Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 16 April 2019

Mahasiswa: Diantara Independensi dan Hak Menyatakan Pilihan

Mahasiswa: Di Antara Independensi Dan Hak Menyatakan Pilihan



Dikutip dari brainly.co.id, independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya, keberadaan kita adalah mandiri, tidak mengusung kepentingan pihak atau organisasi tertentu.

2019 adalah tahun politik, di mana tampuk kekuasaan atau pemerintahan tertinggi republik ini akan dilelang kembali melalui ajang Pemilihan Umum serentak yang akan diselenggarakan pada 17 April mendatang di seluruh pelosok negeri.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa daftar jumlah pemilih tetap di Indonesia pada tahun 2019 adalah sebanyak lebih dari 192 juta jiwa. Angka tersebut meningkat pesat dibandingkan dengan empat tahun lalu. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya pemilih pemula atau pemilih muda (mencapai angka 5 juta pemilih) yang akan ikut berpartisipasi memberikan hak suara mereka pada pesta demokrasi sebentar lagi.

Lantas, di mana peran mahasiswa saat Indonesia tengah riuh oleh narasi serta janji yang dilontarkan oleh para calon pemimpin negeri?

5 juta adalah angka yang tidak main-main. Cukup besar untuk membawa pengaruh terhadap masa depan dan keberlangsungan bangsa Indonesia. Ditambah dengan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya ikut serta dalam menggunakan hak pilih yang membawa dampak baik, melepaskan rantai ketidakpedulian, acuh tak acuh, serta meminimalisir anggapan bahwa golput bukan masalah berarti, bahkan bisa dijadikan solusi atas ketidakpuasan dan kekecewaan ketika ekspektasi terhadap pemimpin tidak memenuhi standar pribadi, secara bertahap dan pasti meningkat tinggi.

Melalui databoks.katadata.co.id, jumlah pemilih yang tidak menggunakan suaranya atau disebut golongan putih (golput) pada 2014, secara nasional rata-rata mencapai 30,8 persen. Provinsi dengan angka golput tertinggi adalah Kepulauan Riau mencapai 40 persen dari total pemilih terdaftar sebanyak 1,39 juta.

See, kita ingin kecolongan lagi?

Mahasiswa sudah seharusnya ambil bagian, menjadi garda terdepan, tidak menyingkir ke tepi, lalu menghilang di balik ketakutan yang menumpuk tak terkendali. Hei, dengar! Menyatakan pilihan adalah hak, begitupula ketika menentukan sikap. Sebagai individu yang bebas dari tekanan serta penuh dengan kesadaran, kita tidak bisa terus bertahan dalam penjara kebisuan, bukan?

Ada apa dengan Mahasiswa sesungguhnya?

Mahasiswa hari ini dibenturkan pada opini bahwa bersuara berarti cerminan, serta menyatakan pendapat dianggap mutlak sebagai sikap meminta bahkan menagih keberpihakan yang sama terhadap barisannya. Padahal, di sisi lain, tugas mahasiswa selain mengkritisi adalah memberi solusi konkret, realistis, cenderung membawa ke arah yang progresif, relevan juga tidak berbatas dinding-dinding pemisah.

Mahasiswa hari ini, diharuskan untuk membuat keputusan, meskipun dalam banyak segi justru harus tetap menegakkan sikap merdeka, netral, tidak seolah berdiri di satu pihak apalagi memperlihatkan karakter memusuhi, menjatuhkan bahkan memberi ultimatum pada pihak lain. Memunculkan narasi-narasi kokoh yang kemudian mampu menggiring seseorang atau kelompok untuk berkaca dan memiliki sikap serupa.

Namun, terlepas dari itu semua, tentang suara mahasiswa yang seakan hilang di tengah kontestasi menuju pesta demokrasi bahkan cenderung sembunyi dan bermain kucing-kucingan, ke mana mahasiswa yang biasanya lantang memberikan ketegasan serta kepastian ketika suaranya dinantikan untuk dijadikan patokan, atau setidaknya rambu-rambu bagi masyarakat untuk menentukan pilihan?

Otomatis publik kehilangan arah secara percuma. Bukan ini yang diharapkan seluruh pihak, tentu saja. Lantas, peran mahasiswa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa juga harusnya tidak ditabukan apalagi dianggap pelanggaran kala menjalankan tugas sebagai agen perubahan, benar?

Masihkah mahasiswa harus membuat blokade terhadap geraknya, ketika bangsa ini bahkan harus mendapatkan hak melangkah maju dan hak menyatakan cinta dengan turut mengusahakan yang terbaik, salah satunya dengan memilihkan pemimpin dengan latar belakang yang mampu diterima dan dapat membawa Indonesia berjuta langkah lebih maju dan tidak lagi dianggap tertinggal bahkan oleh rakyatnya sendiri?

Sudah seharusnya mahasiswa bergabung, padu. Tidak terpecah dan memecah, apalagi tidak merasa perlu untuk menjadi prajurit yang setia terhadap Indonesia. Barisan perjuangan ini terlalu longgar apabila mahasiswa memutuskan untuk mundur. Kontribusi kita terlalu minim apabila hanya berkutat pada remeh-temeh anggapan orang. Mahasiswa tidak perlu takut lagi dicap memihak, karena sesungguhnya keberpihakan adalah sense natural seluruh manusia.

Bukan sebab kita mahasiswa lantas tidak diperbolehkan mengumumkan pilihan. Bukan pula karena kita takut dicap memihak dan dikuasai oleh suatu kelompok lantas kita harus berlepas diri dari segala persiapan Pemilihan Umum ini dan terlena tanpa mengawal apapun serta merasa cukup dengan menjadi penonton.

Mahasiswa tidak lemah begitu, bung!
Mahasiswa punya ciri khas mengamankan dan mengontrol.

Jadi, dengan segala kerendahan hati, mari kita turunkan kadar ego, untuk melambungkan cita-cita bangsa, sekaligus menyuburkan bibit-bibit harapan. Karena kita masih sangat muda di antara jalan panjang, juga amat belia dihadapan bumi yang begitu tua.

Lantas, sudahkah kita menentukan kekhasan apa yang harus pemimpin ideal miliki untuk bersama membangun negeri ini tanpa eleminisasi dan bertengger pada eksklusifitas?

Jajak pendapat yang saya lakukan pada Senin, 15 April 2019 berhasil menjaring lebih dari 20 suara mengenai impian masyarakat terhadap calon pemimpin Indonesia. Banyak di antaranya mengharapkan kehadiran pemimpin yang memiliki aksi, reaksi, pikiran, didasari gagasan yang mumpuni, lantas kemudian saya simpulkan secara sederhana, bahwa masyarakat membutuhkan sosok yang tidak hanya sekedar hebat dalam bingkai, namun memang luar biasa dalam menghasilkan, berkarya serta menciptakan sesuatu yang mampu dinikmati bersama.

Masih ada waktu untuk berpikir matang, masih belum terlambat untuk mengoreksi kembali, dan jelas masih tersedia kesempatan seluas-luasnya kepada siapa saja untuk memilih berdasarkan hati nurani dan didasari oleh ilmu dan pemahaman yang jelas, atas nama Indonesia, negeri dengan kekayaan alam, budaya, tradisi serta kehidupan murni pribumi yang harus terus dijaga, dilestarikan, diperlakukan sedemikian istimewa agar tidak terkikis habis lalu punah.

Akan sangat besar tanggung jawab yang mesti dipikul oleh pemimpin bangsa ini, terlepas dari bagaimana keberlangsungan itu berjalan, kita sebagai bagian dari masyarakat beradab dan bertanggung jawab atas pilihan, harus terus berdiri tegak demi mengoreksi dan menjadi pengingat, tidak berlepas tangan atas pemerintahan dan terus berada di jalur yang benar demi membawa dengan tekad bulat keinginan serta mimpi-mimpi terdalam bangsa Indonesia.

267 juta jiwa yang bernaung di bawah langit negeri ini harus diberi makan, mendapat perlindungan dan diperlakukan dengan sebagaimana mestinya, adil, bijaksana.

9.66 persen angka kemiskinan harus terus diturunkan, meminimalisir tingkat kriminalitas yang disusul oleh angka 6.87 juta jiwa masyarakat tanpa pekerjaan (pengangguran).

Utang luar negeri Indonesia berdasarkan catatan Bank Indonesia pada akhir Februari 2019 adalah sebesar 388,7 miliar dolar AS, naik 4,8 miliar dolar AS, harus dibayarkan! Tidak boleh terus ditumpuk dan membiarkan negeri ini diagadaikan begitu saja, serta dicap kembali sebagai negara gagal!

Ada banyak sekali PR yang harus diselesaikan, bukan? Ada banyak tanggung jawab serta tuntutan kepada siapapun nantinya pemimpin yang akan membawa negeri ini ke arah yang diharapkan lebih baik dan lebih menjanjikan.

Lapangan pekerjaan, pembangunan dan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengawasan serta penjagaan atas kekayaan alam, peningkatan dan pendistribusian sumber daya manusia (SDM) berkualitas, juga pesatnya teknologi yang harus terus dikawal sedemikian intensif.

Sudahkah pemimpin pilihanmu memiliki target mewujudkan segala penyelesaian masalah di atas? Atau hanya sekedar akan diam ketika negerinya dihabisi hingga ke tulang dan lumpuh lalu hancur berantakan?

Menuju PEMILU cerdas, berkualitas dan berdampak. Mari gunakan hak pilih Anda di TPS terdekat pada 17 April 2019 mendatang!

Satu suaramu, lima menit waktunya, mampu mengubah Indonesia.


Siti Sonia Aseka
Palembang, 16 April 2019

Dari Mahasiswa untuk Bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...