Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 22 April 2021

Konflik Myanmar; Permasalahan Etnik, Bukan Agama


Konflik Myanmar; Permasalahan Etnik, Bukan Agama

Myanmar mengalami guncangan sejak militer mengambil alih kekuasaan pada Senin, 1 Februari 2021 lalu. Dalam kudeta itu, militer menangkap Kanselir Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, dan beberapa tokoh senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dalam sebuah penggerebekan dini hari.

Panglima Tertinggi Tatmadaw (Militer), Jenderal Min Aung Hlaing langsung mengambil alih kekuasaan selama satu tahun dan mengumumkan keadaan darurat. Hal ini dilakukan karena adanya kecurigaan terhadap kecurangan pada Pemilu November 2020 lalu.

Jika boleh saya menyimpulkan, ada benang merah antara konflik di Myanmar (Burma) saat ini dengan issu kemanusiaan dalam hal deskriminasi hingga pembantaian masyarakat minoritas, Rohingya.

1. PBB mengungkapkan bahwa tindakan militer Myanmar merupakan aksi pemberantasan etnik yang melanggar kemanusiaan.
Kenapa Etnik dan bukan Agama? Karena etnis Rohingya sendiri tidak diisi oleh seluruhnya masyarakat Muslim. Ada golongan minoritas beragama Hindu dan Buddha yang juga ikut dibatasi geraknya, sampai menerima pembantaian oleh militer Myanmar.

2. Selama 50 tahun, Myanmar hidup di bawah kekuasaan Militer yang otoriter.
Baru pada tahun 2015 diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) paling demokratis sepanjang sejarah Myanmar dan menghasilkan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara terbanyak hingga 80 persen. Inilah sebab mengapa bertahun-tahun, kekuasaan militer yang mengakar selama 5 dekade tersebut amat sulit dihentikan. Bahkan selama Aung San Suu Kyi menduduki jabatan sebagai pemimpin negara, kekuasaannya dalam mengendalikan militer Myanmar belum bisa dikatakan sempurna. Ini dibuktikan dengan munculnya Aung San Suu Kyi pada sidang Mahkamah Internasional dan dimintai keterangan terkait adanya genosida terhadap etnis minoritas. Aung San Suu Kyi membantah hal tersebut secara tegas. Ada dua kemungkinan mengapa seorang pemimpin negara sekaligus peraih Nobel Perdamaian melakukan hal demikian. Pertama, karena ia tidak ingin kelompok Militer melakukan Kudeta terhadap dirinya dan partainya yang otomatis akan mengancam kedamaian dan kesatuan rakyat Myanmar apabila ia mengakui dan membenarkan adanya genosida. Kedua, Aung San Suu Kyi memiliki pandangan yang sama dengan kelompok militer terkait sikap deskriminatif terhadap etnis Rohingya yang dianggap bukan penduduk asli Myanmar. Yang perlu diingat, di Myanmar sendiri, solidaritas kusukuan amat kuat sementara kecurigaan antaragama masih begitu tinggi.

Etnis Rohingya merupakan penduduk minoritas dan mayoritas beragama Islam yang bermukim di provinsi Arakan, kawasan Barat Laut Myanmar.

Latar belakang deskriminasi terhadap etnis Rohingya tidak hanya berasal dari sentimen agama, namun juga kepentingan politik dan ekonomi.
-Etnis Rohingya memiliki status yang berbeda dibandingkan dengan etnis minoritas lain
-Etnis Rohingya dianggap sebagai imigran gelap dari Bangladesh
-Etnis Burma di Myanmar tidak ingin bersaing dengan Rohingya di bidang perekonomian
-Kecemburuan etnis Rakhine terhadap etnis Rohingya dan lagi-lagi mengutamakan kepentingan kesukuan dibanding kepentingan persatuan bangsa secara utuh.

Pihak Militer Myanmar diduga ikut memprovokasi beberapa etnis Myanmar untuk menyerang Rohingya. Pada tahun 2017, militer Myanmar melakukan upaya pembersihan etnis Rohingya. Dalam peristiwa tersebut, militer Myanmar melakukan tindakan pengusiran paksa etnis Rohingnya dari Myanmar.

3. Setelah konflik meletus pada Februari 2021 hingga hari ini, tercatat puluhan korban jiwa dan ratusan perempuan ditangkap atas keikutsertaan mereka dalam demonstrasi menuntut kembalinya pemerintahan sipil yang berpegang pada demokrasi. Tetapi yang unik adalah, ternyata tidak semua barisan kepolisian dan tentara yang tergabung dalam militer sepakat dengan adanya gerakan kudeta dan sabotase ini. Tercatat beberapa oknum mengundurkan diri dan mengungsi ke bagian negara India hingga negara tetangga lain sebab tidak ingin melawan dan berhadapan langsung dengan rakyat.

Saya menangkap persoalan yang hampir mirip dengan deskriminasi rasial di Indonesia sampai hari ini. Meski tidak seekstrem Myanmar, tetapi mengakui atau tidak, Indonesia dengan ragam suku, agama, dan keyakinan selama bertahun-tahun hidup dalam bingkai yang serupa.

Contoh kasusnya adalah saat kerusuhan Mei 1998, ketika etnis Tionghoa diserang, kaum perempuan dilecehkan, pabrik-pabrik dan usaha yang dimiliki oleh etnis Tionghoa dibakar hingga dijarah isinya. Hal ini membuat etnis Tionghoa terdesak dan memutuskan untuk melarikan diri ke luar negeri.

Padahal etnis Tionghoa diperkirakan datang ke Indonesia sejak masa Dinasti Han (206 SM- 220 SM). Pada saat itu diketahui bahwa Tiongkok telah membuka jalur perdagangan ke Asia Tenggara dan Jawa termasuk Indonesia. Mereka kemudian tinggal di Indonesia untuk berdagang dan menyebarkan agama Buddha. Logikanya, etnis Tionghoa yang melebur dengan kita hari ini sama saja seperti kita, orang Indonesia, lahir di Indonesia, tumbuh dan besar di Indonesia, menggunakan Bahasa Indonesia. Hanya karena nenek moyangnya etnis Tionghoa, lantas mereka dianggap tidak akan pernah boleh menyandang status 'Indonesia'.

Pola pikir bahwa etnis Tionghoa sebagai kelompok yang selalu diuntungkan dan dapat menyaingi masyarakat pribumi dalam aspek ekonomi, sosial, hingga politik, menjadikan kebencian rasial dan sikap tidak ksatria tumbuh subur dalam diri bangsa. Padahal, asumsi tersebut amat tidak berdasar dan tidak bisa dijadikan alasan bagi kita untuk mendiskreditkan etnis Tionghoa hanya karena mereka 'terlihat' lebih maju selangkah. Anggapan semacam itu dapat dipastikan keliru sekaligus harus segera ditanggulangi demi keutuhan dan persatuan bangsa.

Terlepas dari etnis dan agama, sebuah negara lahir karena adanya keinginan untuk berdiri di atas konstitusi dan undang-undang yang jelas, dengan mengedepankan toleransi demi terwujudnya bangsa yang kuat dan kejayaan negara. Apabila kita tidak dapat menyingkirkan perasaan superior dalam diri, maka bukan tidak mungkin di kemudian hari Indonesia akan mengulang sejarah kerusuhan Mei 1998, bahkan lebih parah; mengalami nasib yang sama seperti negara tetangga; Myanmar.


Palembang, 22 April 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...