A L M O S T
SITI
SONIA ASEKA
“K
|
etika kau tawarkan surga
aku tak
mungkin bisa menolaknya.”
~~~
Sita
memejamkan mata. Menenggelamkan wajah diantara tumpukan bantal diatas ranjang
biru tua. Sudah pukul sembilan lewat, namun gadis itu belum mampu tertidur juga.
Besok adalah harinya. Pernikahan yang sebenarnya tak pernah ia duga. Jangankan
menduga, membayangkannya saja ia tak pernah bisa. Bukan karena Arya adalah pria
yang tak diharapkan. Bukan. Hanya saja, Sita tak pernah mampu menebak masa.
Entah karena tak mampu atau karena tak siap dengan segala jawaban.
Pintu
kamar terbuka. Muncul semburat renta yang kentara. Sita bangkit dari duduknya,
menyambut sang ibu dengan menyunggingkan senyum sewajarnya.
“Belum
tidur?” gadis itu menggeleng kecil. Kemudian berbaring dengan paha ibunya
sebagai bantal yang nyaman.
“Bagaimana
perasaanmu?” Sita menarik kedua sudut bibirnya. Tersenyum segaris jika tak bisa
dibilang menekan perasaan dengan ekspresi.
“Gugup.”
Tandasnya lirih. Jemari lembut itu membelai sayang helai rambutnya.
“Dulu,
ibu juga sepertimu.” Hela nafas yang terdengar ringan. Sita menatap mata
ibunya, kemudian menemukan kebahagiaan yang sungguh jelas terbaca. Karena apa?
Karena anak gadis paling bontot ini akan segera naik pelaminan? Atau karena
sedang mengenang masa lalunya?
Sita
memasang wajah siap mendengarkan. Tanpa gurat lelah setelah seharian berkutat
dengan persiapan yang baginya luar biasa menguras tenaga.
“Tidurlah.”
Sang ibu mengangkat kepala anak gadisnya, bersiap bangkit dan membiarkan Sita
menuruti inginnya.
“Selamat
malam bu.” Sita mengecup singkat pipi ibunya, dibalas dengan senyum damai yang
hangat, lain dari biasa.
Kamar
itu kembali hening. Tinggal Sita yang masih sibuk menentramkan hatinya, mencoba
bergenggaman dengan takdir yang semakin mendekat tanpa dapat ia cegah lebih
dulu. Pikirannya melayang-layang. Memorinya mencoba mengumpulkan butir-butir
kejadian yang memecah belah. Otaknya jatuh pada satu nama; Arya. Pria itu, Sita
membenarkan posisi. Berbaring menghadap ke kanan, seperti yang telah
disunnahkan oleh Rasulnya.
Apa
yang berlangsung tak genap sebulan lalu itu mempengaruhi keseluruhan jalan
hidupnya kini. Ia ingat, ketika itu akhir minggu. Malam telah beranjak naik. Ia
baru saja hendak mengunci seluruh pintu, ketika sebuah mobil tiba di depan
pagar rumahnya.
Ia
segera memanggil sang ayah, mengabarkan bahwa ada tamu yang bertandang. Dengan
melompat-lompat kecil layaknya bocah usia lima tahun, Sita naik keatas menuju
kamarnya. Sama sekali tak mau tau siapa tamu yang baru saja tiba dan sekarang
duduk di ruang tamu.
Ponselnya menjerit singkat.
Sita
beringsut, menyadari betapa jauh memori berputar dan berkawan dengan waktu.
Sudah hampir pukul sepuluh malam.
Aku
yakin, kamu pasti belum tidur.
Gadis itu hampir saja
memekik jika tak ingat bahwa tindakannya bisa membangunkan seisi rumah. Tidak,
ia masih ingin aman hingga esok. Sita gemas. Membalas pesan dengan mata
melotot, tertarik.
Aku
sudah tidur!
Menunggu
dan terus menunggu. Sita tampak ragu. Hampir saja ia melempar benda itu ke
sudut ranjang, bila seseorang yang tengah sama gilanya di seberang sana tak
segera mengetikkan pesan.
Tidur
sambil melotot maksudmu?
Berisik!
Gugup?
Tidak.
Bohong!
Memilih
mengabaikan, gadis itu merebahkan tubuhnya. Bersiap untuk tidur walau matanya
sama sekali belum mengantuk. Tak masalah. Pikir Sita singkat. Bila aku memejam,
pasti akan menyerah dengan sendirinya. Ponselnya memekik lagi, dibarengi dengan
getar yang panjang. Sita tersenyum simpul, masih tak berniat membalas.
Membiarkan seseorang diseberang sana menikmati debar yang sama dengannya. Debar
yang tak bisa terdefinisi apalagi berupa.
Selamat
tidur. Mimpi indah ya… jangan lupa doa.
~~~
Detik-detik.
Sita
duduk di atas ranjang. Kebaya yang ia pakai menambah kesan anggun, umum dengan
mempelai wanita lain. Jemarinya berkeringat, Matanya serupa kaca tipis yang
dapat pecah kapan saja. Sekuat tenaga ia menahan agar tak menangis.
Pintu kamar diketuk tiga kali, kemudian terbuka
sempurna. Itu ibunya.
Sudah saatnya kah?
Sita
berdiri, menggenggam tangan hangat sang ibu yang sejenak dapat merapal banyak
mantera. Tenang dan nyaman. Gadis yang beberapa menit lalu telah menjelma
menjadi seorang wanita itu merasakan wajahnya memanas. Rona yang ia pikir akan
bertahan lama. Lebih lama dari ketika ia bertemu suaminya dalam prosesi lamaran
sebulan lalu.
Itu dia.
Batin
Sita menjerit-jerit. Tak menyangka bahwa yang duduk tegap didepan sana adalah
suaminya, belahan jiwanya. Siapa sangka, bahwa mereka yang dulu hanya sebatas
sahabat sejak kecil dapat menjelma menjadi sahabat seumur hidup, sepanjang
jalan.
~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar