Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Jumat, 05 April 2019

Friends

Sebab, kepercayaan bukan sesuatu yang dapat dibeli di toko kelontong, bukan pula hal yang dijajakan murah meriah di gerai kaki lima. Malah, lebih jauh, kepercayaan tidak pernah ditawarkan cuma-cuma, tidak ditemukan tanpa sengaja di tengah jalan, pun dapat dipetik suka-suka berapapun kebutuhannya.



Atas alasan tersebut, Kina tidak pernah bisa seutuhnya yakin tentang percaya. Baginya, hal-hal semacam itu bukan satu dari sekian rasionalitas manusia sehingga amat mudah dibodohi lantas hidup dalam kepura-puraan, memanjangkan harapan. Menghapus sekian sisi paling realistis demi membangun angan-angan. Kina selalu berpegang pada logika bahwa asa tidak patut diberi tempat, karena betapapun ia ingin, berapa banyak ia berusaha, pengkhianatan, kecewa, rasa sakit dan luka yang menganga selalu tiba di akhir kisahnya.

Dan perempuan itu sungguh merasa cukup.

Larut dalam sibuk, keras terhadap diri, menikmati sekian tekanan, menjadikan pekerjaan sebagai cinta sejati. Sebab hanya dengan begitu, segala jejak yang tertinggal, sekian darah yang mengering, serta amarah yang meningkat tinggi mampu ia paksa sembunyi, dapat ia takut-takuti.

Barangkali.

"Usiamu sudah dua puluh enam, loh. Tidak berminat menyusul teman-teman yang telah naik pelaminan?"

Kina tersenyum ganjil.

Ah, dari mana ia harus membalas tanya terkesan penghakiman macam ini? Sebanyak apa lagi alasan yang harus ia kuak, agar tak seorangpun berani menghampiri hanya demi melontarkan caci maki?

"Proposalmu?"

Kina tertawa kering, terdengar muak dan tercekik. Fakta bahwa orang lain seolah memahami segalanya, kenyataan bahwa semua hal ini tak semudah kelihatannya.

Menikah bukan soal perlombaan siapa yang cepat, siapa yang lebih dahulu atau siapa yang mampu bersaing demi mendapatkan siapa. Lebih dari itu, menikah adalah tentang menyeimbangkan yang oleng, berbagi sekian kekurangan selain untuk memperindah kelebihan.

Jadi, masih dengan senyum yang berusaha ia ukir sedemikian rupa, Kina menarik diri dari gerombolan, menyepi. Melenyapkan keinginan untuk pulang, mengusir jauh luka lama yang dipaksa menganga. Bila bukan karena ini adalah hari bahagia sahabat baiknya, jika tidak memikirkan betapa buruk pikiran lari yang sempat mampir ke dalam kepala, perempuan tersebut pasti telah memutuskan untuk memesan jasa transportasi kekinian melalui salah satu layanan taksi online dan pulang menuju rumah.

Untuk hari ini, saat ini saja, ia harus menumbuhkan ketinggian sabar.

"Hei, tumben masih jadi satu dari sekian personil yang bertahan?"

Kina menoleh demi mendapati presensi pemuda dengan senyum paling menyebalkan dan selalu tampak seolah menganggapnya sebagai boneka kaca yang mudah pecah dalam waktu bersamaan.

"Kurang ajar!" Kina mengepalkan tinju, siap menggertak dan memaksa sang lawan mundur. Perempuan itu sejenak menarik napas keras, merasa sesak. Kenapa pula ia harus bertemu salah satu makhluk Tuhan paling tidak paham situasi disaat kondisi genting begini?

"Eits... anarkis banget. Butuh aqua? Sini-sini, papa belikan, nak."

Kina mendecih, sejenak kehilangan alasan untuk marah dan memilih mengabaikan sosok yang perlahan mengambil tempat duduk di sampingnya. Menghadap pelaminan, menyoroti lalu lalang serta hiruk pikuk.

"Kenapa rasanya seolah balik ke masa kuliah, ya?"

Kina menoleh, mendapati seraut wajah yang sarat akan rindu tengah coba mencari celah demi mengenang masa lalu.

"Hebohnya, lebaynya, alay mereka. Well, walau gue bukan tipe dari semua yang baru disebutkan, ya. Tapi, merasa gitu gak sih?"

Kina tersenyum kecil, lantas ikut mengingat-ingat. Dulu sekali, kala mereka masih total melajang dan menghadiri undangan pernikahan para kakak tingkat, tingkah konyol khas anak kost selalu mewarnai setiap acara yang harusnya sakral macam itu. Prinsip mahasiswa; asal gratis, apapun hantam!

