Queenstown merupakan kota wisata di Otago bagian barat daya Pulau Selatan. Terletak di Danau Wakatipu, di kaki pegunungan. Kota terbesar di Otago Tengah, dengan jumlah penduduk lebih dari sembilan ribu jiwa.
Selama lima hari ini, Jasmine tidur cukup nyenyak. Bangun pukul tujuh pagi sedikit kurang atau lebih, menikmati sarapan dengan tenang, membersihkan diri, memeriksa perkiraan cuaca, lalu memutuskan untuk pergi ke mana demi menghabiskan jeda waktu yang tersedia.
Dua hari pertama, ia coba naiki Gondola ke Bob’s Peak, tinggi di atas Queenstown ke kompleks Skyline. Nikmati panorama dari puncak Southern Alps dan seluruh Danau Wakatipu. Cuma beberapa menit, namun kepalanya seolah berhasil diterobos angin kencang, sampai mampu banyak melupakan keping memori buruk, dan riuh pertanyaan kalang kabut.
Kemudian, tak ketinggalan coba mendatangi salah satu pemandian air panas atas rekomendasi Leo, sahabatnya. Berendam nyaris empat puluh lima menit, berharap otaknya matang sempurna, atau paling tidak melunturkan jejak-jejak ingatan tentang seseorang di Pulau Utara sana.
Pada sore hari, beberapa kali ia bersepeda, berkeliaran di Arrowtown, mengunjungi Lakes District Museum, atau sekedar duduk-duduk di tepi sungai, berkontemplasi.
Secara sederhana, Jasmine amat menikmati kesendirian yang dihidangkan. Spasi yang ia rentang sampai sulit dijangkau oleh kawan-kawannya di ibu kota, ternyata berhasil menghadirkan kembali logika terbaik setelah dibuat jungkir balik. Ia mematikan ponselnya, sengaja tidak menyentuh media sosial demi menghindari pertanyaan di mana dan mengapa. Dia terlalu lelah harus menjelaskan dan membuat orang-orang menarik kesimpulan secara acak.
Hari ini, ia menjadwalkan untuk pergi ke Gibbston. Mengunjungi kawasan budidaya anggur yang diapit, kadang-kadang tampak menonjol, di antara pegunungan sekis yang terjal dan jurang Kawarau River berbatu. Mungkin juga membeli beberapa potong keju, mencicipi susu domba atau malah menjadi bungy jumper satu hari. Ia butuh berteriak kencang, memaki di atas udara, atau apapun itu untuk mengeluarkan endapan angkara hasil dipupuk bertahun-tahun.
"Lain waktu, akan kutemani mencoba Canyon Swinging."
Leo sempat menjanjikan hal itu kala menjemput Jasmine di airport. Keduanya bahkan gegas menulis daftar destinasi wisata ekstrem apa saja yang akan dicoba. Sayang sekali, Leo punya pekerjaan yang harus diselesaikan, padat sampai akhir pekan. Membuat Jasmine harus rela menunggu. Ia tak sabar merasakan sensasi arung jeram dan berkuda juga.
Jasmine menempati sebuah villa milik keluarga Leo. Bangunan tingkat dua, tegak menjulang bersama konsistensi kayu-kayu cokelat sampai hitam, menghadirkan kesan hangat dan sensasi sebenar rumah. Bagaimanapun, Leo telah mendengar kisah yang dibawa temannya itu dari Auckland. Seperti biasa, melarikan diri. Terdesak oleh kenyataan dan sembunyi. Jasmine selalu demikian, tak berubah sejak masa sekolah menengah.
Makanya, Leo menawarkan paket liburan dengan iming-iming mengunjungi masa kecil mereka di Queenstown. Saat Jasmine menelepon dengan suara serak yang dipastikan hasil habis menangis semalaman, Leo tahu ia memang harus melakukan sesuatu.
Ia tidak paham mengapa perempuan tersebut bisa mendapatkan kisah pahit di Auckland, sebab selama ini, ia tahu bahwa sahabatnya menetap di Wellington bersama orangtua dan seorang adik. Melanjutkan pendidikan serta akan lulus sebentar lagi. Ia ingin bertanya. Namun, mood Jasmine tidak dalam keadaan stabil untuk membeberkan lebih banyak hal, selain permintaan tolong.
Lagipula, Leo merindukan sahabatnya. Empat tahun mereka tidak berjumpa, hanya saling melempar sepatah-dua patah kabar dari pulau berseberangan. Tidak pula terlalu mengikuti kegiatan dan mengetahui lingkar pertemanan macam apa yang mengikat masing-masingnya.
Kemarin, ketika mereka pulang dari menikmati keindahan Arrow River, Jasmine sempat menanyakan tentang camp-camp perkemahan yang mereka lalui demi sampai ke villa. Ada beberapa titik, menampilkan van-van mondar-mandir, bahkan SUV pulang-pergi. Aroma kayu bakar dan barbeque menguar samar-samar. Leo bilang, gelombang pendatang kadang kala lebih tertarik menegakkan tenda sendiri ketimbang harus mencari penginapan yang sulit dijangkau. Juga untuk alasan mencintai alam, beberapa orang lebih suka tertidur berselimut bintang-bintang daripada mencium aroma pewangi buatan yang berdisfusi dengan udara.
"Kamu mau berkemah juga?"
Jasmine mengangguk semangat. "Mau!"
Leo tertawa senang. "Okay, akhir pekan ini setelah semua tugasku selesai, kita akan pergi mencari tempat berkemah yang nyaman."
"Kita harus beli banyak daging dan sosis juga!"
"Iya."
"Lalu, jagung bakar. Iya, aku suka jagung bakar!"
"Tentu."
"Bermain uno, truth or dare, pokoknya semua permainan yang tidak sempat kita lakukan selama empat tahun, harus kita coba!"
"Apapun untukmu."
Jasmine bahagia. Sangat. Rencana menyenangkan yang dibuat bersama Leo selalu happy ending. Mood-nya meningkat, akal sehatnya seolah kembali, dan dia untuk beberapa saat berharap waktu seketika berhenti. Ia ingin menetap di Queenstown selamanya, jauh dari hiruk-pikuk, jauh dari kenangan, dan jauh dari seseorang yang membuat lukanya kian lebar.
"Kamu tahu betapa bahagia aku bisa kembali kemari, bukan?"
Jasmine mengudarakan itu ketika tiba di villa. Mengatakan beberapa ucapan selamat malam dan terima kasih seperti yang lalu-lalu, sebelum Leo akan melaju lagi, pulang ke rumah, lantas menemui ia pagi-pagi. Sarapan bersama, melakukan beberapa hal sesuai permintaan sahabatnya.
"Queenstown memang selalu dapat membujukmu pulang. Tinggalah lebih lama lagi. Aku tidak keberatan sama sekali."
Sungguh, Jasmine ingin mengangguk saat itu juga. Ia memang ingin tinggal selama mungkin. Menghabiskan seluruh sisa liburan dari semester yang menyebalkan. Melupakan masalah yang sengaja ia tinggalkan di dalam lemari kamar di rumah sampai berdebu dan usang.
"Kamu coba merayuku lagi, huh?"
Leo terbahak, namun juga mengangguk. Pemuda satu itu selalu melakukan banyak hal yang mampu mengembalikan Jasmine ke tempat semestinya.
"Sebesar aku menginginkanmu tetap bertahan di sini, sebesar itu pula aku tahu kamu masih sulit untuk melepaskan yang telah pergi."
Jasmine tertawa hambar. Sedikit tersindir dan menghalau udara di hadapan wajah. Omong kosong milik Leo seperti yang ia kenal, tidak pernah terasa benar-benar kosong.
"Percaya kan, bahwa Queenstown punya sisi magis yang bisa menyembuhkan luka jenis apa saja?"
Jasmine mengangguk setuju, membalas jenaka. "Ya, tentu. Bahkan lebih besar dari kepercayaanku terhadap mitologi Māori."
Leo, bagaimanapun, merasa tidak mungkin bila harus terus berdiam diri. Ia mempelajari sahabatnya tanpa disadari. Menerka dengan logika, menarik konklusi dan mendekatkan fakta dengan beberapa email dari Rosella--adik Jasmine, yang mendadak menanyakan keberadaan kakaknya.
"Hei, mau dengar sedikit saran dariku?"
Puan di samping menatap penasaran, mengangguk kecil dengan mata bulat yang sempat Leo percaya mengandung satu sampai dua rasi bintang.
"Sometimes, you have to be willing to let go of the grips of the hands that have been held by someone else's. It's better to start everything from scratch with a new person, rather than looking after someone who doesn't want to be looked. The relationship is not a piece of rope that can be easily broken by a pair of scissors. But, if the sense of belonging to one another only ends up hurting, then use existing commitments to reinforce; love is not present just to hurt one even both. Let go, let it be. Then you will cry once, to laugh as much as possible afterwards."
Palembang, 17 April 2020
Siti Sonia Aseka
Image by Gerard Walker/Getty Images
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
-
Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada mas...
-
Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...
-
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar