Pada sepetak ruang hampa, kita percaya bahwa sendiri tak pernah lebih baik ketimbang harus membagi segala jenis rasa sebelum sempat memiliki dan menggenapi timpang dalam lekuk suka cita.
Pada langit yang kadang kemilau, kadang membiru pucat, manusia bernaung, membenahi sekian rusak dan malfungsi, menapak setapak atau sekadar menyaksikan ramai jalan raya yang kerap melenakan nan menguji.
Dan kita masih sering, melarikan diri dari setumpuk kenyataan, bahwa berakhir terkadang membiarkan salah satu bahkan keduanya luka. Bahwa mungkin juga, dengan berbagi segala macam rahasia, manusia bisa saling menutupi lubang bernama merana.
Hari masih berjalan setelah pertemuan sarat akan ketidaksiapan; katanya, manusia memang akan dihadapkan pada keinginan pun kebencian, keramahan sampai angkara, dan berdamai. Entah dengan mundur atau maju terus jalan
Bahwa barangkali, kesetengahhatian itulah yang mengantarkan kita sampai gerbang untuk benar-benar melepaskan dan tak hendak menoleh lagi ke belakang
Sebab apapun akan menjadi senyap, digiring oleh takdir, dibawa dengan menari diiringi lagu-lagu sedih tetapi kosong dan tak meninggalkan arti.
Yang kita pikir adalah tujuan, ternyata cuma persinggahan, sebentar saja, untuk mengobati yang sakit, atau menghadirkan senyum sarat akan maklum, belajar memberi dan menerima, untuk berkorban dan berjuang, sampai entah, tak hingga
Anehnya, kita terkadang masih sulit menerima, lalu meratap, menyalahkan takdir hingga orang lain. Bertanya dan terus bertanya, menjadi menyebalkan bagi semesta yang mulanya riang gembira
Kebetulan memang ada, tetapi kesia-siaan tidaklah mutlak merugikan. Kepala kita, harusnya diisi oleh rumpun dorongan, bukan cuma harapan dengan mati sebagai kepasrahan
Hari paling buruk telah berlalu
Dan namamu, masih jadi puisi yang kerap kurindu
Tetapi kita tidak boleh kehilangan arah, meski rumah yang kita pikir selamanya, justru hanya sementara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar