa bernapas lega sekarang."
Satu sudut bibir Daren naik, menampilkan senyum sinis. Ia menyeruput kopinya, berusaha keras menyembunyikan kecewa.
"Yeah, Ra, seperti biasa, kamu selalu sok tahu."
Dahi Kinara mengerut, alisnya hampir bertemu. Tetapi Daren justru melempar pandang pada keramaian jalan raya, mengabaikan tatap bertanya dari sahabatnya.
"Lupakan. Jadi, siapa? Siapa laki-laki kurang beruntung itu?"
Kinara mengerang, kesal karena seolah direndahkan namun juga senang karena sepertinya Daren yang ia tahu sudah kembali.
"Mas Akbar, kamu pasti kenal."
Ah, ya. Akbar. Daren membatin. Siapa yang tidak kenal? Lelaki lurus dan pendiam itu, kakak tingkat berbeda fakultas dengan mereka di kampus, ternyata berhasil menaklukkan Kinara dengan segala keanehannya.
"Dia… orang yang baik."
"See?" Kinara berseru, girang. "Aku tahu kamu pasti bakal sependapat denganku."
Kinara lalu berceloteh. Tentang pertemuannya dengan Akbar, tentang insiden di Lombok, tentang Akbar yang menyelamatkannya dari situasi sulit, soal kesalahpahaman yang sempat terjadi, hingga lamaran Akbar yang sangat tidak romantis.
"Kamu bahagia, Ra?"
"Sangat!"
Daren tersenyum, memukul mundur penyesalan, menghibur duka yang tumpah ruah dalam benak. Ia mengaduk kopi tanpa henti dan meneguk cairan pekat tersebut sampai ampas-ampasnya. Masih kalah pahit dengan kenyataan yang harus ia telan.
"I'm happy for you. You should know that." Daren menggumam. "Tapi, boleh aku jujur hari ini saja, Ra?"
Kinara memiringkan kepala, jemari lentiknya berhenti memainkan sedotan pada minuman bergelas tinggi, menyimak sungguh-sungguh, kemudian membulatkan mata, terkejut, sekaligus… terluka.
***
"Kalau waktu bisa diputar, akan tetap ada dua kemungkinan; aku jujur dengan perasaanku, atau lagi-lagi membiarkanmu berlalu dan siap menerima kenyataan bahwa tidak selalu semesta memberi kita kesempatan kedua. Dan aku menghargainya."
Daren datang terlambat, sengaja tidak menghadiri akad nikah dan hanya berpenampilan terbaik dengan setelan batik lengan panjang untuk mengambil barang sebuah moment foto bersama. Ada segudang alasan yang sudah ia siapkan, untuk berjaga-jaga. Agar ia tidak gagap ditanya soal keterlambatan, atau mengapa lingkaran di bawah matanya jauh menghitam.
Syukurlah, atau malah sialnya, tidak ada yang bertanya. Barangkali semua orang maklum, mungkin memang tidak ada yang harus diperjelas.
"Lo tahu kan, pengakuan lo ke Kinara nggak bakal mengubah apa-apa? Dia dan Mas Akbar akan tetap menikah, dan kalian akan selamanya jadi sahabat. That's it. Ren, lo harusnya ngerti pilihan itu nggak berlaku abadi. Lepaskan atau ikhlaskan, betul?"
Daren ingat percakapannya dengan Radit, dan tanggapan apa yang ia lontarkan.
"Gue paham."
"Lo pemberani, bro. Gue akui. Cuma memang selalu ada istilah pahlawan kesiangan dan polisi India di dunia ini, kan?"
Daren tersenyum, miris.
Terlambat. Ia memaknai ucapan Radit. Ya, ia memang luar biasa terlambat.
"Tapi kalaupun lo nyolong start duluan, Kinara juga belum tentu nerima lo, kan? Karena esensi takdir memang begitu; apa yang ditakdirkan buat lo, akan jadi milik lo. Kalau nggak, ya sudah. Byebye."
Maka Daren memasang satu senyum template, naik ke atas panggung, masuk dalam barisan teman-temannya untuk berfoto, mengobrol dengan beberapa orang, dan meladeni satu dua gurauan. Ia tertawa secukupnya, lalu izin pamit bahkan sebelum makan siang.
Tak mengapa, ia bisa mampir di salah satu kedai favoritnya dan Kinara, menikmati menu yang jadi andalan mereka, sembari bernostalgia tentang masa lampau yang kini hanya akan jadi kenangan. Merapal ulang tawa, membongkar ingatan sekali lagi, lalu pulang dan melupakan.
Hidup memang demikian, bukan?
***
Palembang, 17 November 2021
Siti Sonia Aseka
Thanks krn selalu menciptakan rasa dalam bentuk frasa💜
BalasHapusHalo, terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan jejak!
BalasHapus