ORANG BAIK (?)
Sejak dulu, saya tidak pernah begitu percaya terhadap anggapan orang kepada saya. Karena saya yakin, apa yang dilihat mata manusia, seringnya keliru, namun disimpulkan dalam rupa keburukan secara berlebihan hingga buru-buru.
Tetapi, saya tentu pernah berusaha, mencoba menerima, saya amati dan lihat-lihat, memaksa diri sendiri, bodohnya.
Dahulu, saya bodoh ketika membiarkan keputusan mengalah itu melintas dan ditangkap sebagai keharusan oleh hati. Kemudian, hari ke hari, waktu ke waktu, setelah pasrah, berserah, saya tiba-tiba berpikir, “Mengapa saya bersedia merusak diri sendiri demi membiarkan mereka bahagia, sebab merasa berhasil membentuk saya sesuai dengan apa yang mereka suka?”
Sampai Allah sajikan jatuh melalui tangan-tangan manusia yang sama. Hingga Allah tunjukkan betapa harapan saya sudah terlampau begitu besar terhadap manusia. Saya ini sebenarnya diciptakan untuk mengabdi pada anggapan orang, atau sesederhana menjadi versi terbaik dari diri saya? Karena sempurna menurut orang lain, nyatanya menyiksa. Toh, yang dibilang ‘paling’ pun kini tak lebih dari biasa. Jadi, standar menjadi manusia baik hanya harus berdasar pada orang yang dianggap baik saja, atau bagaimana? Apakah suci tidaknya seseorang hanya akan dilihat dari seberapa sering ia memposting ‘kalimat-Nya’ di media sosial, mengizinkan orang-orang membangun ekspektasi, membiarkan pembaca menyimpulkan hanya kebaikan?
Kini, setelah sekian waktu berlalu, setelah tahun berganti, Ketika saya berbalik dan menziarahi masa lalu, agaknya tawa selalu menguar getir bersama kata ‘bodoh’ di akhir berkali-kali, berulang-ulang. Saya tidak pernah menyesal menjadi terbuang. Tidak pula malu sebab pernah dianggap sampah. Kala ditanya, “Sekarang sudah sadar kan di mana letak salahmu?” hanya senyum tipis yang saya urai tanpa banyak membantah. Tidak, saya bukannya membenarkan, bukan pula menganggap pertanyaan tersebut sebagai kalimat kosong tanpa makna. Justru karena saya tahu, bicara dengan orang-orang tak paham keadaan, hanya akan menjadikan saya sama seperti mereka.
Jadi, saya diam.
Saya pernah dijatuhkan hanya karena dianggap berbeda. Hanya karena saya berusaha menjadi lebih baik dengan cara saya sendiri, lantas orang-orang menganggap saya melampaui batas, tak pantas. Padahal, dengan cara demikian, saya bekerja di bawah naungan semesta; tidak sama, bukan berarti hina.
Pada akhirnya, hari ini, saya sampai pada titik mengamati. Hanya mengamati. Lagi-lagi mengamati. Tak berkeinginan meluruskan apa-apa sebab yang bengkok pun tak selamanya salah. Meski terasa lucu, kala kisah yang pernah saya alami justru seolah terulang. Iya, lucu.
Ingin saya bertandang dalam rangka mengeraskan suara, bukan untuk menyadarkan, namun hanya demi sedikit saja memberitahu, bahwa sebelum mereka, saya adalah entitas ke sekian juga. Saya pernah merasa tidak diharapkan. Pernah. Lalu, apakah saya memilih berhenti? Awalnya, iya. Saya sempat merasa tak berguna berada di tempat yang sama dengan racun di tiap senyum palsu, terlalu dibuat-buat, cenderung formalitas. Namun, bila mundur, bukankah artinya, saya secara langsung mengaamiinkan tujuan mereka dan malah ikut memperluas lingkaran alpa?
Dunia masih begitu luas untuk dijelajahi. Tidak melulu soal lingkungan dengan atas-bawah yang menjadikanmu babu. Itu bukan cara terbaik untuk menjadi sebenar manusia hanya karena merasa diakui dan dianggap ada.
Buat apa?
Kekecewaan bukan segalanya, bukan pula alasan demi mendendam dan berbuat jahat. Cara begitu sudah kelewat kampungan, kawan.
Sini, saya beri saran. Coba dengarkan tanpa lebih dahulu bulatkan prasangka. Kamu tidak perlu bekerja keras demi menyakiti dan mengotori tangan. Tidak, tidak. Kita tengah berusaha menjadi benar di tengah keliru, bukan? Maka, jadilah membanggakan untuk kepuasan diri, bukan validasi apalagi acungan jempol orang lain.
Menjadi orang baik, bukan sekadar terlihat baik demi dihadiahi kebaikan. Menjadi sebenar baik karena dunia krisis kepemilikan terhadap empat huruf satu kata yang sama.
Menjadi baik, bukan demi A-Z kepentingan dunia, tetapi sebab kita punya Allah yang Maha Baik.
Di mata Allah, kita selalu sama.
Pembedanya hanya soal ketakwaan, iman,
bukan level 'tak terukur' dari (hanya) manusia.
Palembang, 11 Mei 2020
Siti Sonia Aseka
Pict by Vante
Tidak ada komentar:
Posting Komentar