Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 03 Maret 2020

The Truth Untold

Hai, kita tidak bertemu lagi, tetapi aku barangkali dirasuki sesuatu sampai memikirkanmu, meski harusnya tak perlu tumbuhkan nyali untuk sekedar ziarahi masa lalu.



Kau masih sama.

Bicaramu besar, ambisimu, ide gilamu, candaanmu yang terkesan tepat sasaran, apalagi ucapanmu tentang rindu. Nah, yang satu itu sama sekali tidak berubah sejak dulu.

Tetapi, aku tentu bukan seseorang yang bisa kau raih hanya kala butuh, atau saat mendadak kau ingin tahu apakah aku masih simpan cerita-cerita tentang betapa kita pernah saling berbagi sisi manis sebelum juga saling melupakan.

Kau pergi pada malam itu bersama ungkapan cinta dan aku tahu, berakhir sudah jadi takdir; aku harus anggap selesai saat kau mulai bangun kisah yang baru, bersama orang lain, tentu.

Hei, aku tidak katakan kau jahat.
Sama sekali tidak, dan barangkali memang tidak akan pernah.

Saat itu, aku hanya kesulitan sebab tak biasa sendiri, tak akrab dengan kekosongan dan memang tidak siap dengan hampa yang kau suguhkan tanpa tedeng aling.
Aku hanya kebingungan harus bagaimana dan kebetulan, satu pintu terbuka lantas kuputuskan masuk tanpa banyak berpikir.

Sesederhana itu.
Baiknya, waktu juga membawa kita berjalan jauh tanpa perlu repot menoleh.

Kala itu, aku sedikit ingin kau datang.
Sedikit saja.

Demi jelaskan mengapa dan selesaikan, sebab masih banyak yang tersisa di belakang.
Kau harusnya mengerti, aku tak bisa tinggalkan tempat itu sebelum kau angkut barang-barangmu, lalu biarkan aku putuskan untuk tetap tinggal atau turut pergi menyusulmu.
Kau mestinya paham, aku cukup punya tanggung jawab sebab ikut membangun harapan atas masa depan yang kau gadang-gadang diwariskan semesta kepada kita, walau nyatanya tidak dan memang mustahil kejadian.

Tetapi, kau memang tak berniat melakukan apa-apa.
Entah karena telah muak, atau memang pada dasarnya hanya aku yang berpikir kita belum utuh usai.

Aku agak marah, ingin membenci, dan jelas kecewa.
Aku pernah terluka, pernah disakiti, pernah berdarah-darah, ialah saat kau hadir di sana menyaksikan, lantas menawari sebuah atap tanpa dinding.
Katamu, nanti kita susun bersama, nanti berupaya bersama.
Tetapi lagi-lagi, semua memang tinggal kenang dan aku sedikit merasa; kita lebih baik tidak usah sok hebat lantas beralasan mampu saling menyembuhkan.

Butuh beberapa waktu bagiku untuk merasa baik-baik saja.
Butuh setidaknya semua hal baru jauh darimu, jauh dari keping yang buat kita kembali terhubung, jauh dan benar-benar jauh.

Aku sibuk dan itu membantu.
Aku lelah dan itu juga pertolongan menyenangkan.
Aku begitu banyak berpikir sampai sengaja tak sisakan ruang demi menangisi yang sudah lalu.
Aku berjanji untuk melepaskan dan melangkah ringan, seperti kala kau minggat dariku, seolah kita tidak pernah ada, seolah segalanya memang hanya mimpi yang hilang kala kau bangun lalu melebur bersama udara.
Semudah itu.

Akhir-akhir, aku masih hidup dengan baik.
Aku melakukan segala hal yang kusukai.
Aku mengejar apa yang pantas kuusahakan.
Aku menggenggam segala sesuatu dalam kepalan tangan.

Namun, kupikir barangkali kau tengah berada dalam kondisi paling buruk, sebab mampu membongkar kotak usang dalam memori berkarat hanya demi menyapaku.
Aku tidak keberatan, sungguh.
Tetapi, harusnya kita tahu batas dan paham di mana mesti berdiri, bukan?
Melangkahi garis yang tidak dibuat untuk dilalui bukankah namanya pelanggaran dan kau harus mendapat hukuman?

Aku tidak keberatan, lagi-lagi kukatakan demikian.
Sama sekali tidak merasa disakiti atas luka yang masih basah bahkan kembali berdarah.
Aku baik-baik saja.
Lukanya sudah hilang, tak berbekas, bahkan nyaris benar-benar kulupakan bersama kau yang menggoresnya.
Aku sungguh baik-baik saja.

Tetapi, mengetahui fakta bahwa kau masih mengungkit 'kita' lalu berujar seolah aku akan tetap berharap banyak, bukankah memang sudah sampai pada titik aku harus memperingatkanmu bahwa segala hal punya limit?

Kasarnya, 'kita' dalam kepalamu telah menjelma basi bagiku.

Segalanya pernah begitu magis sampai kau sendiri yang batalkan sihirnya.
Kau sendiri yang patahkan tongkat ajaib, lantas pilih menjadi pangeran atas istana kerajaan.
Kau tidak lagi tertarik pada dongeng ibu peri dan aku cukup mengerti meski harus dihancurkan berkeping-keping.

Kita sudah jauh meninggalkan halaman itu.
Kini, aku telah ciptakan lembar baru.
Amat banyak, sangat banyak, sampai menimbun yang lalu dan kau tak perlu sok kuat menggalinya sampai dasar untuk dipersembahkan padaku.
Aku tidak butuh.

Semuanya baik-baik saja saat kau kembali datang.
Tidak ada kekosongan yang perlu kau isi, tak ada kehampaan yang perlu kau tinggali, dan tentu tak ada rindu yang harus kau bayar tuntas.

Selesai, cukup.

Sekarang, aku harus tutup pintunya lagi.
Barangkali, tidak akan pernah kubuka meski kau menggedor dan memaksa masuk, walau kau berkata akan memperbaiki yang bagiku tak tampak kerusakan barang setitik.

Kau hanya penasaran tentang kabarku, kau hanya ingin mendapati fakta bahwa aku tak hidup lebih baik dari saat bersamamu dulu.
Sedikit lucu bahwa kau bahkan tak pernah ingin tahu apa salahmu, dan seberapa besar aku berharap semesta menguburmu dalam-dalam, untuk kemudian mampu kutenggelamkan tanpa banyak kasihan.

Aku yakin kita pernah berteman, barangkali masih, barangkali memang hanya sebatas sana aku mampu menganggapmu dekat meski kau berulang kali tanyakan perihal garis yang kubuat.

Kau tidak seistimewa itu untuk selalu kukenang.

Palembang, 3 Maret 2020
Siti Sonia Aseka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...