Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Jumat, 05 April 2019

Dulu dan Sekarang

Dahulu, aku tak tahu, mengapa manusia mampu membenci sedemikian rupa. Mengapa mereka bisa menebar ketidaksukaan, lantas tertawa cekikikan di balik tindak seseorang.



Dahulu, aku tak mengerti bagaimana mungkin cinta dan percaya dapat berganti jadi benci dan curiga. Aku tak paham mengapa orang yang dahulu begitu indah dengan caranya mampu dilimpahi kesalahan dan dosa dari sesama manusia hanya karena ia melempar senyum setiap hari, menebar bahagia sepanjang waktu dan selalu diakui sebagai si nomor satu.

Mengapa mereka bisa membentuk koloni baru demi membantu membangun pendapat mengenai orang lain, menanamkan keburukan pada sosok tersebut, lalu merasa baik setelah mendapatkan apa yang mereka mau; kekecewaan dan sakit hati baru.

Aku benar-benar tak mengerti, sekaligus kebingungan setengah mati.

Padahal, ketimbang membenci, ketimbang menjatuhi  penghakiman atas laku seseorang, akan lebih bagus jika energi tersebut diinvestasikan pada corong-corong manfaat. Melakukan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan sesuatu, atau sekedar menjaga berbagai sudut jiwa agar tak mudah membusuk sebab terlalu sering bersinggungan dengan kriminalitas tak kasat mata macam itu.

Sebab, bagaimanapun juga, aku melihat bahwa membenci membutuhkan tenaga dan alokasi massa yang tidak main-main.

Namun, sekarang, hari ini, setelah bertemu bahkan merasakan begitu banyak kebencian, penghakiman, seruan menjatuhkan pun makian membabi buta, aku jadi bisa menyimpulkan banyak sekali hal yang dahulu hanya berupa tanda tanya juga gelembung kebingungan.

Sesungguhnya, para pembenci hanya tak menemukan alasan lain untuk menyukai seseorang. Mereka menjumpai sesuatu atau seseorang, memberi waktu untuk menentukan apakah akan menyukai atau malah membenci, dan meletakkan berbagai penilaian paling tidak masuk akal sekalipun hanya agar pendapat mereka dari sisi paling tidak logis tersebut mampu terbangun dan tegak di atas pondasi yang bukan kaleng-kaleng.

Jujur saja, beberapa waktu belakangan, setelah mendapatkan tatapan kebencian lebih banyak ketimbang sebelumnya, aku mendadak mengerti, terkadang untuk membenci seseorang, di balik sekian alasan yang tercetus atau terlontar, selalu ada sisi kosong di mana sesungguhnya sang pembenci juga tak menemukan alasan pasti mengapa ia meletakkan kebencian.

Tidak semata iri, bukan karena kehabisan persediaan kemampuan menyukai, juga tak melulu soal kekecewaannya terhadap diri sendiri yang tak mampu menjadi sebaik orang lain.

Terkadang, membenci seseorang, perasaan tidak suka, muncul hanya karena tidak ada alasan apapun untuk merangkum cinta. Kerepotan dalam berpikir bahwa semua orang tentu memiliki peluang untuk sama-sama menatap galak dan penuh permusuhan juga.

Sederhana, kan?

Kenyataan bahwa tidak semua orang dikaruniai hati yang seluas dan selapang samudera, menjadi alasan kuat mengapa hal-hal semacam ini masih terus terjadi.

Yang jelas, membenci hanya menghabiskan waktu, tenaga, pikiran. Ia tidak akan berbuah manis sekeras apapun kau bermimpi mampu memetik kebaikan dari keburukan yang kau pertahankan itu.

Orang-orang jelas butuh sesuatu untuk menyadarkan mereka bahwa ketimbang jatuh bersama sosok yang mereka benci, akan lebih bagus jika perasaan menggebu tentang menjatuhkan orang lain itu diredam sedemikian rupa dan dibuat hangus dalam kobaran kenyataan.

Coba pikir, saat semua orang telah memilih mengabaikan rasa benci, tak memberi muka pada ketidaksukaan, bahkan terang-terangan menampik dengki, bukankah perdamaian dunia yang kita idamkan itu akan terjadi?

Well, walau terdengar berlebihan, tapi aku tidak main-main saat berkata bahwa bertahun waktu yang kau habiskan untuk membenci, bila dikumpulkan dan disatukan justru mampu menciptakan rentang untuk meraih Nobel Perdamaian dan menyelamatkan dunia seisinya.

Jadi, duduk diam dan ambil waktu menepimu. Pikirkan ulang, hentikan perpanjangan angan. Kembali ke fakta saja, bahwa jauh di dalam, menjadi lebih baik dari orang lain adalah hal paling mudah ketimbang menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Kita bisa menyelesaikan tulisan ini sampai di titik pada kalimat di atas.

Tapi, omong-omong, apa kebencian terbesar yang pernah kau lakukan, atau mungkin kau rasakan?
Bagaimana caramu berdamai lalu berjalan berdampingan dengannya?


Siti Sonia Aseka
Indralaya, 5 April 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...