Sudah banyak ia jumpai janji-janji, bosan pula kapita rawat sabar atas kepastian yang malah pulang-pergi. Lelah kepalanya memilah mana yang pantas masuk dalam hati, atau sekedar berkelebat sejenak di ambang benak. Karena itu, si pandai bicara tidak pernah jadi favoritnya.
Namun, sepasang netra sempat ia jadikan asilum atas rasian. Hanya sepasang. Dulu sekali.
Sorot sehangat senja yang tak dapat ditemukan ganti, meski kini tak jua sedia jadi selamanya rumah.
Ia memang tak pernah menawari. Tak kemukakan ingin meski nyaris mati, ditelan sepi. Baginya, diam lebih baik ketimbang jadi egois. Sebab dengan melepaskan genggaman, barangkali yang ia cinta mampu capai destinasi demi bahagia sampai ujung horizon; meski ia tidak.
Beberapa orang pernah rasialkan dot sebagai akhir, sempat percaya pada rupa silih dan jatuh pada pivot kecewa. Muara yang mereka cari ternyata tidak cukup resistan lawan redup.
Bahana gaduh di persimpangan serupa opsi maju tanpa mundur. Menelan yang hening ke dalam lubang riuh penuh buncah; lampias sepi reda. Lantas, dari sekian reminisensi, ia biarkan kepergian berlalu asal tak tersesat pada pulang.
Sampai jumpa untuknya selalu berarti banyak. Luka bercampur lega, sakit juga getir walau sebabkan tawa. Ia selalu jadi yang menatap tanpa kuasa mencoba; raih, dekap, jaga. Tidak. Ia tidak ingin bermimpi, walau malam-malam di atas katil selalu cendala. Karena meski ia bicara, yang membalas justru hanya kans, bukan sepasang yad yang sering ia damba.
Palembang, 7 April 2020
Siti Sonia Aseka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar