SEMANGKUK RINDU
SITI
SONIA ASEKA
Tenda
telah diturunkan. Kesibukan didalam rumah besar itu perlahan menghilang
tertelan kepergian satu per satu orang. Malam telah naik disusul luruhnya hujan
tepat selepas maghrib. Ada yang masih betah mengamati sekitar dengan pandangan
kosong, namun pikiran yang berputar-putar. Ada pula yang telah meringkuk
dibawah selimut, pura-pura tertidur karena lelah. Juga seorang yang lain yang
sibuk membenamkan wajah diatas bantal, menangis. Orang-orang itu sesungguhnya
tengah membendung lukanya sendiri. Berusaha berdamai dengan situasi yang tak
mau berkawan hingga kini. Alasan mengapa keramaian yang harusnya berlangsung
selama beberapa hari kedepan terpaksa dibatalkan dan berhenti sampai disini.
Adalah
Nadya, perempuan yang masih belum percaya bahwa satu mimpinya takkan pernah
menjadi nyata sejak hari ini. Pipinya basah. Air matanya seolah berlomba dengan
hujan. Ia tak penah menangis selama ini sama sekali. Tetapi, hari ini
pengecualian. Sekuat apapun, ia tetap seorang wanita. Mungkin ia bisa menutup
telinga untuk setiap bisik-bisik diluar sana. Mungkin pula, ia mampu menahan
emosi yang meletup ketika berhadapan dengan keluarga besarnya. Dan bisa jadi,
mereka hanya sedang menguatkan satu sama lain dengan tetap mengeringkan mata,
menutupi luka.
Nadya
menyalakan ponselnya yang sedari tadi mati. Sengaja dimatikan sebenarnya.
Semata untuk menghindari orang-orang yang bertanya sana-sini. Tentang
keadaannya, tentang rencana pernikahan yang dibatalkan siang tadi. Demi apapun,
Nadya pun sebenarnya tak tau pasti mengapa hal ini dapat terjadi. Satu orang
yang pantas menanggung setiap salah ini ialah Panji. Ya, lelaki itu. Kepala
Nadya mendadak kembali pening. Buru-buru ia bersandar di tepi ranjang,
menghindari jatuh untuk kedua kali.
Nadya
baru saja hendak meraih air putih diatas nakas, ketika ponselnya tiba-tiba
berdering. Malas, gadis itu meraih benda yang baru beberapa saat ia lepas dari
genggaman.
Panji
Mata
Nadya kembali memanas. Nafasnya tercekat beberapa waktu sebelum memutuskan untuk
melempar ponselnya ke lantai, tak peduli. Mulai detik ini, takkan ia biarkan
nama itu mengusik hidupnya. Mulai saat ini, Panji akan ia letakkan dimasa lalu,
di belakang. Selamanya, tak mungkin berhak atas masa depan.
Palembang, 31 Juli 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar