Distro makanan cepat saji dekat kampus yang dilaunching dua hari lalu masih lumayan ramai. Maklum, potongan harganya sampai tujuh puluh persen. Worth it pula dengan cita rasa dan WiFi kencang, cocok mahasiswa ambis yang tiap hari kerjanya bikin tugas, atau buat mahasiswa semester santai yang doyan download drama Korea bercucuran air mata.
Itulah pula kenapa Kinan nyasar ke sini. Tentu tidak sendiri. Di hadapannya sudah duduk manis perempuan berjilbab pastel yang pekan lalu baru saja dipinang dengan bismillah seperti judul sinetron yang ngetop beberapa tahun lalu, bikin baper. Kinan dapat traktiran khusus yang buat dia bahagia setengah mampus. Katanya imbalan tutup mulut, sebab sukses tidak membocorkan proses menuju pernikahan salah satu asisten lab kesayangannya yang juga alumni Universitas mereka.
Sebagai mahasiswa semester akhir yang aktivitasnya sekedar bertemu dosen dan revisi, Kinan sih oke-oke saja diajak bertemu mendadak. Apalagi tawarannya gratisan, secepat kilat dia bersiap meski baru tidak sampai setengah jam menerima proposal dalam keadaan penuh coretan. Ya sudahlah, pikirnya. Mau rebahan dulu, siapa tahu bangun tidur langsung wisuda. Ngawur!
"Sehat kamu? Masih doyan oppa-oppa, nggak? Ini aku selamatkan nih dari Waktu Jomblo Bagian Bucin, daripada kamu teriak heboh di kost karena nonton si Jungkook-Jungkook itu. Makasihlah sini, jangan pelit."
Kinan terbahak, nyaris tersedak green tea latte yang baru diseruput masuk kerongkongan.
"Tahu aja mereka baru comeback dan MV barunya keluar tengah malam tadi. Capek streaming, proposalku habis dicoret pula, katanya banyak kesalahan penulisan. Bodo amat, deh. Jungkook membuat bening otakku yang lagi butek."
Kinan tertawa kecil, menyesali kebodohannya sok-sok siap bimbingan padahal revisi dua pekan lalu saja masih dibiarkan teronggok tanpa minat disentuh.
"Mbak Hana sendiri beneran nih? Nggak sama mas Faridz?"
Kinan celingak-celinguk. Kali-kali matanya siwer dan tidak sadar sedari tadi ada sosok tidak asing yang mojok sambil ngopi, nungguin istrinya nongki.
"Ya nggaklah, dia kerja. Yakali berdua mulu, lebay."
"Kan musimnya begitu. Baru nikah, foto mesra di sosmed bertebaran, profil akun berubah jadi foto cincin dan buku nikah, ke mana-mana pegangan tangan kayak truk gandeng."
Hana jelas-jelas tertawa lebar. Membenarkan dalam benak. Iya, dulu saat dirinya belum menikah, banyak sekali dia saksikan fenomena seperti itu. Jadi seperti kebiasaan. Segalanya dilakukan berdua, diposting, entah apa tujuannya. Sampai dia sendiri bertanya-tanya, apa nanti setelah menikah, dia akan tertular virus itu juga?
"Kamu bisa mengecualikan kami kok, Nan. Nggak ada deh itu posting-posting foto berdua mulu di akun personal pula. Capek, emang ngarep apa coba? Didoain netizen? Ya Alhamdulillah deh kalo memang benar. Tapi, kan, banyaknya malah orang-orang risih, termasuk kamu salah satunya, kan?"
Kinan mengangguk. Mau menyahut namun tertahan oleh nampan makanan yang melayang dihadapannya. Harum kentang goreng bikin selera makan meningkat pesat.
"Bagus deh kalau logika Mbak masih sehat. Akhirnya ada sepasang manusia yang nggak latah ngikutin trend macam itu."
"Lagian nih ya, kadang kita pikir membagikan kebahagiaan di sosial media atau di hadapan orang-orang adalah sesuatu yang bisa memotivasi dan membuat yang melihat turut merasakan bahagia. But, the fact is not. Kadang memang kebahagiaan itu cukup kita sendiri yang simpan, nggak perlulah seisi dunia ini ikut mengakui kebahagiaan kita, apa pentingnya coba?"
Kinan sepakat. Jemarinya mencomot kentang goreng dan mulai mengunyah.
"Yang berlebihan dan terlalu meledak-ledak memang nggak pernah baik sih, Mbak."
"Yup, seratus. Seperlunya aja, secukupnya. Suami-istri juga tidak berarti kita harus benar-benar selalu masuk ke kehidupan salah satunya. Aku punya kegiatanku sendiri, mas Faridz juga. Kami saling menyemangati, mensupport, tapi tidak akan terjun terlalu jauh sampai cenderung ikut campur. Ya simplenya, itu memang prinsip yang kami pegang; we own each other in heart not only hands."
"Ah, bijak banget sih istri orang satu iniii…."
"Alah, jijik, Nan. Hush, jauh-jauh sana."
Hana mengernyit, geleng-geleng kepala menyaksikan keajaiban adik tingkatnya yang suka tak terduga ini.
"Tapi ya, Mbak, salut banget aku sama orang-orang yang menahan euforianya tanpa kelepasan membagikan ke publik. Like, dude… di mana coba ada yang begitu di zaman begini?"
"Balik lagi ke prinsip tapi sebenarnya. Kamu menikah buat apa? Atau yang sederhana nih, foto kelulusanmu nanti. Kamu posting itu di medsos, dilihat semua followers, lalu kolom komentar penuh ucapan selamat. Kamu senang, jelas. Tapi, barangkali ada yang sesak hatinya melihat foto kamu, bertanya-tanya kapan gilirannya, kapan dia ada di posisi yang sama, mengenakan toga, tersenyum sempurna dengan berbagai hadiah dalam pelukan? Well, itu hak kamu sih untuk membagikan, hitung-hitung juga ucapan terima kasih ke orangtua yang sudah mengucurkan beasiswa mereka buat anak bandel kayak kamu gini. Tapi nggak perlu juga fotonya diposting berkali-kali atau nyaris setiap hari sampai bikin keki."
Kinan bertepuk tangan umpama badut ulang tahun sembari ngakak saking gelinya.
"Iya mbak, iyaaa.. nanti kuposting foto wisuda sekali ajaaa, nggak banyak-banyak. Tapi sekali posting sampai ngalahin slideshow sidang skripsi. Hahaha…."
Hana menggeplak lengan Kinan, gemas. Ini bocah satu kalau ngomong main-main sukanya diseriusin, soalnya.
"Aduh, sakit tahu, mbak. Canda ajaaa… serius amat, elah."
"Udahlah, jadi bahas beginian kita. Pulang dari sini langsung revisi kamu, jangan rebahan lagi. Kasian dianggurin begitu, mumpung anget. Biar besok bisa bimbingan lagi. Biar cepet itu toga dijemput, nggak masuk dalam mimpi doang."
Kinan meringis miris. Tahu aja ini Mbak Hana, pikirnya. Niat hibernasi mendadak lenyap kalau sudah ditampar dengan kata-kata begini.
"Iya mbak, iyaaa. Nanti kucicil revisinya. Pokoknya wisudaku Mbak harus datang, ya. Jangan sok sibuk."
"Halah, masih lama juga kalau kerjamu macet-macetan begini. Keburu nanti dibalap adik tingkat, tahu rasa."
Kinan nyengir tak enak hati. Diam-diam bertekad menyudahi segala drama skripsinya yang mengalahkan episode serial Bollywood favorit ibu di rumah.
"Tengah tahun ini fix lho, mbak. Makanya doain banyak-banyak, sampai semesta muak dan pilih mengabulkan."
Hana terkikik, "Sok puitis kamu."
Kinan manyun. Begini ini, nih kalau berhadapan dengan yang sudah sering makan gombalan. Nggak mempan lagi!
"Ashar di masjid kampus aja ya, Nan. Terus nanti kuanter kamu pulang ke kost. Masih nggak bawa motor, kan? Beraniinlah, dek. Kapan lagi. Ya kalau ojol selamanya ada. Kita kan nggak tahu, nanti bisa jadi segala macam yang online-online itu dihapuskan, bisa stress kamu susah keluar rumah. Mau minta antar-jemput siapa?"
"Ish, bawel beud dah mbak. Iya, iya. Ini lagi belajar. Sekarang jarak berkendara yang pendek-pendek aja, jauh-jauh belum punya nyali."
Hana mencibir.
Kinan inilah adik tingkatnya yang bandel sekali dan susah dibilangin. Dengar nasihat kayak makan kerupuk, lewat saja.
"Kuy, otw sekarang mbak."
Kinan menatap piring ayam gepreknya yang sudah kosong melompong. Menyeruput sampai tandas green tea latte yang sudah banyak kehilangan embun.
"Mbak jangan sombong-sombong, yaaa…. Jangan susah diajak ketemu pokoknya."
Hana menggerutu kecil, beralih menuju kasir untuk membayar pesanan dan membiarkan Kinan di belakang sana mengekori kayak anak sapi terhadap induknya.
"Dasar bocah."
Palembang, 5 Maret 2020
Siti Sonia Aseka
Kamis, 05 Maret 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
-
Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada mas...
-
Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...
-
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar