Ramadhan telah lewat separuh, sedang musim tetap sama; seringnya mendung, kemudian hujan. Namun, hiruk-pikuk yang biasa ruah dari masjid-masjid, penjual takjil pinggir jalan, bahkan lalu lintas jelang maghrib tidak lagi seutuh tahun-tahun kemarin. Kali ini, jauh lebih sepi, lebih landai, walau khusyuk menjadi sebaik-baik manusia tetap ada; orang-orang semakin banyak mengingat 'pulang', kian bersiap, menjahit amal-amal yang sempat koyak.
Shubuh hari, entah mengapa teringat bahwa belum sama sekali mengisi blog setelah fiksi soal pelarian dan kehilangan terpublikasi, nyaris akhir bulan April.
Aplikasi menulis di dalam ponsel mendadak seolah terlupakan, sebab pemiliknya terlalu banyak menatap layar laptop. Berjam-jam, setiap hari. Menggantikan eksistensi kemudahan, mulai mencoba-coba hal sulit, memberi challenge pada diri sendiri.
Menulis, bagi saya selalu menjadi tempat terbaik mencurahkan isi kepala, tak melulu soal hati, apalagi drama kehidupan.
Terkadang, hanya dengan menerbitkan sesuatu, kita bisa mendadak merasa 'sehat'.
Target.
Sekarang, bukan hanya bergelut dengan senang dan tidak, atau mau-tidak mau, namun tentang kemampuan mengatur dan memproses ide. Dulu, saya hanya menulis bila dirasa perlu, tidak suka mendapat tekanan apalagi tantangan. Karena menulis adalah salah satu panggilan jiwa. Menulis dibawah paksaan justru hanya akan mengurangi kualitas berimbas pada esensi di dalam tulisan itu sendiri.
Namun, semakin ke sini, ternyata hal-hal demikian tak selalu terasa benar. Faktanya, menjadi produktif juga butuh dorongan, dengan dipaksa serta ditekan sebagai salah satu caranya.
Dengan menatap layar, membaca apa saja yang telah kita tulis hingga puluhan bahkan ratusan lembar, tindakan sejenis ini menstimulus otak demi menyusun alur baru serta kata hingga paragraf yang dituangkan sampai pada titik layak.
Kita semua tengah berupaya, melakukan ragam hal demi setidaknya mampu mengubah sesuatu. Meski standar yang ada dalam masyarakat tetap ganda, walau kita sendiri terkadang ragu soal pantas-tidaknya diri bermimpi dan menggantung lebih banyak andai-andai dibarengi doa, yang jelas kata biasa-biasa saja tidak pernah masuk dalam kamus semesta laiknya milik orang-orang putus asa.
Melampaui batasan, melompati anggapan apalagi sekedar mitos kosong yang membatasi diri agar tak hendak bermanfaat.
Kita harus mulai tekankan untuk meraih sekian banyak pencapaian hanya demi membanggakan diri sendiri, bukan agar orang-orang senang, atau membuat mereka terkesan. Cukup menjadikan diri sendiri patokan. Dengan persepsi demikian, bukankah kebahagiaan justru lebih mudah disambut ketimbang mengharap-harap apresiasi manusia?
Pada pukul enam lewat tak begitu banyak, suasana masih sepi, barangkali hamba-hamba Allah ini tengah pulas dibawa mimpi, atau sekadar menatap langit-langit, menghitung dosa dan memohon ampunan, atau duduk-duduk mengaji, melantunkan dzikir sembari menanti dhuha.
Sabtu, 9 Mei 2020
16 Ramadhan 2020
Ditulis dengan banyaknya sesak dan huru-hara dalam kepala.
Sesungguhnya rasa cemas dan khawatir hanya dapat diobati dengan istighfar, memperbanyak mengingat Allah. Kemudian berserah.
Siti Sonia Aseka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar