Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 21 Mei 2020

VALID SENSE

#1st NOVEL PROJECT
VALID SENSE

For those of you who don't know, since May 19 until May 26, I opened my first novel pre-order entitled Valid Sense. If you are interested in joining the PO, please check the following link https://www.instagram.com/p/CAWx6meAe7F/?igshid=1xfjtiptgn5d and don't forget to always interpret this book with the wisest logic! I look forward to a variety of feedback from readers without exception.



Valid Sense atau akal sehat. Saya memberi judul demikian sebab beberapa letup keresahan tentang berbagai fenomena. Tentu barangkali tidak semua merasakan keresahan yang sama. Saya tidak memaksa orang-orang untuk membangun persepsi yang mana hanya sekadar hadir dari sudut pandang saya sendiri. Saat membaca buku ini, mungkin akan ada batin mengiyakan bahkan menolak mentah-mentah. Mungkin. Saya tidak tahu, dan tidak terlalu mempermasalahkan. Karena sebuah karya ada, sebuah ide hadir sebab isi kepala kesulitan menyuarakan dalam gerak bicara. Saya merasakan hal itu. Seringkali menemukan sesuatu, merasa ganjil, kemudian tertuang dalam rupa tulisan-tulisan. Saya menemukan rumah yang lain ketika berhasil jujur terhadap diri sendiri di dalam sebuah tulisan dan saya lega. Hanya lembar kertas yang akan mendengarkan tanpa menginterupsi. Hanya lembar kertas yang tidak berkata ‘mengerti’ namun tak pula memuntahkan apa yang saya ukir di atasnya dengan dalih ‘muak’. Untuk alasan tersebut, Valid Sense lahir.
Jujur, Valid Sense sama sekali bukan tulisan pertama yang saya rencanakan untuk menjadi buku demi jadi teman dalam genggaman. Valid Sense adalah work ke sekian yang saya bahkan masih belum sepenuhnya percaya ia sudah menemukan kejelasan tentang ‘ada dan tiada’. Saya bersyukur pada akhirnya mengalami fase nekat dan maju pantang mundur ketika mendalami berbagai karakter. Saya tahu pada akhirnya, saya memang akan dihadapkan pada keadaan demikian; memutuskan secara cepat tanpa memiliki pilihan berisi penyesalan apalagi rasa bersalah.



Ayunindya Kirana, diceritakan sebagai perempuan visioner dan selalu mengandalkan diri sendiri untuk tegak di atas bumi tanpa berharap-harap setitik apresiasi bahkan validasi orang lain. Tipe perempuan yang membagi dirinya dalam banyak peran untuk dihidupkan dalam banyak tempat dan kondisi pula. For those of you who think that Ayunindya Kirana is a representation of the writer, you should be relieved when I say that she does not reflect me at all. Saking berlawanannya, saya kadang terpenjara oleh pola pikir karakter Ayunindya Kirana karena bingung, bagaimana cara yang tepat untuk membentuk logika-logika Ayunindya agar tidak terkesan menyebalkan dan malah tampak seolah sok idealis. Bagaimana cara menjadikan karakter-karakter di dalam buku ini lebih manusiawi adalah tantangan terbesar. Saya memang menulis fiksi, namun menjadikan tokoh utama sebagai pusat tata surya ibarat matahari yang dikelilingi planet-planet, bagi saya bukan lagi zamannya. Ayunindya Kirana sama sekali tidak sempurna, dan seharusnya memang demikian.
Begitu pula tokoh utama pria; Rayyan Baskara. Orang yang bagi saya demi apapun adalah tipe yang akan saya hindari di kehidupan nyata dalam banyak situasi. Sebagai penulis, membayangkan Rayyan Baskara berputar-putar dalam keseharian, menjadi temannya misal, barangkali saya akan dengan sukarela menjelma kritikus hidup orang habis-habisan. Ada banyak hal yang masih harus Rayyan Baskara pelajari. Ada banyak kesalahan yang ia buat dan membuat saya kadang menutup laptop hanya demi sekejap istirahat dan merenungi tingkah laku ia dalam lembar-lembar kertas. Tentu, ada banyak pula sisi Rayyan Baskara yang membuat saya salut. Ada banyak keputusan dalam hidupnya yang membuat saya tahu, bahwa barangkali meski menjadi kritikus bila bertemu orang semacam ia dalam kehidupan nyata, saya juga akan membentuk sosok lain dalam diri hanya demi memastikan Rayyan Baskara tidak pergi kemanapun. Dengan kata lain, I want to keep people like him to keep my common sense in the right place.
Konflik yang terlalu banyak memang berasal dari internal diri dan harus dimaknai sebaik-baiknya tanpa melibatkan emosi berlebihan. Karena bagaimanapun, ini bukan kisah menguras air mata, bukan pula cerita menye-menye yang membuat kita senyum-senyum sendiri. Saya tidak membangun atmosfer demikian hanya agar dikatakan berhasil menyentuh hati. Nope. Terlalu biasa menyentuh gumpalan tak tergapai itu hanya demi sekadar diingat. Makna yang terkandung, pesan-pesan lain di luar konteks romansa lebih menarik untuk dijadikan bahan pemikiran baru. Sisi hubungan manusia kepada manusia tanpa melibatkan unsur merah jambu pun drama ala-ala.
Saya sebenarnya sangat ingin berkata, “Jangan berharap lebih terhadap Valid Sense.” tapi kok seolah saya pesimis, ya? Maka, dengan tanpa mengurangi kehati-hatian, saya ingin agar apapun yang pembaca temui di dalam buku ini adalah awal baru untuk melihat sejauh apa lingkungan berkembang, bagaimana seseorang atau sesuatu yang tadinya biasa-biasa saja mampu melampaui ketakutan dan rasa khawatir. Bagaimana kemudian keberanian muncul menggantikan cemas dan rasa tidak pantas, melawan pandangan orang-orang dan perspektif serta sudut pandang yang terlalu dipaksakan.
Terakhir, semoga semakin banyak pemuda yang menyadari potensinya tanpa terkurung keragu-raguan untuk melangkah dan hanya stagnan di tempat, berdiam diri sebab mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi.
Berkaryalah dan munculkan presensi terbaik dari diri melalui isi kepala, bermanfaat, berikan dampak. Jangan hanya menunggu dan duduk menanti, menyirami harapan dengan dusta dan utopia dalam fantasi. Kita harus miliki dunia kita sendiri mulai saat ini.


Sincerely,

Siti Sonia Aseka
“Yang tetap akan menjadi diri sendiri meski dunia menempa dengan api hingga memukul bersama besi. Jiwa seseorang bertahan meski raganya tak sama lagi.”

Anyway, jangan ketinggalan pre-ordernya, ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...