Dulu, beberapa kali aku bertanya pada ibu. "Bu, kenapa orang itu tampak tidak menyukaiku?"
Ibu tidak pernah menjawab, atau sebenarnya pernah, tetapi aku lupa. Dan aku faktanya tak pula keberatan. Hal-hal tersebut secara ajaib tidak menggores hatiku, dan sama sekali tak berbekas sebab yang kuingat hanya sosok ibu -tersenyum, setia.
Lantas, aku sampai pada satu konklusi sederhana, "Asal ibu tetap menatapku penuh cinta, aku tak peduli bahkan bila dibenci oleh seisi dunia."
Saat ibu menangkap basah aku menjadi murung selepas bertengkar dengan temanku, Ibu memang tidak serta merta menghibur dengan kalimat-kalimat lembut. Ibu membiarkanku larut dalam perasaan dan memutuskan harus bagaimana dengan caraku.
Kemudian, aku tiba pada usia awal dua puluh. Masih bersama dengan ibu, masih menemukannya di setiap sudut rumah, masih kadang merengek dan meminta ini-itu; "Bu, temani aku tidur malam ini.", "Bu, ayo kita masak makanan kesukaanku!", "Bu, aku akan mencuci piringnya selepas ashar saja. Jangan marahi aku, ya."
Ibu paling benci bila lipatan dagunya kusentuh. Geli, katanya. Tapi aku masih tetap melakukannya. Aku akan menyentuh lipatan di bawah dagu ibu kapan pun ia kelihatan sibuk dengan ponsel dan sejenak mengabaikanku.
Aku nyaris seperempat abad dan masih bersama ibu. Mengeluh, menangis, rewel seperti bayi, tapi ibu tetap di sampingku. Aku bertanya-tanya, pernahkah ibu didera jenuh? Apakah ibu pernah menganggap aku menyebalkan seperti orang lain kala memutuskan berhenti berteman denganku?
Tetapi, aku masih bersama ibu, menemukannya setiap pagi, makan malam dengannya di meja makan, bernyanyi tembang lawas bersamanya sampai kehabisan suara. Aku masih bisa menggenggam tangan ibu yang mulai menua.
Ibu masih ada bersamaku. Rasanya menyenangkan. Rasanya aku selalu tahu kenapa aku harus pulang; sebab ibu tidak beranjak, ibu tak kemana-mana, ibu menungguku tiba dan rebah di sisinya.
Satu-dua kali, kupikir keluasan dunia menggodaku untuk berkelana jauh meninggalkan rumah. Berjalan menyusuri daratan, mengarungi lautan, terbang menaklukkan cakrawala, menyapa ujung horizon bila kuasa. Tetapi, hanya beberapa langkah melewati pintu, aku lantas memikirkan kemungkinan terburuk, "Bagaimana bila ibu takkan ada di mana pun saat aku kembali? Bagaimana bila aku kehilangan semestaku saat sibuk mengejar dunia yang lain? Bagaimana bila aku akan pecah berantakan, tak terselamatkan ketika menghadapi fakta bahwa aku telah berakhir sendiri?"
Ibu adalah cinta sejati. Si dermawan baik hati dalam hal afeksi, saudagar kaya raya tak kenal pamrih.
Ibu adalah syair-syair terindah yang hadir dari langit. Malaikat tak bersayap dengan dekap paling hangat, paling nyaman. Kata-katanya ialah melodi terbaik dari rentang selamanya.
Bu, bahkan selepas kehidupan berakhir, mari berjanji untuk bertemu lagi. Akan kita kenang kisah-kisah bahagia, saling memeluk erat di bawah rindang pohon-pohon surga, disaksikan malaikat berbaris rapi, didoakan tak putus-putus oleh sekumpulan bidadari berwajah menawan.
Ibu masih di sini, tak beranjak meski seinchi.
Palembang, 6 Maret 2021
Siti Sonia Aseka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar