Saat kanak-kanak dulu, aku ingat betul. Ketika ayah, ibu, bahkan guru-guru bertanya, apa cita-citaku, maka dengan lugas aku menjawab, "Menjadi dokter!"
Yeah, terdengar klise sekali, kan?
Di tahun terakhir kuliah, di tengah hectic penyusunan skripsi dan tugas akhir, aku mulai berpikir, "Kenapa dulu aku ingin sekali jadi dokter, sih?" lalu seketika terbahak.
Sebenarnya, masalah cita-cita dan harapan masa depan semacam ini selalu jadi denyar agak ganjil. Apalagi untuk anak-anak yang "Hidup untuk hari ini" sepertiku.
Masa lalu? Apa sih, yang membuat orang-orang terkadang membandingkan sepanjang waktunya dengan hari-hari yang berlalu, dan berakhir dengan harapan tentang kembali ke masa itu? Konyol.
Juga masa depan. Tak peduli seberapa banyak kau menginginkan kehidupan yang lebih baik, bukankah harusnya memaksimalkan apa yang tampak di hadapan malah lebih baik?
Bagiku, waktu paling penting dalam hidup adalah ketika aku berjalan di detik ini saja, tak repot memikirkan apa-apa. Sejenis itulah.
Karena terlalu mengkhawatirkan banyak hal tentu menghabiskan sisa tenaga, bukan? Yeah, iyakan saja tanyaku satu itu, retoris.
Omong-omong soal hidup, datanglah ke ruangan kantor seseorang, dan kau akan temukan seluruh jiwanya di sana. Singgahilah rumah-rumah dan akan kau dapati kudapan enak serta ruang tengah yang nyaman.
Seperti aku, di tengah hiruk-pikuk ruang guru.
Aku seorang pengajar, ternyata.
Wow... Bertahun yang ku habiskan dengan bergulat dalam bilik-bilik kelas, coba tebak apa yang bisa lebih baik?
Mejaku ada di baris kedua dari pintu masuk. Dilapisi penutup meja bergambar sebuah rumah yang kehujanan. Hasil lukisan seorang siswa yang kini entah telah menjadi apa, bertahun-tahun lalu.
Komponen yang memenuhi meja itu sudah jelas sekali; buku latihan siswa yang bertumpuk-tumpuk, segelas teh hangat, tiga bunga mawar plastik di dalam vas yang berdebu, serta beberapa buku cetak milikku sendiri, sebagai pegangan.
Jadi, pagi ini, setelah mengantarkan dua anak dan 'teman' sepanjang usiaku sampai di depan pintu untuk berangkat sekolah dan pergi bekerja, aku gegas bersiap dan meluncur ke tempatku menghabiskan lebih dari setengah dari waktu dua belas jam.
Kelas pertamaku dimulai pukul 8.20 hari ini. Jadi, melirik jam tangan berwarna abu-abu pudar, aku menghela nafas. Masih pukul tujuh. Tidak buruk. Aku bisa menghabiskan waktu dengan menyiapkan bahan ajar, memeriksa buku soal atau menyelesaikan bacaan yang beberapa hari terakhir menemani waktu-waktu senggangku. Soal game yang kata orang bisa menghilangkan stress bahkan, aku tak peduli. Bagiku, alat pengalih perhatian sejenis itu sungguh bukan alternatif. Sama sekali nol besar.
"Selamat pagi. Hari yang cerah, ya."
Aku menatap tak habis pikir. Mendapati sosok perempuan tiga tahun lebih tua dariku tengah menarik kursinya, bersiap duduk. Kemudian, mataku menangkap sisa-sisa air hujan yang mengalir di jendela. Menarik nafas jengah.
"Mendung begini, bu?"
Aku meyakinkan perempuan yang menampilkan rona merah pada wajahnya.
"Mendung pun tampak indah di mataku, kau tau?"
Aku tersenyum sok mengerti. Memalingkan wajah pada keadaan di luar sana sekali lagi.
Ya, ya. Mungkin aku memang butuh sudut pandang selalu berbaik sangka semacam itu, beberapa persen saja.
__
Ada beberapa perjanjian di dunia ini yang tidak perlu menggunakan materai. Seperti ketika aku berjanji pada ibu untuk tidak bermain di tengah hujan sampai basah kuyup, berjanji pada ayah untuk melapor ke mana dan dengan siapa pergi tanpa ia yang mengantar, atau sebuah janji yang terlontar sebelum aku memutuskan untuk mengikat sebentuk persahabatan seumur hidup dengan seorang lelaki.
"Aku akan bekerja. Mengabdi sebagai guru sampai nyaris habis usiaku."
"Berarti, kita sama, ya?"
Aku mengangguk pasti. Tersenyum. Membiarkan sebuah petang berakhir dengan ia yang pamit pulang dan kesepakatan bulat tanpa embel-embel tuntutan sama sekali, "Bekerja; menjadi guru, menjadi istrinya, menjadi ibu dari anak-anaknya."
Perjanjian itu berjalan telah lama sekali.
Hingga hari ini, ketika bahkan terkadang aku lupa untuk menjadi seseorang yang memprioritaskan keluarga saja, berhenti menjadi lelah atas diri sendiri, tanggung jawab untuk mengabdi itu masih cukup besar hingga membelah pribadiku menjadi dua.
"Kita tidak boleh berakhir mengorbankan salah satu demi yang lain, sayang. Kita hadir untuk menyeimbangkan keduanya. Untuk kasusmu, jadi tiga."
Ya, aku mengerti.
Aku memang harus melakukan ini. Selama yang ia restui, sepanjang yang aku sanggupi. Tidak boleh menyerah, tidak boleh.
__
"Bu, kenapa guru suka sekali memberi tugas kepada murid?"
Suatu ketika putriku bertanya, menghentikan kegiatan menulis di atas buku Matematikanya. Menatapku, mengharapkan jawaban.
"Agar kalian bisa terus mengulang pelajaran di rumah, sayang."
"Kenapa harus diulang?"
"Agar ingat, tidak lupa. Sampai pintar."
Kepala kecil itu mengangguk-angguk, merasa cukup. Meraih kembali pensil hijau tuanya dan memasang raut serius, menyelesaikan sesuatu yang memang harus ia selesaikan.
Deja vu.
Jauh sebelum hari ini, aku sepertinya pernah mengalami hal serupa. Kapan, ya?
__
Siti Sonia Aseka
Palembang, 26 Oktober 2018
Jumat, 26 Oktober 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
-
Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada mas...
-
Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...
-
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar