Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Minggu, 26 Desember 2021

Simpul I: Menjawab Tanya Soal 'Mengapa?'


Setidaknya beberapa tahun lalu, sebelum usia menyentuh angka 20, pernikahan selalu jadi kata paling mengerikan. Jauh sebelum itu, justru wacana menikah menjadi sesuatu yang jauh, amat jauh. Spesifikasi usia 'sebelum dua puluh lima' yang dibangun oleh masyarakat, membuat ketakutan dan rasa canggung melompat-lompat meriah dalam benak. Kenapa harus? Mengapa menikah seolah dijadikan taraf pencapaian tertinggi dalam hidup? Dan mengapa saya perlu terjebak dalam gelembung cara berpikir yang salah ini lantas suka tidak suka menerimanya dengan tangan terbuka? Sampai pada kesimpulan bahwa barangkali sepanjang usia, saya siap bila hanya sendiri; tidak memercayakan jiwa dan raga pada seseorang dalam sebuah naungan bernama pernikahan.

Waktu kembali berlalu, saya mendewasa, pikiran tersebut hilang-timbul, tersendat sebab restu. Orangtua mengerutkan dahi sembari napas memburu, bertanya sekaligus menahan emosi, barangkali. "Kenapa harus sendiri bila bisa berdua?"

Pertanyaan yang sungguh sebenarnya bisa saya balikkan menjadi, "Mengapa harus berdua bila bisa sendiri?"

Tetapi tentu, tidak akan habis perkara bila bertarung argumen sementara kita tahu, landasan dalam diri pun belum seberapa kokoh. Kemudian saya diam dan percakapan tersebut menguar, seolah tak pernah terjadi. 

Sampai di usia dua puluh tiga, saat undangan kian banyak, menggunung, terutama jelang akhir tahun. Saat pola pikir saya sepenuhnya berubah dan saya merasa bahwa menutup diri selamanya untuk sebuah gagasan kepemilikan secara utuh bukan lagi prioritas. Saya masih bisa menjadi berbagai bentuk dengan status seorang istri, bahkan ibu. Sudah waktunya saya berdamai dengan krisis kepercayaan yang menghantui bertahun-tahun. Sudah masanya pula saya belajar berbagi secara konstan dan tanpa sudah dengan seseorang, yang dengannya saya kelak menghabiskan sisa usia. Sudah saatnya saya menyempurnakan yang telah genap (sebab saya bukanlah ganjil dan saya percaya, semua orang demikian. Kita tidak timpang).

Saya akhirnya berlapang dada, mendoakan masa depan, dengan siapapun, bagaimanapun, dan kapanpun kedatangan seseorang untuk memberi warna baru dalam hidup; saya pastikan, saya siap.

Waktu berputar lagi, saya berjalan di atas setapak bernama rencana. Sekian gagasan muncul, beberapa kali bertanya pada diri, tak jemu, tak semu, "Betulkah ini yang kau cari, Son?"

Bulan berlalu, kegiatan masih itu-itu saja, orang-orang yang sama, tempat-tempat tak berbeda. Doa-doa saya, belum tampak tanda pengabulannya.

Pada suatu senja mendung, seorang teman bertandang dalam rupa pesan singkat, membawa setumpuk niat baik yang masih saya ingat isinya lekat-lekat, berusaha menjadi jembatan penghubung yang menyongsong dua orang.

Kita adalah rimbun-rimbun akal sehat, tak lupa dilengkapi kebesaran hati seluas dan selapang samudera. Maka dengan pertimbangan yang tak sebentar, melibatkan sekian argumen dan pergulatan dalam diri, melampaui segala egoisme dan harapan-harapan tak perlu, saya membulatkan tekad untuk mencoba.

Manusia sejatinya berada di ruang tunggu. Keniscayaan dalam menanti menjadikan kita tumbuh, lalu segala keindahan perpaduan antara khawatir hingga lega, membuat yang hampa jadi penuh.

Menghitung daun gugur, mereka seberapa banyak hujan turun, lantas mengekor takdir. Langkah seorang lelaki tiba di depan rumah, setelah barangkali sekian tidur tak pulas dan kepala bak pesawat ulang alik. Setelah debat-debat internal di kepala, lelaki itu sampai dengan senyum mekar dan rona wajah ibarat mawar masak.

Dari sekian opsi yang mungkin tersedia, dari beberapa nama yang bisa jadi lebih pantas diseleksi dan dimajukan atas dasar logika, kecondongan ternyata membawa ia bertandang pada siang hari itu, gugup dan kaku.

Mengeja hari demi hari, tiba pada Desember penuh badai, awal bulan tersebut dipenuhi kesibukan dan bayangan soal masa depan. Akad berlangsung, khidmat, haru, dan membahagiakan. Bahwa setelah panjang perjalanan diiringi drama, kesaksian di hadapan langit dan bumi menjadikan tanggung jawab berpindah pada sepasang pundak baru. Peralihan bakti dari ayah kepada suami.

Kami adalah dua orang dengan luka-luka yang bersepakat berdampingan, berdamai, dengan remah-remah masa lalu. Tetapi pernikahan bukan hanya soal hari ini. Pernikahan selalu disesaki oleh visi dan misi, keharusan memegang kompas agar tak kehilangan arah, tentang komunikasi yang baik antara nahkoda dan awak, soal merawat bahtera agar tak rusak dan karam. Pernikahan adalah kemegahan yang bahagianya selalu manusia upayakan.

Dengan proses yang benar, ia berkah. Dengan niat karena Allah, ia berkah. Dengan kerendahan hati dan sebenar-benar penerimaan, ia berkah.

Sebab, tidak ada harapan terbaik selain hanya berharap kepada Allah.

Karena menikah adalah soal memilih, dan kelengkapan kriteria tak semerta dapat kita temukan hanya dalam satu sosok. Maka pilihlah dengan melibatkan Allah, pilihlah ia yang hatimu tenang saat memikirkan masa depan pun membicarakan ragam rencana bersamanya. Pilihlah ia yang tidak akan membuatmu merasa kalah atau payah. Dan bagaimana cara mengetahuinya? You just know. You JUST know.

Sebab manusia lahir dari ekspektasi, berkembang dalam medium tak sederhana, amat wajar apabila kepala menyusun begitu banyak andai-andai. Menerka, cenderung mendikte soal keindahan-keindahan. Namun, apabila boleh memberi saran, pernikahan bukan sarana yang tepat untuk mencari dan memburu macam-macam Utopia. Pernikahan adalah ruang penuh sesak oleh kepentingan sekaligus peristirahatan. Maka sungguh, konflik sampai perbedaan adalah mutlak dan niscaya.

"Berlapang dadalah sebanyak-banyaknya saja."

Palembang, 26 Desember 2021

Siti Sonia Aseka

1 komentar:

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...