"Lo lupa siapa yang dulu bolak-balik dari meja hidangan ke tempat duduk demi dapat makan gratis sampai puas? Plis, jangan sok polos."

Kina mencerca, terkesan mengejek. Pemuda satu ini memang butuh dihajSebab, kepercayaan bukan sesuatu yang dapat dibeli di toko kelontong, bukan pula hal yang dijajakan murah meriah di gerai kaki lima. Malah, lebih jauh, kepercayaan tidak pernah ditawarkan cuma-cuma, tidak ditemukan tanpa sengaja di tengah jalan, pun dapat dipetik suka-suka berapapun kebutuhannya.

Atas alasan tersebut, Kina tidak pernah bisa seutuhnya yakin tentang percaya. Baginya, hal-hal semacam itu bukan satu dari sekian rasionalitas manusia sehingga amat mudah dibodohi lantas hidup dalam kepura-puraan, memanjangkan harapan. Menghapus sekian sisi paling realistis demi membangun angan-angan. Kina selalu berpegang pada logika bahwa asa tidak patut diberi tempat, karena betapapun ia ingin, berapa banyak ia berusaha, pengkhianatan, kecewa, rasa sakit dan luka yang menganga selalu tiba di akhir kisahnya.

Dan perempuan itu sungguh merasa cukup.

Larut dalam sibuk, keras terhadap diri, menikmati sekian tekanan, menjadikan pekerjaan sebagai cinta sejati. Sebab hanya dengan begitu, segala jejak yang tertinggal, sekian darah yang mengering, serta amarah yang meningkat tinggi mampu ia paksa sembunyi, dapat ia takut-takuti.

Barangkali.

"Usiamu sudah dua puluh enam, loh. Tidak berminat menyusul teman-teman yang telah naik pelaminan?"

Kina tersenyum ganjil.

Ah, dari mana ia harus membalas tanya terkesan penghakiman macam ini? Sebanyak apa lagi alasan yang harus ia kuak, agar tak seorangpun berani menghampiri hanya demi melontarkan caci maki?

"Proposalmu?"

Kina tertawa kering, terdengar muak dan tercekik. Fakta bahwa orang lain seolah memahami segalanya, kenyataan bahwa semua hal ini tak semudah kelihatannya.

Menikah bukan soal perlombaan siapa yang cepat, siapa yang lebih dahulu atau siapa yang mampu bersaing demi mendapatkan siapa. Lebih dari itu, menikah adalah tentang menyeimbangkan yang oleng, berbagi sekian kekurangan selain untuk memperindah kelebihan.

Jadi, masih dengan senyum yang berusaha ia ukir sedemikian rupa, Kina menarik diri dari gerombolan, menyepi. Melenyapkan keinginan untuk pulang, mengusir jauh luka lama yang dipaksa menganga. Bila bukan karena ini adalah hari bahagia sahabat baiknya, jika tidak memikirkan betapa buruk pikiran lari yang sempat mampir ke dalam kepala, perempuan tersebut pasti telah memutuskan untuk memesan jasa transportasi kekinian melalui salah satu layanan taksi online dan pulang menuju rumah.

Untuk hari ini, saat ini saja, ia harus menumbuhkan ketinggian sabar.

"Hei, tumben masih jadi satu dari sekian personil yang bertahan?"

Kina menoleh demi mendapati presensi pemuda dengan senyum paling menyebalkan dan selalu tampak seolah menganggapnya sebagai boneka kaca yang mudah pecah dalam waktu bersamaan.

"Kurang ajar!" Kina mengepalkan tinju, siap menggertak dan memaksa sang lawan mundur. Perempuan itu sejenak menarik napas keras, merasa sesak. Kenapa pula ia harus bertemu salah satu makhluk Tuhan paling tidak paham situasi disaat kondisi genting begini?

"Eits... anarkis banget. Butuh aqua? Sini-sini, papa belikan, nak."

Kina mendecih, sejenak kehilangan alasan untuk marah dan memilih mengabaikan sosok yang perlahan mengambil tempat duduk di sampingnya. Menghadap pelaminan, menyoroti lalu lalang serta hiruk pikuk.

"Kenapa rasanya seolah balik ke masa kuliah, ya?"

Kina menoleh, mendapati seraut wajah yang sarat akan rindu tengah coba mencari celah demi mengenang masa lalu.

"Hebohnya, lebaynya, alay mereka. Well, walau gue bukan tipe dari semua yang baru disebutkan, ya. Tapi, merasa gitu gak sih?"

Kina tersenyum kecil, lantas ikut mengingat-ingat. Dulu sekali, kala mereka masih total melajang dan menghadiri undangan pernikahan para kakak tingkat, tingkah konyol khas anak kost selalu mewarnai setiap acara yang harusnya sakral macam itu. Prinsip mahasiswa; asal gratis, apapun hantam!

"Lo lupa siapa yang dulu bolak-balik dari meja hidangan ke tempat duduk demi dapat makan gratis sampai puas? Plis, jangan sok polos."

Kina mencerca, terkesan mengejek. Pemuda satu ini memang butuh dihajar sampai babak belur oleh kenyataan, biar sadar.

"Yaaaa... kan ngambil banyak buat lu juga. Jangan pura-pura lupa!"

Kina tertawa, mengangguk-angguk kemudian. Benar. Ia tidak akan lupa hal satu itu. Mereka bahkan sibuk menyantap makanan ketika yang lain getol ingin berfoto dengan mempelai.

Ah, masalah foto doang mah, gampang.

Itu alibi, sebenarnya. Sebab di akhir acara, ketika semua orang telah mendapatkan apa yang mereka inginkan demi mengunggah apa saja di sosial media, Kina dan Kano terpaksa berfoto berdua dengan mempelai sebab diancam dengan bobot, "Kalau nggak foto, tak sumpahin lama nyusul, loh."

Padahal ukuran lama itu berbeda-beda setiap orang.

Jadilah dengan senyum yang terpatri dibuat-buat, perpaduan antara kekenyangan dan malas karena dijodoh-jodohkan oleh kawan-kawan lain yang mendadak jadi penonton bayaran, mereka menyelesaikan satu sesi yang dibuat sesingkat mungkin. Sialnya, justru foto penyebab doa-doa tanpa sengaja itu yang dipublikasikan dan jadi bahan perbincangan.

Itu dulu, dulu sekali.

Sekarang? Kina tidak yakin. Namun, beberapa kali, setelah mereka dihadapkan pada jarak, perbedaan profesi, pertemuan yang berlangsung dalam sekian waktu setahun, beberapa pertanyaan itu masih seringkali mampir.

"Kenapa tidak dengan Kano saja, sih? Kan sama-sama masih melajang, tuh. Dia juga sepertinya nungguin kamu."

Sepertinya.

Kina tertawa keras, menampik cepat.

"Nantilah, menikah bukan prioritas untuk sekarang."

"Ya jadi kapan? Prioritasmu itu selalu kantor, kantor dan kantor."

"Selagi aku baik-baik saja, sepanjang aku masih bisa bahagia dengan upaya yang kubuat sendiri, menikah bukan hal yang harus dipusingkan. Lagipula, tidak semerta dengan menikah segala permasalahan dunia ini luntur tanpa sisa. Malah akan bertambah lebih banyak, lebih pelik. Memikirkan masalahku sendiri saja sudah pusing setengah mati, ini mau ditambah mengurusi orang lain beserta masalah-masalah hidupnya? Haduh, tidak deh. Terima kasih."

"Ya minimal kalian saling membantu dalam memecahkan masalah, punya teman berdiskusi, bisa saling mendukung dan memotivasi."

Kina menggeleng, menatap sepiring sosis dan nugget di hadapannya tanpa minat. Masih dengan perasaan yang sama; terluka, lelah, ingin menghilang sejenak dari tanya soal, "Kapan?"

"Malah melamun." Kano melayangkan satu tangan di depan wajah Kina. Membuat yang tengah diajak bicara kembali ke saat di mana dunianya berputar dalam fase "menonton pertunjukan."

"Sudah sepi, ayo foto dulu. Karina pasti ingin sahabatnya terabadikan dalam bidikan kamera juga."

Kina menatap Kano sejenak, melemparkan anggukan pelan sebelum berjalan bersama demi menyapa dan mengucapkan selamat pada mempelai.

Karina cantik sekali.
Sejujurnya, dia memang selalu cantik. Namun hari ini, kecantikan itu bahkan paripurna sebab ada seseorang yang berdiri tegak di sampingnya, memamerkan senyum bahagia yang sama, menyambut Kina dan Kano dengan keramahan tak beda.

Sempurna.

Kina berdiri kikuk.

Tepat saat kamera siap dibidik, sedetik setelah blitz itu menerpa matanya, Kina yakin bila ia mendengar Kano berujar sungguh-sungguh, "Jadi, kapan kita bisa mulai memikirkan tanggal, Kina?"

Ah, kenapa begitu tiba-tiba?
Itu tadi pasti hanya bercanda. Benar, kan?

Namun, mengapa ia malah dengan bodohnya percaya?


Indralaya, 5 April 2019
Siti Sonia Aseka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...