Saya menulis ini pada jelang akhir November, sembari berbaring dan sesak sebab ingin menangis.
Pada akhir tahun lalu hingga paruh pertama tahun ini, saya banyak merenung sembari bermain-main. Bekerja dengan limit cukup, bosan, berganti pekerjaan beberapa kali, memulai dari awal lagi, beradaptasi dan bertemu orang-orang baru lagi, larut dalam deadline membunuh, berjalan-jalan, bertemu teman-teman lama, dan menertawakan meme-meme lucu di internet.
Kemudian, selepas Hari Raya Idul Fitri, barangkali sepekan atau dua pekan setelahnya, saya menemani seorang teman menghadiri akad nikah teman kami yang lain. Kehujanan dalam perjalanan, berteduh di pom bensin, bedak luntur, wajah pucat, dan bau apek. Tetapi kami tetap mendapatkan banyak foto dan moment terbaik.
Saya ingat, sembari duduk di halaman rumah mempelai perempuan kala menanti waktu ijab qabul. Suasananya syahdu walau agak mendung, beberapa orang tak terkecuali kami mengobrol dalam intonasi tipis dan bisik-bisik.
Kata orang, permintaan dan harapan yang didoakan beberapa saat sebelum dan sesudah ijab qabul berlangsung akan lebih cepat dikembalikan dalam rupa kenyataan. Karena sebuah persaksian, perpindahan bakti, peralihan tanggung jawab dari seorang bapak kepada putrinya menuju sepasang pundak milik suami, dihadiri oleh malaikat berbaris rapi.
Doa-doa apapun, akan lebih cepat diangkut ke langit karena dibawa oleh lebih banyak perantara.
Saya ingat tidak pernah berdoa luar biasa serius sebelumnya. Atau mungkin pernah, satu dua kali dalam hidup, saat masih begitu muda. Tetapi, hari itu saya berdoa, menundukkan kepala dalam-dalam, hampir menitikkan air mata saat kata SAH membahana. Di kursi sebelah, kawan yang saya temani melakukan hal yang sama. Ya, kami berdoa, berdoa tanpa suara meski barangkali benak berteriak seperti orang gila.
Lalu melompati bulan-bulan setelahnya, saya lagi-lagi terjebak dalam rutinitas yang sama, dalam lingkaran 'hampir' beberapa kali, menatap laptop, menulis ini-itu, menyiapkan presentasi, rapat, menyusun notulensi, menyampaikan ide, lalu kembali menghibur diri dengan internet, menonton dan membaca banyak hal, berkirim pesan dengan beberapa orang, lalu larut lagi dalam pikiran yang itu-itu saja.
Lalu akhirnya, saya menyampaikan kabar baik melalui media sosial dan aplikasi pengantar pesan, sesuatu yang sudah saya rencanakan sekian lama; pernikahan. Ya, saya akan menikah. Akan. Setelah proses panjang yang tidak mudah, melibatkan begitu banyak orang, emosi campur aduk, lalu membulatkan konklusi dengan logika terbaik, bahwa saya siap, bahwa saya mampu, dan bahwa saya akan memenuhi satu sunnah, sebuah anjuran. Bahwa saya, kami, sepakat akan melantunkan sebuah janji yang disaksikan langit dan bumi.
Sebisa mungkin tidak membawa terlalu banyak perasaan. Mengesampingkan semuanya. Cukup dengan sujud-sujud panjang tak berkesudahan, mencari penguatan untuk menjawab cabang-cabang tanya dalam kepala.
Namun, entah, saya selalu punya dua sudut pandang saat berhadapan dengan sebuah situasi. Saya merasa senang, sekaligus terluka. Saya merasa bahagia, sekaligus merana.
Saya mendapatkan sekian doa dari orang-orang baik, ucapan selamat, dan dukungan. Saya menerima sekian nasihat dengan hati terbuka dan tangan merentang. Tetapi, sayang sekali, beberapa orang yang saya harap berada di garis terdepan dalam kebahagiaan itu, ternyata tidak ada di sana untuk menggenggam syukur yang sama.
Dengan satu undangan dan kabar baik, ternyata saya bisa kehilangan beberapa teman, kehilangan sahabat bahkan, kehilangan orang-orang yang bertahun menyusuri jalan yang sama dengan saya.
Rasanya aneh dan getir. Bahwa kemudian hidup memang bergerak menjauhkan dan mendekatkan manusia, memberi pelajaran sekaligus pengajaran, mengantarkan ke satu tempat menuju tempat-tempat lainnya. Tanpa menunggu, tanpa meminta izin lebih dulu. Manusia dipertemukan dan dipisahkan karena takdir yang mengikat, bahkan sebelum bumi diciptakan dan Adam ditiupkan ruh di surga sana.
Barangkali memang sudah masanya manusia berhenti bertemu dan terlibat dengan manusia lain. Sudah saatnya saya berhenti menjadi rimbun yang meneduhkan, atau angin sepoi-sepoi yang menaklukkan dahan pohon. Saya harus berhenti membuka pintu dan perlu menutupnya rapat-rapat.
Karena sudah waktunya membiarkan yang sekadar singgah pergi dan yang menjanjikan sebuah tetap untuk tinggal selamanya. Meski menyakitkan, walau kesiapan itu belum tampak bentuknya, dan tanda-tanda keikhlasan masih jauh panggang dari api. Namun, relasi bukanlah hal sembarangan yang bisa disepelekan hanya karena ketakutan untuk memulai dari nol lagi.
Tepat dan tetap; bagaimana ketentuan-Nya tidak akan berubah hanya karena desakan manusia. Pengaturan-Nya selalu menyelamatkan berbagai situasi, jawaban-Nya tak pernah melenceng jauh dari permintaan dan kehendak hati. Manusialah yang kerap memaksakan kehendak. Manusialah yang selalu merasa berhak menyusun rencana dan berpenghidupan. Manusialah yang seringkali menyulitkan diri sendiri.
Saya paham, bagaimana barangkali duka mendera sanubari orang-orang. Saya mengerti dan coba memahami. Saya peduli dan tak hendak menutup mata atas rasa sakit yang telah manusia alami. Namun rasanya tak adil ketika pada sepetak halaman bernama hidup, beberapa sosok hanya sibuk merayakan luka-lukanya. Memaksa orang-orang menyalakan kembang api atas pesta pora yang mereka sebut merana.
Dengan keengganan itu, saya terluka. Dengan penolakan-penolakan, saya berduka. Dan dengan pilihan menjauh sampai tak hingga hanya demi menyelamatkan perasaan sendiri, buahnya kecewa.
Tetapi kata-kata saja, jelas tidak akan menyelamatkan apa-apa. Saya tahu, saya tidak bisa merekatkan kembali pecahan kaca dan mengembalikannya seperti sedia kala. Kerusakan yang ada, mustahil mampu saya ubah jadi sempurna. Maka, saya berdoa, bagaimanapun dan ke manapun masa depan membawa kita, semoga, tak ada lagi luka-luka yang sama menyerang kalbu sampai hancur nan nelangsa.
Aamiin.
Dipublikasi di:
Palembang, 30 Desember 2021
Siti Sonia Aseka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar