Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 19 Agustus 2015

Almost Enough



Almost Enough
SITI SONIA ASEKA

Adakah kita berhenti pada kelelahan yang sama?
Atau hanya aku yang berlelah sendirian?

            Baru kemarin rasanya Arya datang. Meminta Kirani langsung kepada ayahnya, untuk dijadikan sebagai teman disisa perjalanan usia. Baru kemarin pula, mereka merancang konsep pernikahan. Berapa undangan yang disebar, di mana akad dan resepsi dilangsungkan, busana apa yang mereka kenakan dan lain sebagainya. Tapi, dua hari lalu Arya hilang kontak. Pun begitu Kirani yang tampaknya sama sekali tak merasa khawatir apalagi terganggu. Semua perencanaan yang nyaris matang itu seolah terabaikan beberapa waktu. Semua orang dibuat cemas. Kedua orangtua mereka, keluarga besar hingga teman-teman terdekat. Ini aneh seharusnya. Bagaimana mungkin dua insan yang akan segera terikat tali pernikahan malah menjarak? Seperti tak sedang menyiapkan apa-apa dan membuat segalanya menguar sia-sia.
            Kirani masih dengan sikapnya semula. Ceria, riang dan selalu terlihat bahagia. Bahkan ditengah gejolak yang dapat dirasakan semua orang, ia seolah menutup mata. Apakah mereka lupa bahwa makhluk bernama wanita amat berbakat dalam menyembunyikan luka?

            Sore itu, Kirani duduk di balkon kamarnya. Ia tidak sendiri tentu saja. Disana ada Wina, sahabat baiknya sejak duduk dibangku SMA. Dan selayaknya sahabat, tentu Wina tau apa yang berputar-putar dibenak Kirani tanpa perempuan itu ungkapkan isinya.

“Aku mendengar banyak hal dari ibumu, Ran.” Suara Wina bagai gesekan biola orkestra Eropa. Membuat yang diajak bicara membeku beberapa saat.

“Bagaimana kabar Arya? Persiapan pernikahan kalian aman saja, kan?” perempuan itu mengalihkan pembicaraan. Merutuki dirinya sendiri yang ceroboh dalam memilih kalimat pembuka. Menunggu jawaban Kirani, ia menyeruput teh hangatnya dalam-dalam. Bersiap andai kabar buruk mampir diindera pendengarannya.

“Dia baik. Persiapannya juga lancar.”

            Wina tersenyum kecil, sebenarnya sedang menyiapkan diri. Ia harus mulai darimana? Detik itu, seolah tumpukan abjad tak berarti diotaknya. Frasa apa yang dapat mewakili sebuah pertanyaan yang dipercayakan ibunda Kirani padanya? Sungguh, ia pun sama ingin taunya. Ada apa diantara mereka?

“Ran…” Wina menjeda, ragu-ragu. “Ibumu bilang ada masalah. Mau cerita?” menunggu. Wina menangkap satuan sakit dimata Kirani. Ada yang meredup dan akhirnya mati. Perempuan dihadapannya tersenyum kecut dan itu cukup untuk menyimpulkan sesuatu.

“Win, menurutmu bagaimana jika pernikahan ini dibatalkan? Kira-kira berapa banyak hati yang akan terluka?” Kirani menggenggam gelas tehnya, menerawang. Ada gumpalan emosi yang siap meledak.

“Semua orang berhak memilih, Ran. Kami akan mengerti, sama pengertiannya ketika kamu menerima lamaran Arya dua bulan lalu. Selalu ada alasan dibalik setiap pilihan. Masalah terluka atau tidak, kamu mungkin akan terkejut mengetahui betapa banyak yang kecewa atas pembatalan mendadak ini. Tapi, ketahuilah bahwa dibalik luka pasti ada rencana yang lebih indah.” Wina menyempurnakan kalimatnya dalam suara yang merendah. Membuat Kirani menyusut setitik air mata yang jatuh disudut mata kirinya.

“Arya, dia sepertinya akan menyerah segera.” Mata Wina membelalak. Ada keterkejutan yang amat mencuat disana.

“Mengapa begitu tiba-tiba?”

“Masa lalu itu kembali, Win. Aku mengerti bagaimana peliknya. Aku berpikir untuk mengalah segera. Salahkah? Aku tau Arya mencintai perempuan ini lebih dari yang pernah ia ungkapkan pada kita. Akupun tau bagaimana sulitnya ia bangkit dari kejatuhan.”

            Wina menggigit bibir bawahnya, merasakan getir yang serupa. Ah… masa lalu. Bukankah tempatnya dibelakang? Mengapa harus kembali datang dan meretoki masa depan? Perempuan itu bangkit dari duduknya, memeluk Kirani dalam gerak yang sempurna.

“Apa kau mencintai Arya?” Wina memecah konsentrasi sahabatnya tanpa diduga-duga. “Kau mencintainya, kan?”

“Entahlah. Tapi yang pasti, doa-doaku mengarah pada satu titik. Bahwa aku harus menerima lamarannya waktu itu. Bahwa Tuhan telah menunjuk dia untuk kupilih dan itu saja sebenarnya cukup.”

“Lalu buat apa lagi mengalah? Kau sudah melibatkan Tuhan dalam penentuan ini, Ran. Kamu tega mengkhianati petunjuk-Nya?”

“Tapi, bagaimana jika Arya tak mendapat petunjuk yang sama? Atau yang lebih parah lagi, ada yang salah dalam istikharahku, Win. Bisa jadi, kan?” Kirani mengejar jawab dengan isak yang semakin kencang. Wina termenung beberapa saat.

“Kalau boleh menyalahkan, masa lalu itu yang berhak menerimanya.”

“Tidak ada yang salah dengan cinta. Mungkin Arya bukan orang yang tepat dan ini belum waktuku untuk bahagia. Iya kan, Win?” retorika, Wina tak menanggapi. Ada sesak yang menggelayut didadanya. Ada amarah yang menunggu untuk segera meledak.

“Teruslah berdoa. Semua akan ada waktunya.” Wina mengakhiri percakapan hari itu dengan perasaan menggantung. Belum lega benar sesungguhnya.

***

            Kedua pasang mata itu tak berkedip. Membuat kalimat-kalimat yang bertebaran dikepala melayang-layang entah kemana. Ada rindu yang membuncah dan ada pertanyaan yang menunggu untuk segera memperoleh jawaban. Arya masih berdiri diambang pagar, menanti Kirani membukakan dan menyilahkannya masuk segera, tapi perempuan itu tak juga beranjak dari tempatnya.

“Masuk, Ar.” lelaki itu tersenyum tak enak hati, lalu melangkah masuk setelah Kirani membuka pagar tanpa menatap matanya selama tadi.

“Besok aku mau mengajakmu ke gedung resepsi. Dekorasinya tinggal sedikit lagi.” Kirani terkejut sebenarnya. Jadi, pernikahan ini akan tetap berlanjut? Perempuan itu ingin minta penjelasan. Kemana Arya selama empat hari ini? Dan bagaimana dengan masa lalu…? Sesungguhnya pertanyaan terakhir itu yang benar-benar mengusik sisi ingin tahunya.

“Apa kabar Raline?” kena. Kirani menghela nafas lega setelah pertanyaan itu akhirnya terlontar juga. Ia menangkap raut wajah terganggu dari Arya, namun perempuan itu memilih tak peduli. Bagaimanapun, ia berhak tau.

“Baik saja.” Sebenarnya bukan itu yang kumaksud, Ar.

“Kupikir kamu kesini untuk mengesahkan pembatalan.” Arya menatap perempuan disampingnya tak percaya. Sedangkal itu? Sementara yang ditatap hanya mampu menerawang kedepan. Berusaha fokus walau perasaannya sedang jungkir balik saking takutnya.

“Tidak ada yang akan dibatalkan. Semuanya akan tetap berjalan sesuai rencana.” Kirani tau bagaimana Arya. Bahkan lelaki itu tetap betah dengan ketegasannya, rencana yang telah dibangun sekian lama.

“Entahlah.” Kirani mendesah gusar. “Aku ragu apakah pernikahan ini dapat terus dilangsungkan setelah hari ini.”

            Arya memejamkan mata, memijit dahinya yang tiba-tiba terasa berat. Keyakinannya hanya satu, tetapi yang ia yakini bahkan tak berbalik meyakininya kembali? Ini umpama lelucon baginya, tentu. Hanya karena masa lalu yang pernah menguasai datang lagi, bukan berarti ia dapat menghancurkan masa depan semudah ia pergi dulu. Raline memang sempat menetap dan sebenarnya masih ada disudut terdalam hatinya hingga berbilang bulan lalu. Tapi kini berbeda, kan? Arya tak habis pikir mengapa Kirani sampai meragukan ketulusannya atas ikatan yang sebentar lagi terjalin.

“Hanya karena aku pernah mencintainya, bukan berarti sekarang tetap sama. Tuhan adalah Sang Maha pembolak balik hati, Ran. Sedalam apapun aku mencintainya, tetapi jika Tuhan tak merestui, aku bisa apa?”

“Bukan itu masalahnya.” Kirani sedikit meninggikan nada suara yang sedari tadi berusaha ia tahan. Arya adalah siluet yang diperjelas Tuhan dalam setiap doa dan mimpinya. Tetapi, sekarang seolah siluet itu meredup dan berganti tanda tanya. Masihkah ia? “Aku hanya tak ingin menyakiti orang lain. Bagaimana mungkin aku menutup mata atas perasaanmu? Selalu ada alasan dibalik kepergian dan kembalinya seseorang. Menurutmu, mengapa ia kembali setelah bertahun-tahun melarikan diri? Ia hanya sedang berusaha meraih kembali cintanya. Aku ingin membuat ini menjadi mudah. Dibanding aku, kau tentu lebih memilih dia, benar kan? Seharusnya kau tak perlu lagi memilh, semua sudah jelas. Aku mengerti, Ar. Aku selalu mengerti. Jangan pedulikan perasaanku. Aku baik-baik saja. Aku telah menunggu hari ini sekian lama dan aku tau kaupun melakukan hal serupa. Mungkin waktu itu kita terlalu buru-buru menyimpulkan.”

“Aku tetap pada keputusan awal. Kita akan menikah.” Arya memberikan penekanan yang sempurna pada kalimat itu, menohok perasaan Kirani dalam-dalam. “Aku melihat kita dimasa depan. Satu keyakinan beberapa bulan lalu menuntunku untuk datang kemari, bahwa yang kucari berada disini. Masa lalu akan tetap berada dibelakang. Raline kembali memang untuk bicara denganku. Tapi, kamu harus tau bahwa pembicaraan kami hanya tentang kita. Sekarang mengerti? Jangan muram lagi. Kuatlah dan percaya.”

            Kirani terdiam dalam beberapa menit yang bisu. Waktu tak pernah berkompromi dulu bila ingin berlalu. Ia ingin menangis sebenarnya.

“Lalu, kemana saja kamu empat hari ini?”

“Aku sibuk, Ran. Pekerjaan saling kejar menjelang cuti yang kuajukan. Jangan salah paham lagi. Aku menghilang bukan untuk menemui Raline. Lagipula, ia sudah kembali ke London kemarin.”

“Kamu mengantarnya?”

“Maaf. Tapi ia meminta dengan sangat.”

            Kirani mengangguk kecil, pertanda mengerti. Memang tak mudah melupakan kenangan yang terpaku lama. Paling tidak, Arya telah kembali bersamanya kini. Tak ada yang harus ia khawatirkan lagi.

Setelah peristirahatan ini,
perjalanan akan berlanjut kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...