Kanvas dengan berbagai gambar, warna dan makna yang dahulu hanya dibiarkan tersusun acak di ruang sempit apartement beberapa kilometer dari ibu kota, barangkali telah menemukan rumah barunya; sebuah galeri seni di sudut kota. Tidak besar namun cukup. Cita-cita seseorang sejak empat-lima tahun lalu, mengelola karya dan mengoleksi memori agar dapat dinikmati siapa saja.
"Apa yang mendasari Anda memilih The Escape sebagai tempat memamerkan beragam lukisan dan beberapa karya seni lain, sementara Montana pada akhir tahun lalu merilis ajakan untuk berkolaborasi dengan Anda dalam launching project The Eve dua pekan mendatang?"
Pria dengan rambut hitam legam bergelombang tertutup flat cap cokelat pudar tersenyum tipis. Ia memalingkan wajah sejenak dari jurnalis tersebut, lantas memandang sebuah simpson apik, satu dari sekian gambar favoritnya.
"Montana adalah seniman hebat. Saya tersanjung atas tawaran berpartisipasi dalam The Eve. Semua orang antusias menanti karya-karyanya tanpa tepi. Saya pun demikian." Pandangannya kembali, senyumnya kian lebar dan ramah. Sorot dari sepasang netra itu sedikit lelah meski tetap bersahabat, bersinar terang.
"Tapi, saya tahu tidak pada tempatnya untuk ikut campur dalam project perdana seseorang. The Escape sudah lebih dari cukup untuk saya huni."
Atas alasan paling logis dalam kepala pria di hadapannya, sang jurnalis mengangguk mengerti. Ia mengajukan beberapa pertanyaan lagi, masih di tengah hiruk pikuk galeri seni, berpindah lambat dari satu lukisan ke lukisan lain, mendengarkan penjelasan seniman muda gemerlap prestasi tanpa bosan dan kecuali.
"Padahal, The Eve adalah batu loncatan yang kemungkinan besar membuat galeri seni Anda mampu dinikmati sampai mancanegara."
Sang seniman memandang dengan raut tak terbaca, matanya mengedip dua kali, terkejut, namun sebisa mungkin tak menampilkan ekspresi terganggu. Pertanyaan klise yang ia dapat sejak berbulan-bulan dari orang-orang terdekat. Harusnya, ia sudah terbiasa.
"Itu memang mimpi saya." Putusnya, yakin. Tak berusaha menutupi nada sarat akan cita. "Tetapi, bukan begitu cara kerjanya. Saya tidak bisa mengandalkan nama besar orang lain hanya demi mengejar ambisi saya sendiri. Semua sukses butuh waktu dan proses yang benar."
"Tetapi Montana adalah guru Anda juga. Publik menanti kalian berdua dalam satu frame yang sama sebagai rekan kerja. Terdengar tak terbantahkan."
Pria tersebut tertawa. Matanya menyipit. Ia bertepuk tangan sekali demi menghabiskan sisa ledakan geli dalam benak.
"Pasti. Suatu hari nanti. Namun, tidak sekarang."
Tidak sekarang. Jadi, kapan?
Jurnalis dengan kacamata cukup tebal itu menurunkan recorder yang sedari tadi ia genggam. Memastikan benda tersebut mati dan menyimpannya dalam tas minimalis sedikit lusuh.
"Kamu selalu mengatakan 'suatu hari nanti' sejak dulu sekali dan tidak pernah membuktikan apapun hingga kini."
"Oh, jadi sesi pura-pura kita sudah selesai?" Ada nada iseng terselip di sana. Terdengar sengaja mengundang jengkel bagi lawan bicara.
"Ayolah." Perempuan dengan peran sebagai jurnalis salah satu media terkemuka negeri ini mengerang pendek. "Kita bertemu kembali setelah bertahun-tahun dan kamu bahkan tidak berniat berterus terang?"
"Aku tidak berbohong."
"Tapi tidak pula begitu jujur. Ada apa denganmu sebenarnya?"
Yang ditanya memiringkan kepala. Tak segera menjawab dan malah sibuk mengamati sekitar. Keadaan makin ramai. Pengunjung bertambah. Ada lega di hati, juga rasa khawatir entah mengapa.
"Bagaimana aku menurutmu?" Sedikit rancu, sang seniman menatap sendu, agak ragu.
"Apa?" Memicing heran, separuh tak percaya, perempuan itu menggeleng singkat. "Kamu pelukis paling dicari belakangan. Juga teman tidak tahu diri yang hilang tanpa kabar."
Pria bertopi tertawa lagi. Kali ini lebih dapat diterima dan manusiawi. Jauh dari sekadar reaksi formalitas.
"Itu yang tengah kuperjuangkan. Sebuah pengakuan atas keberhasilanku membuktikan bahwa aku pantas."
Ada jeda waktu genap dua digit tahun kala kalimat itu berhasil menggugah kesadaran. Bahkan satu sosok mampu berubah sedemikian tak terkira setelah habis dimangsa gamang dan dilema.
"Orang sepertimu membutuhkan validasi eksternal juga? Mengejutkan."
Mengangguk, ia melanjutkan, "Kamu tahu, sejak dulu, aku selalu bertanya-tanya, mengapa aku bisa mencintai seni lebih besar dari keinginanku untuk mengikuti jejak ayah; bergabung dalam dunia bisnis dan politik."
Menyimak, perempuan tersebut tak memotong meski hanya sepatah kata.
"Aku selalu tertarik untuk menekuni bidang yang sama dengan ayah. Terlihat menyenangkan bergelut bersama sibuk dan dokumen menumpuk. Ia terlihat keren di mataku. Tapi kemudian, aku sadar, sekeras apapun berusaha untuk menyenangkan ayah dengan menunjukkan antusiasme terhadap hal yang dilakukannya, semakin aku merasa bahwa aku tidak seharusnya berada di sana. Seperti tersesat."
Ada hening beberapa detik sebelum si pria kembali berkisah, "Kukatakan pada ayah bahwa aku keberatan melanjutkan pendidikan di sekolah bisnis atau mengambil jurusan ilmu politik yang sama dengannya. Dia tidak menentang, namun juga tak semerta menerima. Seperti dugaanku, ia membiarkan kemauan anaknya dengan tetap memberi batas."
"Itu sebabnya kamu memutuskan untuk keluar dari sekolah?"
"Salah satunya, ya. Tetapi, alasan sesungguhnya yang mendasariku untuk berhenti buang-buang waktu di tempat yang tidak akan membawaku ke manapun adalah permintaan ayah sendiri. Dia ingin aku membuktikan sesuatu. Dia ingin memastikan bahwa aku aman di jalan yang kupilih. Menurutku, orangtua manapun di dunia pasti berpikiran serupa; berusaha agar anak-anaknya tumbuh dan hidup dengan layak."
"Seniman, pelukis, bukanlah sesuatu yang menjanjikan bagi ayahmu, ya?"
"Begitulah. Lucu, kan? Satu tahun setelah drop out, aku berhasil bergabung dengan salah satu organisasi seni menjanjikan dalam hal finansial. Itu bukan tujuanku, tentu. Tetapi ayah melihat hal tersebut sebagai pencapaian luar biasa. Itulah mengapa aku bertahan. Meski bagiku, karya tidak hanya bisa dinikmati ketika berhasil memperluas pundi-pundi uang. Setidaknya, aku tahu ayah bangga."
"Ya, aku ingat sejak saat itu namamu dibicarakan kembali di tahun terakhir sekolah menengah. Kamu populer melebihi kapten tim basket dan semacamnya. Padahal, sosokmu lama tak tampak."
Mereka berdua tertawa. Melepaskan sekian tuntutan di masing-masing pundak sebentar saja. Kesempatan semacam ini tidak akan datang dua kali.
"Kamu bahagia dengan pilihanmu?"
"Aku cukup lelah mendapati pertanyaan semacam itu, tetapi… ya. Tentu aku bahagia."
"Tidak menyesal?"
"Kenapa aku harus menyesal?" si pria terbahak, "Aku mungkin bukan orang paling segalanya, tetapi aku merasa cukup dengan apa yang kupunya."
"Kamu terdengar naif sekali."
"Montana juga berkata begitu." Ada nada lebih lembut saat sang pelukis menggumam, "Aku mati-matian lari dari bantuan nama besar ayah bukan karena sombong sebab yakin semua akan berjalan sesuai rencanaku. Aku hanya tidak ingin dianggap benalu. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan tak sedemikian besar kepercayaan publik dan menyamarkan nama belakangku dengan nama panggung baru."
"Kamu menolak Montana karena tak ingin usahamu sia-sia?"
"Tepat. Rasanya percuma bila aku melepaskan diri dari bayang-bayang ayah namun tetap merasa tak terbebani ketika menjadikan tawaran Montana sebagai satu-satunya peluang."
Mereka berdua menepi ke sudut berisi jajaran tembikar. Ragam bentuk unik tak biasa, disertai warna-warna mencolok namun tetap nyaman dipandang.
The Escape. Lelaki tersebut memberi nama demikian bukan tanpa alasan. Galeri seni yang menjadi tujuannya bertahun-tahun. Ajang pembuktian atas pelarian dirinya yang tak main-main. Tempat di mana ia membangun versi terbaik dari diri sendiri. Jauh, amat jauh dari ekspektasi orang-orang.
Dulu, semua mengatakan hidupnya sempurna. Jalan yang disiapkan kedua orangtua untuk ia pijak sampai puncak tak sediakan barang setitik cacat. Ia hanya perlu meniti lebih sabar.
Namun kini, ia tidak lagi dapati pujian-pujian serupa. Melegakan sebab akhirnya, kekaguman orang-orang justru menjelma kalimat tentang betapa berani ia memutuskan pilihan lantas terbuang. Meski ia sendiri tak pernah merasa demikian. Ayahnya bahkan datang saat grand opening ceremony kemarin. Ibunya sama; bertandang sejenak dan memberikan pujian mengenai betapa sang anak lebih dari sekadar berbakat.
Dia baik-baik saja.
Palembang, 26 Mei 2020
Siti Sonia Aseka
Sumber gambar: Twitter dan Weverse
Terinspirasi dari BTS V
He posted these picture yesterday
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
-
Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada mas...
-
Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...
-
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar