Sabtu, Mei 2020
Sore, satu sampai dua jam sebelum berbuka.
Saya masih dengan rutinitas menghadap laptop sembari haha-hihi. Sengaja tidak mengaktifkan paket data agar tidak diganggu apa dan siapapun. Mencoba berhenti jadi phone-addict yang sulit jauh dari internet dan media sosial.
Kemarin, pesanan buku datang. Elok, menaikkan mood seketika. Saya mengambil beberapa gambar demi mengabari author-nim bahwa kirimannya sudah tiba.
Buka Instagram, aman jaya. Tidak ada problem berarti. Kemudian beralih ke WhatsApp dan di sinilah masalah bermula.
Ponsel tiba-tiba mati!
Masih positive thinking bahwa mungkin tidak tersambung dengan benar ke pengisi daya. Lalu kembali dinyalakan. Baru digunakan tak sampai dua menit, benda tersebut mati lagi. Masih berusaha tenang, mencopot dan memasang ulang pengisi daya. Di kesempatan ketiga, hal serupa terjadi. PANIK!
Terus dan terus dicoba, masih sama; nyala sebentar dan padam lagi.
Serius, kalau ponsel mendadak collapse di saat tak terduga, yang ada di otak cuma fokus ke satu hal; bagaimana caranya data di dalam perangkat internal diselamatkan?
Kontak, dokumen, berkas, belum lagi aplikasi-aplikasi yang menyimpan begitu banyak hal. FYI, tidak semua data-data terback-up di email. Saya termasuk orang yang hidup matinya separuh mengandalkan ponsel.
Beruntung, sehari sebelum drama ini, saya sudah memindahkan semua jawaban responden penelitian ke laptop (maklum, ponsel sudah tidak dapat disambungkan via USD, jadi harus mengirim file melalui bluetooth), lalu dua bulan kemarin juga sempat memindahkan ratusan tulisan dari Jotterpad ke laptop, iseng-iseng membawa berkah. Meski tentu beberapa tulisan terbaru telah entah apa kabarnya. Tidak sempat dicopy.
Bagi yang belum tahu, selama ini saya menggunakan aplikasi bernama Jotterpad untuk menulis via ponsel. Jadi tidak merepotkan harus buka laptop di berbagai tempat. Jumlah karakternya tak terbatas, beda dengan note ponsel.
Di hari yang sama pula, tulisan terakhir saya menggunakan Jotterpad terposting di blog. Padahal niatnya mau memposting kapan-kapan saja, kalau sempat. Ternyata itu satu dari sekian pertanda.
Sekarang, saya masih struggle untuk menyimpan sisa kontak yang tidak bisa diselamatkan oleh email sekalipun. Kontak yang awalnya mencapai tiga ribu lebih, sekarang entah berkurang berapa angka di belakang.
Another TMI, saya sebetulnya rada malas menyimpan nomor orang lain. Kalau sudah hilang begitu saja, biasanya akan selamanya begitu, tak berniat menyimpan lagi, kecuali ada kepentingan mendesak. (Ini bukan kebiasaan baik dan tidak patut dicontoh, sorry).
Sebenarnya merencanakan postingan di blog selanjutnya setelah tulisan sederhana kemarin adalah kabar baik. Tapi, dengan kondisi demikian dan lain hal, tidak yakin. Hahaha....
I'll be back with another project, anyway.
Siti Sonia Aseka
Ahad, 10 Mei 2020
*mengetik dengan sangat lama dan begitu banyak typo
Minggu, 10 Mei 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
-
Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada mas...
-
Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...
-
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar