Almost
Enough
SITI
SONIA ASEKA
Adakah kita berhenti pada kelelahan yang sama?
Atau hanya aku yang berlelah sendirian?
Baru
kemarin rasanya Arya datang. Meminta Kirani langsung kepada ayahnya, untuk
dijadikan sebagai teman disisa perjalanan usia. Baru kemarin pula, mereka
merancang konsep pernikahan. Berapa undangan yang disebar, di mana akad dan
resepsi dilangsungkan, busana apa yang mereka kenakan dan lain sebagainya.
Tapi, dua hari lalu Arya hilang kontak. Pun begitu Kirani yang tampaknya sama
sekali tak merasa khawatir apalagi terganggu. Semua perencanaan yang nyaris
matang itu seolah terabaikan beberapa waktu. Semua orang dibuat cemas. Kedua
orangtua mereka, keluarga besar hingga teman-teman terdekat. Ini aneh
seharusnya. Bagaimana mungkin dua insan yang akan segera terikat tali
pernikahan malah menjarak? Seperti tak sedang menyiapkan apa-apa dan membuat
segalanya menguar sia-sia.
Kirani
masih dengan sikapnya semula. Ceria, riang dan selalu terlihat bahagia. Bahkan
ditengah gejolak yang dapat dirasakan semua orang, ia seolah menutup mata. Apakah mereka lupa bahwa makhluk bernama
wanita amat berbakat dalam menyembunyikan luka?
Sore
itu, Kirani duduk di balkon kamarnya. Ia tidak sendiri tentu saja. Disana ada
Wina, sahabat baiknya sejak duduk dibangku SMA. Dan selayaknya sahabat, tentu
Wina tau apa yang berputar-putar dibenak Kirani tanpa perempuan itu ungkapkan
isinya.
“Aku mendengar banyak hal dari ibumu, Ran.” Suara
Wina bagai gesekan biola orkestra Eropa. Membuat yang diajak bicara membeku
beberapa saat.
“Bagaimana kabar Arya? Persiapan pernikahan kalian
aman saja, kan?” perempuan itu mengalihkan pembicaraan. Merutuki dirinya
sendiri yang ceroboh dalam memilih kalimat pembuka. Menunggu jawaban Kirani, ia
menyeruput teh hangatnya dalam-dalam. Bersiap andai kabar buruk mampir diindera
pendengarannya.
“Dia baik. Persiapannya juga lancar.”
Wina
tersenyum kecil, sebenarnya sedang menyiapkan diri. Ia harus mulai darimana?
Detik itu, seolah tumpukan abjad tak berarti diotaknya. Frasa apa yang dapat
mewakili sebuah pertanyaan yang dipercayakan ibunda Kirani padanya? Sungguh, ia
pun sama ingin taunya. Ada apa diantara mereka?
“Ran…” Wina menjeda, ragu-ragu. “Ibumu bilang ada
masalah. Mau cerita?” menunggu. Wina menangkap satuan sakit dimata Kirani. Ada
yang meredup dan akhirnya mati. Perempuan dihadapannya tersenyum kecut dan itu
cukup untuk menyimpulkan sesuatu.
“Win, menurutmu bagaimana jika pernikahan ini dibatalkan?
Kira-kira berapa banyak hati yang akan terluka?” Kirani menggenggam gelas
tehnya, menerawang. Ada gumpalan emosi yang siap meledak.
“Semua orang berhak memilih, Ran. Kami akan
mengerti, sama pengertiannya ketika kamu menerima lamaran Arya dua bulan lalu.
Selalu ada alasan dibalik setiap pilihan. Masalah terluka atau tidak, kamu
mungkin akan terkejut mengetahui betapa banyak yang kecewa atas pembatalan
mendadak ini. Tapi, ketahuilah bahwa dibalik luka pasti ada rencana yang lebih
indah.” Wina menyempurnakan kalimatnya dalam suara yang merendah. Membuat
Kirani menyusut setitik air mata yang jatuh disudut mata kirinya.
