SETITIK
TINTA
SITI
SONIA ASEKA
Aline
berjalan santai. Didepan dadanya ia dekap sebuah kardus berisi kertas-kertas
naskah yang harus segera ia edit dan sempurnakan. Akhir-akhir ini, pekerjaannya
bertambah satu; bolak-balik lantai satu dan tiga demi seorang atasan baru yang
kelewat pintar. Kelewat pintar? Ya.
Saking pintarnya, bahkan hal sepele yang dapat dilakukan oleh pegawai magang
pun harus ia tanyakan. Gadis itu geleng-geleng kepala mengingatnya. Satu
tangannya meraih tombol lift, menunggunya terbuka, kemudian bersenandung
ringan.
“Hai!”
Aline
menoleh sebentar, lalu tersenyum lebar. Disampingnya telah berdiri Reza, teman
sejak kuliah yang sekarang menjadi partner kerja paling ramai seantera
kantornya
“Terlambat lagi?” tebak gadis itu tepat, sementara
yang ditanya hanya nyengir kuda.
“Semalam ada pertandingan bola sih, dini hari.” Reza
meraih kardus ditangan Aline ketika pintu lift terbuka dan mereka berdua masuk
ke dalamnya.
“Masih kebiasaan anak kost banget kamu.” Cibirnya
membuat pria itu terkikik kecil. “Maklum ya, sewaktu kost kan nonton suka nggak
fokus. Keinget paper terus, jadinya ya gitu, hambar.”
“Sekarang balas dendam ceritanya?” retorika, tak
perlu jawaban. Reza mengangguk kecil.
Mereka
sampai. Aline buru-buru melangkah menuju ruang atasannya. Reza mengekor sembari
membalas sapaan yang ditujukan padanya sesekali..
“Pak bos belum datang, Al.” Sarah, sekretaris yang
bertugas mengatur jadwal kerja si bos mengangkat bahu. “Jam berapa bisa ku
temui?” Aline bertanya tak sabar. Wajahnya ia tekuk seribu, manyun.
“Mm… dua jam lagi.” Aline mendengus, tersenyum
masam, kemudian mengucap terima kasih pada Sarah. Satu lagi point kekesalannya
yang bertambah kepada sang atasan baru.
“Ke ruanganku dulu, yuk!” Reza menawarkan, sembari
berjalan tanpa menunggu persetujuan Aline. Gadis itu menurut saja, terlanjur
kehilangan mood.
“Aku sebel deh, Za. Pak bos suka gitu, gak jelas.
Padahal dia yang menyuruhku menemuinya pagi ini.” yang diajak bicara tertawa
geli.
“Pak, tolong bawakan dua cangkir teh ke ruangan
saya, ya?” Aline menolak buru-buru, “Kopi.” Ketusnya singkat. Reza nyengir,
“Satu cangkir teh dan secangkir kopi.”
Pak Anung yang diminta mengangguk patuh, segera
berlalu menuju dapur.
Aline
terduduk lesu. Jemarinya mengotak-atik rubik yang secara tak sengaja ia temukan
menganggur diatas meja Reza. Manyunnya bertambah sesenti.
“Gak usah manyun gitu juga kali, Al.” tegur Reza
yang kini sibuk membuka laptopnya, memeriksa email. Gadis itu meletakkan
kepalanya diatas meja, lalu memejamkan mata.
“Oh, iya. Kamu ingat Vania?”
Aline tampak berpikir, kemudian mengangkat
kepalanya, menggeleng lucu. Reza berdecak kesal.
“Itu loh, anak BEM fakultas kita. Yang dulu
dikejar-kejar Rio sampai takut masuk kuliah.” Aline seketika tertawa. Ia ingat
sekarang.
“Kenapa dia?”
“Mau nikah minggu depan.” Singkat, tak perlu
penjelasan tambahan. Reza nyengir. “Anak angkatan kita udah naik pelaminan
semua. Tinggal kita nih.”
Tawa
Aline berderai. Sebenarnya, progress menikah itu masih satu tahun lagi
untuknya. Tapi, ya. Ia sedikit terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang
kerap datang dari keluarga besarnya. Kapan
nikah?
“Kalau sudah waktunya, pasti datang kok. Banyakin
doa sajalah.” Gadis itu membetulkan jilbab ungunya, ketika pintu diketuk dari
luar.
“Masuk.”
Pak Anung datang dengan nampan cokelatnya.
Meletakkan dua buah cangkir diatas meja. Aline meletakkan kepalanya lagi,
melamun.
“Terima kasih, pak.”
“Nanti sama aku aja, ya?” Reza berujar ketika pak Anung
telah keluar. Aline mengerutkan dahi. “Sama kamu apanya?”
“Nikahnya!” Reza tertawa lebar. Yang digoda
melemparkan gumpalan kertas dan nyaris mengenai kepala pria itu. “Gak lucu
tauk!”
“Maksudku ke nikahannya Vania. Gak usah merah juga
kali mukanya.”
“Reza!”
“Tapi, kalo beneran mau nikah sama aku juga hayuk.”
Aline mencibir, bibirnya manyun lagi. “Nggak ah,
kamu nggak berpotensi membuatku suka.”
“Memangnya harus ya, nikah sama orang yang kamu
suka? Pepatah mengatakan, ‘Mencintai tidak harus memiliki, dan memiliki belum
tentu mencintai.’ Benar?”
Aline mengangguk-angguk lucu. “Menikah dengan yang
kamu cintai adalah jawaban atas doa yang disegerakan. Tetapi, mencintai orang
yang kamu nikahi adalah keharusan, proses memperoleh jawaban. Kurang lebih begitu.”
Reza tersenyum, nampak tertarik, “Bisa jelaskan
dibagian, ‘Mencintai orang yang kamu nikahi adalah keharusan.’ Al?”
Aline menarik nafas dalam, bersiap mengoceh panjang
lebar. “Tidak semua orang diberikan kesempatan untuk menikah dengan orang yang
ia cintai dan juga mencintainya. Karena, bisa jadi orang yang kamu cinta tidak
dapat menggenapkan hidupmu dan kamu tidak dapat menggenapkan hidupnya. Jadi,
ketika menikah dengan yang belum kamu cintai adalah takdir, maka adalah
keharusan untuk mencintainya. Dialah kiriman terbaik dari Tuhan.”
Reza
menyeruput tehnya. Satu pelajaran ia dapatkan lagi hari ini. Sosok di
hadapannya tersenyum seolah menang. “Aku terdengar bijak banget, ya?” pria itu
tergelak tanpa dapat ditahan. Membuat tehnya muncrat ke atas meja.
“Pelan-pelan dong minumnya. Sekagum itukah kamu?”
Aline menyodorkan tissue dari saku rok panjangnya. Mencibir Reza yang tengah
sibuk membersihkan meja dan sudut bibirnya,
“Bijak, tapi nggak nikah-nikah!” balas Reza,
mengakibatkan kepalanya menjadi sasaran lemparan Aline untuk kedua kalinya.
“Kenapa sih semua orang heboh tentang pernikahan?
Orangtuaku, adik-adikku, keluarga besar dan kamu juga ikut-ikutan!”
“Hahaha… itu artinya kamu harus segera bawa calon.”
“Wanita yang baik tidak membawa, tapi didatangi.
Kalau ada yang benar-benar serius, kenapa aku yang harus mengajaknya ke rumah?
Harusnya dia dong yang punya inisiatif.”
Reza mengangguk-angguk
lagi. Gadis dihadapannya ini banyak benarnya, walau suka bertingkah bak anak
kecil dan menyebalkan ketika sedang unmood seperti tadi.
“Kalau aku yang ke rumah, gimana?” Aline mendelik,
manyun lagi. “Mau ngapain?” ketus Aline, galak. “Mau… mau apa ya?” Reza
pura-pura berpikir, menggoda Aline untuk ke sekian kali hari ini.
“Udah ah, Za. Bercanda kamu nggak lucu. Garing!”
“Siapa yang bercanda sih, Al?”
Gadis itu
mengibas-ngibaskan tangan kanannya di udara, meremehkan. Ia melirik arloji di
pergelangan kirinya.
“Sebentar lagi pak bos datang nih. Aku tunggu di
ruangannya aja.” Aline berdiri, meraih kardusnya dan berjalan segera ke arah
pintu. Reza mengekor, membukakan pintu untuk Aline.
“Mm… Al, nanti pulang bareng ya!”
Gadis itu membentuk
lingkaran dengan jempol dan telunjuk kanannya, sembari tetap berjalan. Reza
tersenyum, memandangi punggung itu hingga menghilang dibalik pintu ruangan sang
atasan.
***
“Suruh Reza sama Aline saja. Gak
mungkin juga sebanyak ini mau survey kesana. Bisa-bisa kita diusir!” usulan
ketua forum mengakhiri debat panjang sejak satu jam lalu. “Lagipula, ini cuma
survey kok. Belum wawancara dan sebar angket.”
“Nah,
gitu dong. Dari tadi kek!” suara cempereng dari pojok ruangan mendapat sorakan
keras seisi forum.
“Gimana,
Za? Bisakan? Kamu juga, Al? Bisa?”
Yang ditanya mengangguk. Lalu mulai
membereskan perlengkapan mereka dari atas meja. Resiko jabatan, tidak mungkin
menolak. Satu per satu anggota keluar setelah rapat hari itu resmi di tutup.
Sekre LPM kembali sepi.
“Al,
udah belom? Lamaaaaa!” protes Reza dari arah pintu keluar. Aline
menghentak-hentakkan kakinya, pura-pura kesal. “Sabar dong!”
“Jangan
lupa bawa baterai cadangan, loh. Aku gak mau pakai kamera ponsel lagi. Kesannya
nggak professional.” Reza mengingatkan, melirik Aline yang berjalan beberapa
langkah dibelakangnya.
“Beres!”
“Jangan
lupa pena. Kamu sering banget neglupain yang satu itu.”
“Iya,
siap. Eh, setelah itu kita makan, ya? Lapar nih.” Aline meringis, memegangi
perutnya, memasang tampang komik.
“Oke.”
“Rezaaa…
hai sayaaaaang!”
Langkah
Aline dan Reza terhenti. Sosok gadis manis dengan wajah Melayu bener, muncul di
hadapan mereka. Aline terkikik kecil, mengabaikan tampang Reza yang tampak tak
suka, risih lebih tepatnya.
“Hai.”
singkat, terkesan acuh.
“Mau
kemana? Aku kangen tauk!”
“Mau
jalan. Eh, minggir dong. Buru-buru nih.”
“Jalan
kemana? Sama siapa?”
Reza
berdecak. “Kemana aja.” pria itu melirik Aline.
“Sama
Aline?” mata gadis itu menyipit, ikut melirik ke belakang.
“Hai
Lusi.” yang dilirik menyapa, lalu nyengir tak enak hati.
“Hai.
Mm… oke deh. Jagain Rezaku ya, Al.” Aline tersenyum simpul, menyembunyikan
tawanya yang mungkin bakal muncrat sebentar lagi. “Kecil!”
“Jagain
aja, jangan diambil!”
Reza
dan Aline berpandangan. “Apa sih. Yok, Al. duluan Lus!”
Aline mengekor Reza dengan tawa yang
tidak bisa ditahan lagi. “Pacaran, ya? Kok nggak bilang-bilang? Ku laporin
ketua baru tau rasa!”
“Kenapa?
Cemburu?” Reza mengerling usil. Aline mendengus, memukul bahu pria di depannya
dengan gulungan kertas ditangannya.
“Kamu
bukan tipeku, tauk!”
Reza
tergelak, mengeluarkan motornya dan segera menyuruh Aline naik. Parkiran sepi
penghuni.
***
Reza
bersandar di bagian depan mobilnya. Memainkan ponsel dan membalas beberapa
pesan. Kemeja biru mudanya ia gulung sebatas siku. Senja telah sejak tadi
menggantung.
“Holaaaaa… maaf lama.” Aline mengejutkan Reza
sembari melambai-lambaikan tangan. Sok artis.
“Berkarat nungguin kamu.” Gadis itu ngakak, kemudian
langsung masuk tanpa menunggu Reza yang masih di posisi semula.
“Mau langsung pulang atau jalan dulu nih?” Reza
mendudukkan diri di kursi kemudi, menatap Aline yang menggembungkan pipinya,
berpikir.
“Makaaaaaaaaaan!” sorakan memekakkan telinga. Reza
geleng-geleng kepala. “Udah ketebak.”
“Ada yang titip salam buat kamu, loh.” Aline
terkikik, sementara yang ditertawai tersenyum kecil, tak ingin tau.
“Nggak mau tau siapa orangnya?” merasa gagal, gadis
itu memancing lagi.
“Nggak penting.”
“Aaaaa… pura-pura mau tau aja dong, Za! Mati gaya
nih aku.”
“Hahaha… iya deh. Siapa?”
“Itu loh, si Anna bagian administrasi.”
“Oh….”
“Oh doang?”
“Ya terus mau gimana?”
“Tanya kek berapa umurnya, gimana orangnya.”
“Nggak ah, nggak tertarik.”
Aline
mendengus sebal. Tangannya ia lipat di dada. “Reza nggak asik!”
Pria itu menghentikan
mobilnya ketika lampu lalu lintas berubah merah. “Seperti katamu, kalau
benar-benar serius, ia akan berinisiatif melamar. Dan aku merasa, nggak ada
yang harus diseriusin dengan Anna.”
“Terserah deh.” Aline mengibaskan tangan kanannya di
udara.
“Kamu nggak mau ngasih salam ke aku nih?” Reza mulai
lagi. Aline kembali manyun.
“Assalamuallaikum!”
“Waalaikumsalam, ukhti.” Balas Reza sok manis.
“Hih… sejak kapan suka pake sapaan itu? Yang ikut
komunitas odoj beda ya….” Aline menyindir, sementara Reza kembali menjalankan
mobilnya.
“Ke resepsinya Vania pakai baju samaan yuk. Biar
gempar!” mengganti topik, Reza menatap Aline sekilas.
“Boleh, boleh. Biru bagus lho, atau hijau aja?”
“Biru deh.”
“Tapi, ntar dikira kita udah nikah, gimana?”
“Biarin. Malah bagus, kan?”
“Bagus apanya? Buruk itu mah!”
Reza
memilih tak menanggapi, kemudian buru-buru memarkirkan mobilnya di sebuah
foodcourt.
“Abis makan bisa langsung naik.”
“Ngapain?” selidik Aline curiga.
“Lho, katanya mau pakai baju couple?”
Gadis itu mengangguk-angguk, lalu nyengir kuda.
***
“Kamu makan banyak, tapi nggak
gemuk-gemuk. Bisa gitu, ya?” sindir Reza, setelah dia dan Aline menyelesaikan
survey. Hujan turun deras, membuat mereka cepat-cepat melindungi diri dari
tetes air hujan.
“Biarin.
Banyak yang berusaha keras untuk kurus, aku sih bersyukur.”
Reza
tersenyum, lalu terkikik. Benar juga, pikirnya.
“Kamu
nggak makan?”
“Kenyang
ngeliatin kamu.”
Aline
ngakak, kemudian menyeruput es jeruknya.
“Liat
deh, di luar hujan dan kamu masih minum yang dingin-dingin gitu? Gak tau cuaca
banget sih, Al!” protes Reza, lalu meringis.
“Aku
suka dingin, gimana dong?” yang diprotes membela diri.
Reza
menghela nafas kasar. Begitulah Aline, batinnya. Gadis yang ia kenal sejak dua
tahun lalu. Mereka berada di antrian yang sama ketika hendak mendaftar
organisasi kampus. Si ceria yang di kali pertama dapat membangun banyak
suasana. Aline masih tetap begitu bahkan hingga kini. Tidak berusaha menjaga
image seperti kebanyakan gadis-gadis berjilbab di kampus. Dia terlalu apa
adanya. Mungkin itulah yang membuat mereka bisa dekat. Dan ditahun ini,
kebetulan membuat ia dan gadis itu berada pada devisi yang sama, dengan
kedudukan yang berdekatan.
“Hei, melamun!” Aline menghancurkan
lamunan Reza seketika.
***
“Gimana
dengan yang ini, Al?” Reza mengangkat sebuah long dress di hadapan Aline. gadis
itu menggeleng. “Aku nggak suka yang terlalu ramai, Za.”
Reza mengangguk-angguk kecil, bingung.
“Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?”
Aline menoleh, kemudian tersenyum ramah. “Mm…
kami….”
“Mencari couple dress nih, mbak.” Potong Reza,
ringan. Kedua tangannya ia masukkan ke saku celana. Aline melotot.
Si mbak tersenyum simpul, mengerti.
“Warna biru.” sambung Reza.
“Mari, ikut saya.”
Reza
mengekor Aline. sesekali usil menarik pelan jilbab gadis itu, dan membuat yang
diganggu mendelik kesal.
“Mas dan mbak ini, baru menikah ya?”
“Iya mbak, baru dua bulan.”
Aline tersedak ludahnya sendiri. Menikah? Dua bulan?
“Oh, pantas saja. Saya lihat sedari tadi mesra
sekali. Selamat atas pernikahannya.”
Aline melotot ke belakang, sementara Reza menahan
tawanya kuat-kuat. Takut muncrat. “Terima kasih.” Sahut Reza, tanpa
mempedulikan Aline yang bersiap melempar sepatunya ke kepala pria itu.
***
Aline
manyun. Mendahului Reza masuk ke dalam mobil. Wajahnya tertekuk. Kedua
tangannya ia lipat di dada.
“Maaf deh. Gitu doang kok marah?” Reza masih
cekikikan. Membuat dongkol di hati Aline berlipat-lipat.
“Aku nggak suka menjadikan pernikahan sebagai bahan
candaan, Za.” Gadis itu berujar dingin. Membungkam tawa Reza. Perjalanan
berlangsung dalam diam. Pria itu menarik nafas, lalu melempar pandangan keluar
kaca mobil. Diluar gerimis. Mungkin sebentar lagi hujan.
Mereka
berdua masih betah dalam diam. Tak ada yang berinisiatif memulai pembicaraan.
Sibuk bergelut dengan pikiran masing-masing, tak saling ganggu.
“Aku juga tidak suka bercanda tentang pernikahan,
sebenarnya.” suara Reza terdengar datar, membuat Aline menahan nafasnya, lalu
buru-buru memalingkan wajah ke arah jendela disampingnya.
“Tapi, kamu terlalu jauh. Membumbung tinggi setiap
harinya. Hanya ini cara untuk menarikmu mendekat.”
Hening lagi. Aline
merasakan pipinya basah. Sama basahnya dengan kaca jendela mobil tempat ia
berada saat ini. Reza tak berniat melanjutkan apapun. Memilih diam. Belum saatnya
ia bicara banyak. Hingga mobil berhenti di depan rumah Aline dan gadis itu
melepas sit belt nya, menghela nafas yang tertahan beberapa kali sepanjang
jalan. Air matanya sudah tak terlihat lagi. Reza meraih payung di kursi
belakang, mengulurkan pada gadis disampingnya.
Sebelum
benar-benar keluar, Aline menoleh. Kemudian kembali memalingkan wajah. Ragu
mengatakan sesuatu yang ada diujung lidahnya.
“Kamu tau apa yang
harus kamu lakukan.” gumam gadis itu, sebelum kemudian membuka payung dan
berjalan kearah pagar. Reza terdiam, menatap punggung Aline yang tiba-tiba
begitu rapuh dimatanya. Pria itu tersenyum, lalu kembali melajukan mobilnya di
jalanan yang basah ketika tubuh Aline telah sempurna tertelan pintu rumah.
***
Sekre masih sepi. Hanya ada Reza
yang tengah memeriksa kembali hasil dokumentasi survey perkebunan teh yang ia
dan Aline lakukan kemarin.
Aline!
Pria
itu teringat, kemana gadis itu? Tak biasanya ia terlambat bahkan hingga
setengah jam lebih begini. Reza mengeluarkan ponsel dari saku celananya,
mencari satu nama dan meletakkan benda tersebut di daun telinga.
“Assalamuallaikum.
Al?”
Dahi Reza berkerut. Khawatir
terpancar dari wajah komiknya. Ada yang tidak beres.
“Aline?”
ulang Reza kemudian. Terdengar sahutan dari seberang. pria itu menghela nafas,
lega.
“Kemana
aja? Aku nungguin lho, dari tadi.” Reza sengaja menekankan kata ‘dari tadi’,
menyindir.
“Sakit?”
kali ini Reza tak dapat menyembunyikan kepanikannya lagi. Matanya bersitatap
dengan Malik, sang ketua yang baru tiba.
“Aku
kesana ya?”
….
“Ada
kak Malik.” Yang namanya disebut, menoleh bingung. Matanya seolah bertanya,
‘Ada apa?’
….
“Udah
deh, jangan banyak protes. Aku kesana sekarang!”
Reza
buru-buru memutus telepon, menatap penuh harap pada Malik. Yang ditatap,
mengerutkan dahi, curiga.
“Kak,
pimpin rapat, ya?”
“Lha,
kok aku? Yang survey kan kamu dan Aline.”
“Aline
sakit. Aku mau ke kostnya sekarang.”
Malik
geleng-geleng kepala. “Ninggalin rapat, demi seorang Talina Assyifa nih,
ceritanya?”
Reza
nyengir kuda. “Apaan sih. Aku duluan ya! Makasih kak, I love you full!”
Beberapa
anggota yang kebetulan telah datang menatap Reza, geli. Sementara Malik menepuk
jidatnya kuat-kuat. Resiko punya adik tingkat yang kadar kewarasannya tidak
stabil seperti Reza memang butuh kesabaran ekstra.
***
“Aku
sudah di depan nih!” Reza bersuara pada ponselnya, kemudian menunggu seseorang
keluar dan membukakan pintu. Pria itu menenteng dua buah plastik putih berbeda
ukuran yang berisi obat flu dan demam, serta buah-buahan.
Aline keluar. Wajahnya pucat,
seperti yang telah Reza duga. “Masuk, Za.” Aline sekali lagi menutupi hidungnya
dengan selembar tissue.
“Pusing?”
Reza bertanya bodoh, dan Aline seperti biasa. mendengus lalu mengangguk.
Bapak
kost yang sedang menyirami tanaman menyapa Reza sejenak, ramah seperti biasa.
Mereka sudah saling kenal karena Reza sering main kesini, mengantarkan
tugas-tugas lembaga Aline ketika gadis itu tidak sempat mengikuti rapat.
Aline
menyandarkan kepalanya di puncak punggung kursi, mendongak. Menahan cairan
hidungnya agar tak keluar. Mata gadis itu terpejam.
“Nih,
aku bawain obat dan buah-buahan.” Reza meletakkan bawaannya diatas meja teras.
sementara Aline mengangguk kecil.
“Sudah
sarapan? Tidur cukup?”
Aline mengangguk dua kali menjawab
pertanyaan beruntun dari Reza.
“Ya
ulangi aja. Pas hujan minum yang dingin-dingin.” Pria itu menyindir, yang
dibalas dengan senyum lemah di wajah Aline.
“Ntar
diulangi lagi kok.” ujar gadis itu, membuat Reza mendelik sebal.
“Awas
aja. kalo sakit lagi, ntar ku foto terus masukin mading, biar satu fakultas
tau. Talina Assyifa sakit karena minum yang dingin-dingin pas hujan!” pria itu
menggebu-gebu, membuat Aline tergelak. “Judulnya panjang amat.”
“Biarin!”
“Jarang-jarang
kan aku liat mukamu yang khawatir banget kayak gitu. Harusnya dari dulu aja aku
sakit.” canda Aline. Reza manyun.
***
Hari
minggu yang cerah. Aline berlari-lari kecil mengitari kompleks perumahan. Pagi
masih sepi, sehingga ia dengan leluasa menghirup udara segar. Dua putaran, dan
gadis itu memutuskan untuk berjalan santai saja di putaran ketiga untuk kembali
ke rumahnya. Tanda-tanda adanya aktivitas belum begitu kentara, hanya beberapa
kali ia berpapasan dengan asistent rumah tangga tetangganya yang hendak pergi
ke pasar. Membalas sapaan mereka dan melanjutkan kegiatannya.
Sebuah
mobil yang ia kenali terparkir di depan pagar rumahnya. Jantung Aline berdetak
cepat. keringat di pelipisnya bertambah banyak, gugup. Ingin rasanya ia memutar
tubuhnya dan melarikan diri seharian, hingga sang tamu pulang dan ia akan aman.
Tapi, tentu itu hanya ada dalam khayalnya. Tak mungkin seorang Aline melarikan
diri hanya karena seorang tamu. Seorang
tamu?
“Assalamuallaikum….” Gadis itu mengatur suaranya
agar tak terdengar gugup. Memasang ekspresi ceria seperti biasa.
“Waalaikumsalam.” Beberapa suara yang ia kenali. Ya,
ia yakin ia mengenali semuanya. Aline melangkahkan kaki, kemudian menahan nafas
selama beberapa detik demi melihat sesosok tubuh yang familiar dimatanya.
“Reza….”
***
FIN~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar