Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Senin, 22 Maret 2021

Defence Mechanism

 

Sosok itu masih sama gelap dan muram, lebih kelam dari malam… persis seperti yang terakhir kali kuingat.


Terkadang, ia menyeringai, menatap lapar, kemudian di waktu lain hanya akan duduk diam di tepian jendela. Memandang langit biru, atau hujan yang betah turun menghantam rumpun melati di pekarangan belakang rumah.


Ia biasa berkeliling, mengamati bingkai-bingkai foto, ikut mendengar lagu-lagu sendu, ada di sampingku membaca ratusan email yang masuk setiap hari.


Saat aku nyaris lelap, dibuai kantuk, ia akan duduk termenung di bibir ranjang, melamun jauh, ikut menyelinap ke balik selimut sembari melantunkan dosa-dosa, angkara yang terpendam, kekecewaan, rasa sakit, hingga luka yang kukira sudah lama mengering. Ia mendikte satu per satu, tanpa kecuali, berulang-ulang, hingga menjelma lullaby yang kerap kunanti sebagai alat menjemput potongan mimpi.


"Menyebalkan bukan?" ujarnya, kalem.


"Siapa?" aku mendongak dari gawai yang kutekuni. Mendapati ia menatap dengan sorot mengejek. "Kau?" aku memandang sinis, lantas menghela napas berat.


Tetapi, alih-alih tersinggung, sosok itu malah terbahak keras, menyeka air mata yang timbul di pelupuk, lalu menyambar. "Yang benar saja," ia diam, aku pun sama. Detak jam dinding menggema di sepenjuru ruangan. Pukul delapan pagi, dan aku belum juga beranjak demi menelan sarapan.


"Kau membencinya?" si kelam menyambung lagi. Masih dengan sorot ingin tahu.


"Siapa, sih?" aku menggertak, jengah.


"Oh, ayolah," ia tersenyum timpang, menaikkan sebelah alis demi memojokkan lawan bicara. "Aku bisa merasakan jantungmu menggila di salam sana. Kau pasti membenci orang itu setengah mati."


Aku tertegun, mendadak lelah.

Kebencian, ya?


Dulu, aku ingat ibu pernah berkata, perasaan tak suka hanya akan menghancurkanmu tanpa sisa, seperti lilin yang membakar dirinya sendiri, serupa. Terang, tak tersentuh, namun mudah padam, mudah… lenyap.


"Wow," sosok tersebut bersiul lirih, tepat di telingaku. "Lihat, orang ini benar-benar tidak sopan. Coba tebak, manusia tidak beradab harusnya diletakkan di mana?"


Aku mengepalkan tangan, mengakibatkan buku jari memutih, menancapkan kuku kuat-kuat hingga menghasilkan bercak darah samar.


Di mana?

Di mana?


Kepalaku pening. Kamarku mendadak gelap. Hujan di luar berubah badai besar yang mendobrak kaca jendela, menerbangkan gorden, membuat ranting pohon mengetuk kedinginan sekaligus kepayahan. Beku.


"Kau harus berhenti berpura-pura." sosok hitam tersebut berjalan pelan, mengitari meja, melompat-lompat riang sesekali. Senyumnya masih merekah sempurna. "Kau jelas tidak baik-baik saja. Orang itu menyakiti hatimu, melukai perasaanmu, berdansa di atas lantai yang terbuat dari sisa-sisa niat baikmu. Kau… sekarat."


Ia berhenti pada satu garis lurus demi menatapku yang bernapas tersendat-sendat.


"Menyedihkan." ia mendengus, keji. "Menjadi orang baik, katamu?" ada tawa sumbang mengudara setelah pertanyaan tersebut masuk secara tajam, melubangi akal sehat. "Dengar, dunia adalah tempat paling menjijikkan yang pernah kutemui. Kau harus paham. Bayi merah nan manis sekali pun punya tendensi menjadi penjahat dua detik setelah ia dilahirkan. Dan kau yang sudah muak menelan kekejaman mereka harusnya tahu, adalah mustahil sekaligus tidak berguna berjuang menjadi malaikat dan berharap dihargai."


Dihargai, katanya?

Aku menggeleng, menepis.


"Kau… menipu dirimu sendiri." sosok yang sudah lama diam kecuali hadir menemani dengan bait-bait lullaby terlihat diliputi angkara dan berantakan.


Memang siapa yang tidak?

Aku juga sama… berantakan. Tidak ada yang baik-baik saja di sini. Tidak pernah ada.


Ingatanku semerta melesat pada pembicaraan diam-diam, ejekan di belakang punggung, penghakiman, tatapan merendahkan, rumor, hingga sabotase yang dulu kerap tandang… masih, masih membayang jelas dan siap menerkam.


"Kau bahkan tak nyata," aku mengubah posisi duduk yang mulai tak nyaman. "Bagaimana bisa kau menyimpulkan keadaanku seolah lebih tahu segalanya ketimbang diriku sendiri?"


"Tidak nyata bukan berarti tak ada." ia menepis. Berjalan mendekati jendela yang terkatup. "Omong-omong, cuacanya cerah sekali."


Aku mengernyit, ngeri. Petir menyambar beberapa sekon kemudian, lantas membuat telapak di bawah sana terlonjak, nyaris memacu langkah bersembunyi di balik tumpukan bantal.


Kami diam untuk beberapa saat sebelum ia kembali berceloteh.


"Menangislah saat kau berduka, tertawalah bila kau bahagia, marahlah ketika keadaan mendesak dan menekanmu, ungkapkan isi hatimu, jangan hanya diam. Berhenti jadi samsak tinju yang siap dipukuli oleh keegoisan orang lain."


Ego, kemarahan.

Aku menemukan diriku mengerut takut. Letih berusaha banyak hanya demi mendapati sejumput pengakuan, getir menyadari bahwa tak pernah ada tempat yang sudi menampung sisi gelapku sementara semua berebut menjadikanku alat hanya karena aku terlihat sempurna.


Dunia ini… menyeramkan. Dan manusia yang menghuninya bahkan melampaui ekspektasiku tentang neraka.


"Aku akan mengatakan sesuatu," katanya, serak, namun tajam. "Aku tidak hadir untuk menyaksikanmu mati pelan-pelan. Aku tidak pula datang untuk membantu. Aku bukan kedua hal itu. Aku adalah apa yang kau tumbuhkan. Kebencian, dendam, amarah, tekad. Aku harusnya menjadi pohon berdaun lebat yang mampu menaungimu."


"Lalu, kenapa kau-"


"Maukah kau mendengarku?" ia memotong, terdengar sebal. "Aku baru saja akan menjadi makhluk bijak, tahu?"


Aku tersenyum tipis, tipis sekali sampai kupikir ia tak dapat menangkapnya.


"Baik, lanjutkan."


"Tetapi, aku malah tumbuh dengan jutaan rasa sakit tiada akhir. Hanya rasa sakit saja. Sederhananya, alih-alih menaungimu, aku malah menjelma sekadar ketakutan dan rasa cemas. Aku tidak bisa menjadi tameng untukmu."


Penjelasan tersebut membeberkan semuanya, bukankah?


"Apa boleh buat?" ia mencibir, "Lain kali, cobalah bawakan semangkuk keberanian yang dibumbui hasrat agar aku bisa bergerak. Agar aku setidaknya berguna. Bukan malah terkurung di sini, menyaksikan kau membentuk koping tak sehat agar dicintai semua orang."


Dicintai dan semua orang. Kata-kata tersebur agaknya tidak cocok berada dalam satu kalimat yang sama, bukan?


"Diperalat, dimanfaatkan, kemudian dibuang saat dirasa tak lagi berharga. Kau bukan sampah. Bukan rongsokan."


"Tetapi memang apa lagi yang bisa kulakukan?" aku mendorong kursi, meletakkan gawai yang menjadi sumber segala masalah ke atas meja belajar, lalu menghampiri ranjang dan rebah begitu saja.


"Aku tidak bisa mengendalikan apa yang orang-orang pikirkan. Aku hanya bisa mengendalikan diriku sendiri. Bersiap dan bersedia menjadi banyak hal sebelum dibuat ibarat bukan apa-apa. Segala sesuatu punya limit."


"Jadi, kau menerimanya? Apa yang kau utarakan tadi secara tersirat adalah sama seperti; untuk apa makan bila akhirnya mati."


Benar. Benar sekali.

Aku menemukan suara berderak patah dari rongga dada. Pemikiran baru terangkut naik, kedalaman samudera tempat setiap kenangan buruk tenggelam utuh bersama bahtera penyelamat agaknya mulai kuragukan kembali.


Benarkah aku sudah menguburnya dengan rapi? Benarkah aku telah benar-benar lupa demi sepercik pengampunan? Benarkah aku sudah benar-benar naik ke atas sekoci dan mencari daratan baru, menyambut jalur berbeda, bertemu peta yang lain, atau masih terapung sampai kehilangan arah, terombang-ambing, nelangsa dan basah kuyup?


Tidak.

Tidak… tentu saja, tidak, kan?


"Tidakkah kau mengerti? Aku adalah kau." sosok itu menatap dingin, kelewat dingin. Mengalahkan rasa beku akibat hujan, membuat lupa pada keras ranting pohon yang mengetuk kaca jendela, membuat abai pada lantai yang berhasil menjadikan telapak menggigil dan lelah.


"Denganku, kau takkan lagi tertindas. Bersamaku, akan kita temukan cara agar manusia berhenti bersikap superior dan mati-matian menyala terang hanya demi membakar dan menghanguskan. Berdua, selalu ada cara yang benar dan segala rasa sakit ini perlahan musnah. Hanya bila kau mengizinkanku tetap tinggal."


Perasaanku berubah sulit. Ada hembusan angin kencang berputar-putar di sepenjuru ruangan. Aneh. Padahal, jendela tertutup rapat. Meski hujan berkelebat bak badai di luar sana, kehangatan absolut harusnya tak lekang apalagi pudar. Kamar ini terisolir. Diriku terisolir.


Sebuah tawaran. Datang tepat ketika aku nyaris pecah berserakan. Apa lagi yang kutunggu? Sebab saat yang sempurna untuk mewujudkan rencana memang tak pernah ada. Cepat atau lambat, semua akan kembali bergerak di luar kendali, aku akan habis dibawa gelombang massa dan hanyut oleh keserakahan.


Dan apa katanya tadi?

Rasa sakit akan musnah?


Benarkah?


"Bagaimana jika aku menolak?"


"Well," ia memandang rumit, bola matanya yang pekat mengamati lekat. Ketenangan ganjil tersebut membuatku bergidik pada beberapa detik kelewat singkat.


"Petarung yang tangkas dengan senang hati mati tanpa penyesalan. Sementara pecundang dalam arena lebih memilih hidup bersama pelarian panjang, tersisih, lalu dilupakan."


"Aku bukan keduanya."


"Maka, pilih salah satu."


Ia tersenyum, aku mendadak didera kantuk. Mataku berat, air mataku turun pelan-pelan. Tergugu dan terantuk realita. Ini bukan mimpi. Aku tidak sedang bermimpi buruk. Memori itu nyata, masa lalu yang sempat kukira telah lesap ternyata masih menggelora dan berkobar. Perasaan ini, keadaan ini, bukanlah bayang-bayang semata.


"Tetap tinggal. Bertumbuhlah." putusku kemudian. Langit-langit kamar semerta redup. Air mataku membasahi bantal dan mengaburkan pelupuk.


"Bila dengan demikian aku bisa menjemput hakku dan berjalan di atas setapak lurus menuju sebenar-benar bahagia, maka, mengapa tidak?"




Palembang, 22 Maret 2021

Siti Sonia Aseka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...