“Arya, dia sepertinya akan menyerah segera.” Mata
Wina membelalak. Ada keterkejutan yang amat mencuat disana.
“Mengapa begitu tiba-tiba?”
“Masa lalu itu kembali, Win. Aku mengerti bagaimana
peliknya. Aku berpikir untuk mengalah segera. Salahkah? Aku tau Arya mencintai
perempuan ini lebih dari yang pernah ia ungkapkan pada kita. Akupun tau bagaimana
sulitnya ia bangkit dari kejatuhan.”
Wina
menggigit bibir bawahnya, merasakan getir yang serupa. Ah… masa lalu. Bukankah
tempatnya dibelakang? Mengapa harus kembali datang dan meretoki masa depan?
Perempuan itu bangkit dari duduknya, memeluk Kirani dalam gerak yang sempurna.
“Apa kau mencintai Arya?” Wina memecah konsentrasi
sahabatnya tanpa diduga-duga. “Kau mencintainya, kan?”
“Entahlah. Tapi yang pasti, doa-doaku mengarah pada
satu titik. Bahwa aku harus menerima lamarannya waktu itu. Bahwa Tuhan telah
menunjuk dia untuk kupilih dan itu saja sebenarnya cukup.”
“Lalu buat apa lagi mengalah? Kau sudah melibatkan
Tuhan dalam penentuan ini, Ran. Kamu tega mengkhianati petunjuk-Nya?”
“Tapi, bagaimana jika Arya tak mendapat petunjuk
yang sama? Atau yang lebih parah lagi, ada yang salah dalam istikharahku, Win.
Bisa jadi, kan?” Kirani mengejar jawab dengan isak yang semakin kencang. Wina
termenung beberapa saat.
“Kalau boleh menyalahkan, masa lalu itu yang berhak
menerimanya.”
“Tidak ada yang salah dengan cinta. Mungkin Arya
bukan orang yang tepat dan ini belum waktuku untuk bahagia. Iya kan, Win?”
retorika, Wina tak menanggapi. Ada sesak yang menggelayut didadanya. Ada amarah
yang menunggu untuk segera meledak.
“Teruslah berdoa. Semua akan ada waktunya.” Wina
mengakhiri percakapan hari itu dengan perasaan menggantung. Belum lega benar
sesungguhnya.
***
Kedua
pasang mata itu tak berkedip. Membuat kalimat-kalimat yang bertebaran dikepala
melayang-layang entah kemana. Ada rindu yang membuncah dan ada pertanyaan yang
menunggu untuk segera memperoleh jawaban. Arya masih berdiri diambang pagar,
menanti Kirani membukakan dan menyilahkannya masuk segera, tapi perempuan itu
tak juga beranjak dari tempatnya.
“Masuk, Ar.” lelaki itu tersenyum tak enak hati,
lalu melangkah masuk setelah Kirani membuka pagar tanpa menatap matanya selama
tadi.
“Besok aku mau mengajakmu ke gedung resepsi.
Dekorasinya tinggal sedikit lagi.” Kirani terkejut sebenarnya. Jadi, pernikahan
ini akan tetap berlanjut? Perempuan itu ingin minta penjelasan. Kemana Arya
selama empat hari ini? Dan bagaimana dengan masa lalu…? Sesungguhnya pertanyaan
terakhir itu yang benar-benar mengusik sisi ingin tahunya.
“Apa kabar Raline?” kena. Kirani menghela nafas lega
setelah pertanyaan itu akhirnya terlontar juga. Ia menangkap raut wajah
terganggu dari Arya, namun perempuan itu memilih tak peduli. Bagaimanapun, ia
berhak tau.
“Baik saja.” Sebenarnya
bukan itu yang kumaksud, Ar.
“Kupikir kamu kesini untuk mengesahkan pembatalan.”
Arya menatap perempuan disampingnya tak percaya. Sedangkal itu? Sementara yang
ditatap hanya mampu menerawang kedepan. Berusaha fokus walau perasaannya sedang
jungkir balik saking takutnya.
“Tidak ada yang akan dibatalkan. Semuanya akan tetap
berjalan sesuai rencana.” Kirani tau bagaimana Arya. Bahkan lelaki itu tetap
betah dengan ketegasannya, rencana yang telah dibangun sekian lama.
“Entahlah.” Kirani mendesah gusar. “Aku ragu apakah
pernikahan ini dapat terus dilangsungkan setelah hari ini.”
Arya
memejamkan mata, memijit dahinya yang tiba-tiba terasa berat. Keyakinannya
hanya satu, tetapi yang ia yakini bahkan tak berbalik meyakininya kembali? Ini
umpama lelucon baginya, tentu. Hanya karena masa lalu yang pernah menguasai
datang lagi, bukan berarti ia dapat menghancurkan masa depan semudah ia pergi
dulu. Raline memang sempat menetap dan sebenarnya masih ada disudut terdalam
hatinya hingga berbilang bulan lalu. Tapi kini berbeda, kan? Arya tak habis
pikir mengapa Kirani sampai meragukan ketulusannya atas ikatan yang sebentar
lagi terjalin.
“Hanya karena aku pernah mencintainya, bukan berarti
sekarang tetap sama. Tuhan adalah Sang Maha pembolak balik hati, Ran. Sedalam
apapun aku mencintainya, tetapi jika Tuhan tak merestui, aku bisa apa?”
“Bukan itu masalahnya.” Kirani sedikit meninggikan
nada suara yang sedari tadi berusaha ia tahan. Arya adalah siluet yang
diperjelas Tuhan dalam setiap doa dan mimpinya. Tetapi, sekarang seolah siluet
itu meredup dan berganti tanda tanya. Masihkah ia? “Aku hanya tak ingin menyakiti
orang lain. Bagaimana mungkin aku menutup mata atas perasaanmu? Selalu ada
alasan dibalik kepergian dan kembalinya seseorang. Menurutmu, mengapa ia
kembali setelah bertahun-tahun melarikan diri? Ia hanya sedang berusaha meraih
kembali cintanya. Aku ingin membuat ini menjadi mudah. Dibanding aku, kau tentu
lebih memilih dia, benar kan? Seharusnya kau tak perlu lagi memilh, semua sudah
jelas. Aku mengerti, Ar. Aku selalu mengerti. Jangan pedulikan perasaanku. Aku
baik-baik saja. Aku telah menunggu hari ini sekian lama dan aku tau kaupun
melakukan hal serupa. Mungkin waktu itu kita terlalu buru-buru menyimpulkan.”
“Aku tetap pada keputusan awal. Kita akan menikah.”
Arya memberikan penekanan yang sempurna pada kalimat itu, menohok perasaan
Kirani dalam-dalam. “Aku melihat kita dimasa depan. Satu keyakinan beberapa
bulan lalu menuntunku untuk datang kemari, bahwa yang kucari berada disini.
Masa lalu akan tetap berada dibelakang. Raline kembali memang untuk bicara
denganku. Tapi, kamu harus tau bahwa pembicaraan kami hanya tentang kita.
Sekarang mengerti? Jangan muram lagi. Kuatlah dan percaya.”
Kirani
terdiam dalam beberapa menit yang bisu. Waktu tak pernah berkompromi dulu bila
ingin berlalu. Ia ingin menangis sebenarnya.
“Lalu, kemana saja kamu empat hari ini?”
“Aku sibuk, Ran. Pekerjaan saling kejar menjelang
cuti yang kuajukan. Jangan salah paham lagi. Aku menghilang bukan untuk menemui
Raline. Lagipula, ia sudah kembali ke London kemarin.”
“Kamu mengantarnya?”
“Maaf. Tapi ia meminta dengan sangat.”
Kirani
mengangguk kecil, pertanda mengerti. Memang tak mudah melupakan kenangan yang
terpaku lama. Paling tidak, Arya telah kembali bersamanya kini. Tak ada yang
harus ia khawatirkan lagi.
Setelah peristirahatan ini,
perjalanan akan berlanjut kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar