Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 01 April 2021

Delos & Onyx




Rasanya aneh saat segala sesuatu menjelma repetitif dalam kepalamu. Seperti bunyi ranting patah disertai sepasang tungkai yang menginjaknya, atau ketika sebuah palu diketuk tiga kali, menandakan akhir atas sebuah putusan baru.


Aku tidak mengerti.

Bagaimana denganmu?


Tetapi katanya, kita memang tidak perlu memahami apa-apa. Karena pada petal-petal flamboyan di sepanjang setapak tempat dua suara saling melantunkan syair-syair tentang hidup, ada lentera dari pekarangan sebuah rumah. Sudi menuntun kita tiba, lapang dada menanti celoteh manusia dengan netra diisi badai; melempar tawa meski air mata merebak dengan kepala kacau dipenuhi sekelumit emosi, sebagian besarnya; angkara.


Aku tidak mengerti.

Kau?


Pada suatu pagi aku mengetuk pintu rumahmu, menyusuri trotoar pendek yang basah selepas hujan semalam.

Tidak sampai ketukan ketiga dan engkau muncul dengan wajah kelewat gundah. Umpama monster pemakan mimpi baik telah menyusup di kamarmu, menelan sisa kenangan indah yang mati-matian kau pertahankan dengan sepasang tangan kurus lagi lunglai.


Tetapi aku tidak datang hanya untuk menghibur manusia di tengah gersang harapan. Aku bukan oasis, dan dirimu bukan Sahara yang pernah sedemikian kudamba. Kita hanya dua orang, sempat berada pada satu proses panjang sebelum tiba pada sebuah konklusi sederhana; adalah benar bahwa tidak perlu repot menyusupkan jemari pada telapak masing-masingnya.


Hari beranjak siang namun bulan tetap betah; mengamati terang-terangan, menunggu kita angkat bicara dan kembali jadi rumah untuk hati yang sudah lama hampa. Tetapi, aku menatap sengit, menggertak, membuat awan bergerak cepat menghalangi bulan yang merasa malu pada semesta,

pada kita.


Tidak benar bahwa kusesalkan setiap memori pada bingkai-bingkai foto di dalam rumah. Barangkali kau terlalu malas untuk mengenyahkan presensi senyuman manis kita berdua, atau sekadar lupa bahwa sudah tidak ada lagi yang perlu diingat. Kecuali, bagaimana dirimu sendiri melepaskan satu senyum lega setelah berhasil membuatku merasa terbuang bertahun silam.


Hei, tapi, tidak. Aku tidak datang untuk mengingatkanmu pada dosa-dosa masa lampau, atau bagaimana jalinan kita yang semula merah muda, malah berubah membiru.

Aku sudah berjanji padamu untuk bahagia dan menjadi utuh, aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk berlari sejauh mungkin dari probabilitas menyebalkan tentang kegagalan mempertahankan riak-riak tekad. Sebab itu, kusimpan kenangan yang rutin tandang pada malam-malam kelam, menitipkannya pada lagu-lagu sendu, menangkap satu per satu lalu mengurung mereka pada sebuah kotak usang di sudut paling terpencil.


Hatiku sudah mati. Aku yakin sekali. Bukan karenamu, tentu. Tetapi karena diriku tahu setelah disakiti berkali-kali dan menelan pahit sampai muak, aku tidak juga cukup berani untuk mendepakmu dari daftar prioritas.


Eksistensimu itu mengganggu sekaligus kurindukan, tahu?


Setidaknya, hingga beberapa waktu lalu. Kala pagiku seperti biasa dipenuhi aroma kopi berwarna pekat, langit mendung, serta loper koran yang melempar gulungan kertas sampai membentur pintu. Seseorang datang saat getir merambat cepat, membangunkanku yang tertidur di tengah pesta pora dunia, tersenyum manis melengkapi kopi yang sengaja kuseduh tanpa gula.


Coba katakan, bagaimana mungkin aku tidak menyambutnya dengan tangan terbuka?


Maka hari ini, aku kembali. Menyapamu seringan belasan tahun tertinggal, menganggap seolah tidak pernah ada jejak lumpur di sepanjang pasir pantai tempat kita pernah menata masa depan yang tidak akan pernah jadi nyata.


Lukanya masih ada, berbekas. Basah dan pedih, merah, menganga.


Tetapi, seseorang sudah datang. Tanpa sibuk kutunggu, tanpa repot kunanti. Menawarkan perbaikan  yang tak pernah kupikir ada apalagi perlu.


Berbeda denganmu, ia memberiku tempat tanpa pusing kuminta.


Kali ini, aku mengerti.

Iya, aku benar-benar mengerti.


Seseorang ini, syukurlah, bukan engkau.



Palembang, 31 Maret 2021

Siti Sonia Aseka


1 komentar:

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...