Rabu, 08 April 2020
Trilogi Bagian 3: Galaksi
Sepanjang hidup, Galaksi tidak pernah merasa benar-benar sedih. Baginya, menderita atas takdir baik yang gagal setelah berupaya, sama sekali tidak mampu mengubah apa-apa. Ia bukannya si sempurna yang punya semua dalam genggaman. Ia bukan anak emas yang lahir dari sepasang berlian. Dia Galaksi, hanya Galaksi.
Jika bicara soal sempurna, barangkali Kejora, sepupunya, adalah definisi paling benar, paling dekat. Meski terkadang, Galaksi tak dapat singkirkan rasa janggal tiap tangkap tawa riang si gadis yang justru selalu terdengar hampa.
Kemudian, setelah satu telepon terakhir berisi percakapan aneh mereka soal surga dan neraka, Galaksi mendadak sadar; Kejora tengah susah payah obati jiwanya yang patah, meski gagal dan malah makin terhempas hingga kacau balau, berserakan.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Galaksi meneteskan air mata. Bukan, bukan soal kepergian. Bukan soal raga ringkih yang tak mampu lagi ia lihat dalam sekali lipatan jarak, namun tentang ketidakmampuan menyelamatkan meski sekedar mengulurkan tangan.
Lantas, di pemakaman hari itu, Galaksi mengangkat payung hitamnya tinggi-tinggi. Pandangi nisan bersama hati sesak dan sakit. Sekarang, apa yang bisa ia perbaiki?
Namun, nyaris. Nyaris kakinya melangkah pergi, sepasang netranya menangkap sosok asing. Mata tajam yang redup, wajah pucat namun tidak terlihat rusak sama sekali. Kekosongan yang tercipta barangkali adalah pertama dan satu-satunya pedih atas kehilangan dan penyesalan.
Lagi, untuk pertama kali, Galaksi sadar, ia tidak benar-benar sendiri. Untuk pertama kalinya, ia tahu, dirinya memiliki sesuatu untuk digenggam setelah telapaknya tandus dan gersang.
Untuk pertama kali ia pikir, kali ini, ia tidak terlambat membuat keputusan dengan benar. Akan ia ulurkan tangan sampai disambut suka cita tanpa ada yang harus pergi dan hilang. Karena sungguh, ia tak siap untuk dihabisi kerinduan, dilibas angan-angan dan berakhir mati sebelum ciptakan sebentuk manis yang telah lama usang.
Palembang, 8 April 2020
Siti Sonia Aseka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
-
Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada mas...
-
Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...
-
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar