Menjelma musim dingin di hadapan manusia yang mudah beradaptasi, atau parahnya memang hidup di area kutub, tidak akan berdampak apa-apa. Kecuali sekadar mengupgrade efek samping seperti pusing, mual, hidung tersumbat, meriang, dan gatal-gatal menjadi berjuta kali lipat lebih ew.
Itulah tepatnya yang dirasakan oleh Calla sekarang.
"Wah, hujan."
Calla tidak perlu repot menoleh atau merespon pernyataan tidak penting tersebut dengan basa-basi-busuk. Malah dengan secepat kilat tanpa banyak berpikir, ia menempelkan ponsel ke telinga, pura-pura sedang berada dalam panggilan, menghindari obrolan dengan makhluk yang kini hanya berjarak beberapa senti dari tempat si perempuan berdiri.
Kenapa nggak pergi-pergi juga ini orang? Setelah lebih tiga menit berada dalam situasi tidak diharapkan, benak Calla sibuk memprotes, dan kepalanya mulai kehabisan ide.
"Sepertinya ponsel kamu kehabisan daya, deh. Soalnya saya kirim pesan baru saja, cuma centang satu."
Haha…
Hah! Calla terperanjat. Malu, kesal, marah. Kenapa pula diperjelas sih, kan ketahuan kalau sedang bohong! Peka dong kalau orang sedang tidak mau diganggu!
Dengan anggun, Calla menurunkan ponselnya. Menyimpan benda tersebut ke dalam saku jaket, lalu mendengus. Terang-terangan cemberut.
"Kenapa belum pulang?"
Ya menurut nganaaa????
Pelataran gedung enam belas lantai tempat Calla bekerja memang sedang ramai-ramainya. Hujan deras membuat para pegawai terjebak di sana sembari menunggu jemputan.
"Bapak nggak lihat?" Calla menunjuk genangan di hadapan mereka dengan dagu. Sarkas. "Mana ada ojek online mau terima order."
"Oooh… kamu naik ojek? Bakal lama, tuh."
Saya tahu! Rutuk Calla, emosi.
"Bareng saya saja."
"Duh, nggak deh, pak." tolak Calla, sopan. Ia benci jadi bahan ghibah saat makan siang kalau ketahuan pergi dan pulang kantor bareng atasan.
Ya, dengan sangat disesalkan, pagi tadi dia tidak punya pilihan dan sedang buru-buru. Bangun kesiangan karena semalam mati-matian menyelesaikan beberapa series film, ditambah lift apartementnya rusak, lalu aplikasi ojek online yang biasa ia pakai malah minta diperbarui dan butuh waktu lumayan lama.
Sebuah mobil pajero putih melintas tepat saat Calla berlarian mengejar taksi. Pak Nathan, membuka kaca jendela mobil dan memberi tumpangan, gratis, nyaman, dan aman tentu saja. Sekali ini saja, tidak masalah, batin Calla. Bisalah termaafkan. Potong gaji karena terlambat juga tidak terdengat bagus. Pengeluaran tengah banyak-banyaknya.
"Lho, kenapa? Saya tahu letak apartement kamu, tadi kan saya yang antar." Nathan membawa Calla kembali ke waktu saat ini dari kubangan ingatan yang berusaha si perempuan lupakan seharian.
Nggak usah diperjelas, bos!
Calla menggeleng lagi. Kali ini lebih tegas.
"Tidak, pak. Terima kasih."
"Ya sudah, kalau begitu saya tungguin di sini. Siapa tahu kamu berubah pikiran."
Calla melotot. Ia menatap atasannya dengan sepasang mata diisi badai. Ini pak Nathan kesambet apa, sih?
"Nggak perlu, pak. Nggak enak juga dilihat orang." matanya mengedar gelisah. Sedari tadi sudah banyak manusia melirik dan mengamati, penasaran.
"Saya nggak peduli apa kata orang."
Tapi saya peduli!
"Pak," Calla menghela napas, "saya bisa pulang sendiri."
"Ya iya, silakan. Saya kan cuma di sini nungguin kamu sampai dijemput. Clear, kan?"
Lha, kok malah marah-marah?
"Lagian, gimana bisa kamu pesan ojek kalau ponsel kamu saja mati begitu."
WAH BENAR-BENAR!
"Kan ada bapak, saya pinjam saja ponselnya."
"Kalau saya nggak mau?"
Dahi Calla mengernyit. Lalu apa gunanya Anda di sini? Batinnya, nyeyel.
"Ya sudah, saya pinjam ponsel yang lain saja."
Mata Calla mulai menatap satu per satu pegawai di bawah naungan gedung. Ia harap-harap cemas. Berharap seseorang yang cukup ia kenal muncul dan menyelamatkan dirinya dari episode hari buruk. Diikuti begini oleh atasan mulai terasa tidak benar dan membahayakan citranya.
"Saya dari tadi nawarin kamu pulang bareng, lho. Lebih simple ketimbang ke sana-sini demi pesan ojek."
"Saya nggak mau. Kan sudah saya bilang."
Debat begini saja terus sampai subuh!
"Ampun, deh." Nathan mengerang frustasi.
"Kenapa juga bapak merepotkan diri sendiri? Pulang saja, pak. Sudah hampir malam. Besok harus ngantor pagi-pagi, kan?"
"Saya nggak mau. Kan sudah saya bilang."
Lah????
Calla memijat dahinya.
Petir terdengar berdentum saat Calla hendak kembali membuka mulut. Ia mulai kedinginan dan perut meronta keroncongan. Bodohnya tadi dengan sok kuat melewatkan makan siang.
"Ya sudah, ayo."
"Ayo apa, nih?"
"Pulang."
Calla mengalah. Tangannya mempersilakan sang bos berjalan lebih dulu.
"Mobil saya di basement."
"Saya tahu." balas Calla, bersungut-sungut.
"Kamu nggak pernah dengar rumor kalau di basement itu…" alis Nathan naik turun, usil.
"Pak, stop!" Calla mengeratkan jaketnya, manyun. "Jangan cerita yang seram-seram, dong. Ini Kamis!"
"Terus kenapa kalau Kamis?"
"Malam Jumat, pak!"
"Ya kenapa kalau malam Jumat?"
Calla menyipitkan mata, "Pokoknya malam Jumat pamali dengar cerita horror."
"Oh gitu," mereka sudah tiba di basement saat lift berdenting.
"Kamu makanya jalan di samping saya, dong. Jangan di belakang, nanti ditarik…"
"PAK!" Calla buru-buru mensejajarkan langkahnya dengan Nathan, meringis kecil, yang hanya dibalas sebuah tawa keras-keras.
Sial! Maki Calla dalam hati.
Dia kalah lagi.
Palembang, 9 Maret 2021
Siti Sonia Aseka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar