Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 19 Agustus 2015

A L M O S T



A L M O S T
SITI SONIA ASEKA
“K

etika kau tawarkan surga

 aku tak mungkin bisa menolaknya.”

~~~

            Sita memejamkan mata. Menenggelamkan wajah diantara tumpukan bantal diatas ranjang biru tua. Sudah pukul sembilan lewat, namun gadis itu belum mampu tertidur juga. Besok adalah harinya. Pernikahan yang sebenarnya tak pernah ia duga. Jangankan menduga, membayangkannya saja ia tak pernah bisa. Bukan karena Arya adalah pria yang tak diharapkan. Bukan. Hanya saja, Sita tak pernah mampu menebak masa. Entah karena tak mampu atau karena tak siap dengan segala jawaban.

            Pintu kamar terbuka. Muncul semburat renta yang kentara. Sita bangkit dari duduknya, menyambut sang ibu dengan menyunggingkan senyum sewajarnya.

            “Belum tidur?” gadis itu menggeleng kecil. Kemudian berbaring dengan paha ibunya sebagai bantal yang nyaman.
            “Bagaimana perasaanmu?” Sita menarik kedua sudut bibirnya. Tersenyum segaris jika tak bisa dibilang menekan perasaan dengan ekspresi.
            “Gugup.” Tandasnya lirih. Jemari lembut itu membelai sayang helai rambutnya.

            “Dulu, ibu juga sepertimu.” Hela nafas yang terdengar ringan. Sita menatap mata ibunya, kemudian menemukan kebahagiaan yang sungguh jelas terbaca. Karena apa? Karena anak gadis paling bontot ini akan segera naik pelaminan? Atau karena sedang mengenang masa lalunya?

            Sita memasang wajah siap mendengarkan. Tanpa gurat lelah setelah seharian berkutat dengan persiapan yang baginya luar biasa menguras tenaga.

            “Tidurlah.” Sang ibu mengangkat kepala anak gadisnya, bersiap bangkit dan membiarkan Sita menuruti inginnya.
            “Selamat malam bu.” Sita mengecup singkat pipi ibunya, dibalas dengan senyum damai yang hangat, lain dari biasa.

            Kamar itu kembali hening. Tinggal Sita yang masih sibuk menentramkan hatinya, mencoba bergenggaman dengan takdir yang semakin mendekat tanpa dapat ia cegah lebih dulu. Pikirannya melayang-layang. Memorinya mencoba mengumpulkan butir-butir kejadian yang memecah belah. Otaknya jatuh pada satu nama; Arya. Pria itu, Sita membenarkan posisi. Berbaring menghadap ke kanan, seperti yang telah disunnahkan oleh Rasulnya.
            Apa yang berlangsung tak genap sebulan lalu itu mempengaruhi keseluruhan jalan hidupnya kini. Ia ingat, ketika itu akhir minggu. Malam telah beranjak naik. Ia baru saja hendak mengunci seluruh pintu, ketika sebuah mobil tiba di depan pagar rumahnya.
            Ia segera memanggil sang ayah, mengabarkan bahwa ada tamu yang bertandang. Dengan melompat-lompat kecil layaknya bocah usia lima tahun, Sita naik keatas menuju kamarnya. Sama sekali tak mau tau siapa tamu yang baru saja tiba dan sekarang duduk di ruang tamu.

Ponselnya menjerit singkat.

            Sita beringsut, menyadari betapa jauh memori berputar dan berkawan dengan waktu. Sudah hampir pukul sepuluh malam.

Aku yakin, kamu pasti belum tidur.

Gadis itu hampir saja memekik jika tak ingat bahwa tindakannya bisa membangunkan seisi rumah. Tidak, ia masih ingin aman hingga esok. Sita gemas. Membalas pesan dengan mata melotot, tertarik.

Aku sudah tidur!

            Menunggu dan terus menunggu. Sita tampak ragu. Hampir saja ia melempar benda itu ke sudut ranjang, bila seseorang yang tengah sama gilanya di seberang sana tak segera mengetikkan pesan.

Tidur sambil melotot maksudmu?

Berisik!

Gugup?

Tidak.

Bohong!

            Memilih mengabaikan, gadis itu merebahkan tubuhnya. Bersiap untuk tidur walau matanya sama sekali belum mengantuk. Tak masalah. Pikir Sita singkat. Bila aku memejam, pasti akan menyerah dengan sendirinya. Ponselnya memekik lagi, dibarengi dengan getar yang panjang. Sita tersenyum simpul, masih tak berniat membalas. Membiarkan seseorang diseberang sana menikmati debar yang sama dengannya. Debar yang tak bisa terdefinisi apalagi berupa.

Selamat tidur. Mimpi indah ya… jangan lupa doa.

~~~

Detik-detik.

            Sita duduk di atas ranjang. Kebaya yang ia pakai menambah kesan anggun, umum dengan mempelai wanita lain. Jemarinya berkeringat, Matanya serupa kaca tipis yang dapat pecah kapan saja. Sekuat tenaga ia menahan agar tak menangis.

Pintu kamar diketuk tiga kali, kemudian terbuka sempurna. Itu ibunya.

Sudah saatnya kah?

            Sita berdiri, menggenggam tangan hangat sang ibu yang sejenak dapat merapal banyak mantera. Tenang dan nyaman. Gadis yang beberapa menit lalu telah menjelma menjadi seorang wanita itu merasakan wajahnya memanas. Rona yang ia pikir akan bertahan lama. Lebih lama dari ketika ia bertemu suaminya dalam prosesi lamaran sebulan lalu.

Itu dia.

            Batin Sita menjerit-jerit. Tak menyangka bahwa yang duduk tegap didepan sana adalah suaminya, belahan jiwanya. Siapa sangka, bahwa mereka yang dulu hanya sebatas sahabat sejak kecil dapat menjelma menjadi sahabat seumur hidup, sepanjang jalan.

~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...