Origami yang dilipat menjadi bagian-bagian baru, tidak bermaksud merusak bentuk atau menghilangkan esensi layak. Keputusan tentang apa yang beda atau sama berada pada satu tingkat meski bercabang dua; sudut pandang dan hierarki. Harapan yang terkandung, permohonan tentang kemustahilan, mimpi bercampur emosi, menyeret jiwa ke arah rel kereta api, menyaksikan pulang-pergi, tawa tangis hingga rupa selamat tinggal; tanpa kedatangan.
Suatu ketika, kubawa rindu dan rasa sakit pada sebuah karcis. Tersusun apik di dalam koper, menutupnya rapat, lantas kulemparkan cuma-cuma pada salah satu gerbong sepi penumpang. Biar ia enyah, dibawa lari, barangkali tercecer; tak apa. Asal tak menetap dan ingatkan luka. Asal tak lagi jadi alasan seseorang menjanjikan pertemuan di atas hati yang dibanjiri kecewa.
Kuncup-kuncup retorika dan kelopak nada-nada adalah pagi bersama kenangan seribu bangau. Saat pohon-pohon menggugurkan daun, ketika sungai mengalirkan warna-warni dari jemari anak-anak. Pada angka tiga nol, angin berhembus lebih kencang, penuh minat. Dari sekian tulisan tangan, hanya satu yang akan direngkuh semesta demi bertiup dalam rupa kenyataan.
Menunjuk arah awan, digiring kompas, meneriaki layang-layang bahkan menaruh perhatian pada petak-petak kincir air. Sudah lama kita melupakan dongeng dan buatkan kisah-kisah baru berisi romansa. Satu dua berhasil, sisanya lenyap. Tiga empat diingat, selebihnya samar. Namun, tetap; kuledakkan khawatir kala presensimu makin jelas hadir. Sayangnya, yang tersisa tinggal angkara. Sedang afeksi terkubur di bawah pohon akasia, entah pada julang yang mana.
Dahulu, kita bermain-main di tepi tebing curam. Mengesampingkan rasa takut demi buang sekelumit simpul kusut, uraikan kontras, terjun bebas dari ketinggian entah demi kembalikan susunan otak mendekati waras. Meski riuh kota tak dapat terangi kita yang redup ibarat nyala terakhir dari percik kembang api.
"Kereta api!"
Suatu hari sorak bahagia anak-anak muncul lagi setelah berhari-hari. Susuri sepasang rel dengan anjing kecil berlari-lari. Letakkan telapak pada gerbong-gerbong padat penghuni. Tawa menari-nari, kaki tak mengalah pada letih, capai stasiun setelah cahaya mentari disadari.
Seorang bocah laki-laki menyeret langkah mendekati, peluk erat botol berisi bangau kertas pada nominal empat angka. Harapannya mekar, semerbak, meski citanya layu sampai kering kerontang. Tak bisa, ucap kepalanya kala petir menyambar-nyambar, ramaikan langit malam yang biasanya terlihat hambar.
"Bukankah kita berhak bumikan intensi hingga ujung bentala?"
Origami yang dilipat menjadi bagian-bagian baru, tidak bermaksud merusak bentuk apalagi menghilangkan esensi layak.
Namun, bagaimana, bila ternyata kita hanya telah lama rusak, sebab pasrah dikoyak?
Palembang, 6 April 2020
Siti Sonia Aseka
Picture by Namjoon Kim on Weverse
Senin, 06 April 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
-
Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada mas...
-
Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...
-
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar